Orang-orang tidak henti-hentinya berkeriau memanggil nama Murni. Keringat-keringat yang tengah bercampur dengan angin dingin, yang kemudian luruh berjatuhan, tidaklah menyurutkan langkah orang-orang itu menembus tubuh perkebunan jagung. Mereka terus menapak lekas, ada pula yang berlari-lari tatkaka seperti mendengar sesuatu. Tak hanya itu, mereka juga telah berpencar ke segala arah. Namun, dua setengah jam berjalan tidaklah membuahkan hasil. Di satu sisi, Sugra, seorang laki-laki tiga puluhan, berjanji tak hendak kembali sebelum menemukan putrinya itu. Sementara, orang-orang tampak sudah mulai kelelahan dan tidak yakin bahwa Murni ada di antara tanaman-tanaman perkebunan.
Dua malam yang lalu, Sugra mendapat mimpi tentang putrinya. Mimpinya tak hanya persis, tapi sama. Ia mendengar putrinya menjerit di tengah-tengah sebuah perkebunan jagung. Tatkala Sugra menghampiri, ia melihat putrinya tengah berdarah-darah dan tangannya melambai-lambai minta pertolongan. Sugra yang saat itu tengah merantau, jantungnya berdegup tidak keruan, pun dengan ceruk perasaannya. Apalagi, berkali-kali ia telepon istrinya, tak pernah ada jawaban. Pada akhirnya, ia pun pulang kampung setelah mendapat pemakluman dari bosnya. Benar. Istrinya menceritakan pada Sugra bahwa putrinya telah menghilang selama tiga hari tiga malam. Ia juga menceritakan bahwa ponselnya hilang sudah tiga hari. Kemungkinan besar dibawa putrinya. Nahasnya, nomor yang ada pada ponsel itu sudah tidak dapat dihubungi lagi.
***
Rembulan terlihat kusam. Malam terus memburuk. Angin seperti terasa panas membakar dada dan kepalanya. Karno, seorang laki-laki hampir paruh baya, duduk dan membungkuk lesu di lincak depan rumahnya. Beberapa kali rambutnya dijambak-jambak dengan tangannya sendiri. Kalau sudah bosan, jari-jarinya dikepalkan, memukuli kepala bagian kanan dan kirinya. Kadang-kadang, sorot matanya tampak begitu ketakutan seperti ada bayang-bayang yang kerap menghantui hidupnya. Sialnya, tak ada kata-kata yang mampu ia ucapkan kepada siapa pun, termasuk kepada istri dan anaknya.
Malam itu, Karno benar-benar terlihat berbeda. Kata-kata dan istilah kasar yang kerap keluar dari mulut istrinya yang telah bosan karena ia terus saja menganggur, dan nafsu birahinya yang cukup lama tidak tersalurkan karena selalu ditolak oleh istrinya. Biasanya itu tak terlalu menjadi sebab seorang Karno seperti orang gila. Malam itu, ia benar-benar seperti orang gila, bahkan istrinya sampai-sampai tak ingin memarahi lelaki itu kendatipun sudah tak ada beras yang bisa ia masak esok pagi. Anaknya, si kecil itu, juga tak berhasil mengajak bapaknya berbicara meski ia beberapa kali menabok-nabok kakinya dan berteriak-teriak memanggil. Sialnya lagi, bagi Karno malam justru makin panas dan menakutkan. Berbanding terbalik dengan sebenar-benarnya suasana alam semesta pada malam itu.
Matanya kini terus saja melotot. Ia kembali melihat sesuatu yang ia lihat pada malam sebelumnya. Kakinya yang lesu, tiba-tiba menapak lebih kuat. Ia berdiri. Ia berjalan mendekati sesuatu yang telah ia lihat, yang entah itu berwujud apa.
“Kenapa kau terus mengikutiku? Bukan aku yang membunuhmu. Bukan aku! Lelaki itu! Lelaki itu! Lelaki yang malam itu bersamamu!” teriaknya bergetar.
Ia terus berjalan. Ia berusaha mengejarnya. Kedua kakinya makin cepat berjalan hingga ia tak sadar telah berlari cukup jauh. Namun, tiba-tiba sesuatu yang ia kejar lenyap dari tatapan bulatnya. Berhenti! Napasnya terengah-engah. Lidahnya beberapa kali menjulur seperti anjing. Ia tampak kehausan. Tepat di bawah sebuah pohon besar, tubuhnya ia dudukkan. Kakinya menekuk seperti punggungnya. Sementara, lagi-lagi kepalanya ia pukul-pukul. Makin lama makin cepat. Dari sorot matanya yang memerah dan mengerikan, ia seperti teringat sesuatu.
***
Pada malam sebelum puncak purnama, Karno melihat dua orang gadis, kira-kira berusia sebelas tahun, tengah berjalan tak terburu-buru. Mereka berpisah di sebuah pertigaan yang cukup sepi. Seorang gadis di antara mereka kembali berjalan tanpa terburu-buru. Sesekali melihat layar ponsel. Sesekali melihat ke belakang. Karno yang berjalan tak searah dengan gadis itu, pergi berlalu tanpa perasaan serius. Yang dipikirkannya hanya tentang istrinya yang pasti akan kembali marah-marah setelah ia sampai rumah. Terpikir hal itu, ia pun duduk, senyum-senyum sendiri sembari mempertimbangkan apakah harus pulang atau tidak.
Tak lama kemudian, seorang gadis yang tadi berjalan berlawanan arah dengannya, tiba-tiba lewat bersama seorang laki-laki berpakaian seperti guru spiritual.
“Jangan senyum-senyum sendiri malam-malam, Mas,” sapa laki-laki itu, tersenyum sambil lalu. Begitu pun gadis di sampingnya, tersenyum tanpa henti seperti sebuah imajinasi.
Karno hanya memandangi dua orang itu. Ia tak menaruh rasa cemas kepada gadis itu. Ia pun seperti tak menaruh rasa curiga kepada laki-laki berpakaian seperti guru spiritual itu. Ya, anggapannya, laki-laki itu adalah gurunya atau ayahnya yang kebetulan berpapasan di jalan. Dua orang itu pun benar-benar berlalu dari pandangannya. Begitu pun dengan senyum laki-laki itu yang sebenarnya jika dipikir-pikir cukup aneh.
Benar saja. Tak lama setelah itu, kedua telinga Karno tiba-tiba mendengar sesuatu yang tak biasa. Gendang telinganya dipenuhi dengan suara seorang gadis yang tengah minta tolong. “Tolong, tolonglah aku, tolong!” Meski terdengar cukup jauh, suara-suara itu terdengar jelas di telinganya. Makin lama makin tak terdengar dan senyap pada akhirnya. Namun, sepertinya tak ada sedikit pun gadis itu dalam pikirannya. Tak ada rasa cemas yang menggelayut di dalam benaknya dan tak ada naluri untuk menghentikan kemalangan gadis itu. Ia justru tersenyum lebar bak topeng badut.
Dan sepertinya, itulah alasan mengapa Karno bisa disebut sebagai orang pertama yang mengetahui asal mula gadis itu menghilang. Kalau dihitung secara matematis, ia hilang sejak malam itu sebab tiga hari kemudian, berita mengatakan bahwa ia diketahui sudah menghilang selama tiga hari. Ciri-cirinya pun mengarah pada gadis itu.
***
Kembali lagi dengan Karno pada malam itu. Ia yang tengah duduk di bawah sebuah pohon besar dengan sorot mata memerah dan mengerikan, kembali melihat sesuatu yang beberapa hari telah ia lihat. Kali ini, ia seperti melihat seorang gadis yang tiba-tiba menangis merintih. Ada juga bayangan di mana seorang gadis dikejar-kejar oleh seseorang laki-laki hingga jatuh pingsan, lantas dibawa ke sebuah tempat yang teramat sunyi. Dengan sekuat tenaga, ia berlari kuat-kuat. Lidahnya dijulur-julurkan seperti anjing yang tengah mengejar-ngejar mangsanya. Kadang-kadang ia tersenyum. Kadang-kadang wajahnya dipenuhi ketakutan. Kadang-kadang pula, tatapan kedua matanya dipenuhi kebingungan dan kelelahan. Namun, ia tak berpikir untuk menghentikan kakinya.
Tibalah Karno pada sebuah perkebunan jagung. Kedua kakinya mulai bergetar hebat. Ia pun terjatuh dan kini benar-benar tak dapat lagi berlari. Di satu sisi, ia mendengar orang-orang berteriak dan bersahutan memanggil-manggil nama Murni, seorang gadis yang telah hilang selama tiga hari. Di sisi lain, ia kembali melihat sesuatu. Sesuatu yang lebih mengerikan dari biasanya, sesuatu yang sangat biadab dan tidak berperikemanusiaan: Seorang laki-laki berpakaian seperti guru spiritual tengah mencabuli seorang gadis, kemudian dengan kejam gadis itu ia bunuh, lalu ia kuburkan tepat di mana ia membunuh gadis itu. Dan ketika pembunuh itu menengok, sontak Karno terkejut bukan main. Pembunuh itu berwajah persis seperti dirinya. Sontak, ingatan sebenarnya pun muncul secara sambung-menyambung.
*) Image by istockphoto.com