Kata Ibu setiap tetes hujan yang jatuh ke tanah akan memercikan kenangan yang pernah diciptakan tempo dulu. Sejak kecil aku selalu diajak Ibu menikmati hujan, dari hujan yang turun Ibu mengajariku menghargai setiap momen sekecil apa pun. Ia juga mengatakan hujan merupakan pelepas lelah. Aku tidak tau kejadian apa yang pernah terjadi di masa lalu Ibu, sehingga Ibu begitu merindukan hujan.
Hujan tidak selalu datang membawa kebahagiaan. Terkadang aku melihat Ibu menangis di sela-sela menikmati hujan, tapi setelah itu ia akan tersenyum kepadaku dan berkata:
“Ibu tidak menangis karena benci tetapi Ibu sangat berterima kasih atas kesempatan yang Tuhan berikan di hujan ini, Nak.”
Sudah sembilan bulan berlalu, hujan tidak pernah muncul lagi. Musim kemarau yang panjang datang menggantikan hujan. Orang-orang yang sebelumnya pulang dengan keadaan basah segar sekarang pulang dengan keadaan basah berkeringat. Ekspresi Ibu juga kian berubah setiap harinya. Kini, ia lebih sering menunjukkan wajah lelahnya meskipun ia masih tersenyum kepadaku. Akhir-akhir ini langit selalu menunjukkan warna kelabunya. Angin-angin bergerak simpang siur ke arah yang ia tuju. Namun awan tetap enggan menurunkan rintiknya.
Banyak orang bilang, setiap angin yang berhembus membawa pesan dan harapan seseorang. Jika benar, izinkan aku menyampaikan pesan. Tanyakan kepada langit, bolehkah aku meminta hujan? Tidak bisakah hujan turun hari ini?
Sekelebat petir menggelegar. Sesosok cahaya putih dan tak kasat mata muncul di hadapanku dan bertanya “Jika engkau mati saat hujan turun, apa yang akan engkau lakukan?”
Aku terdiam mematung. Ini bukan pertama kalinya aku bermimpi. Setiap malam, saat aku tidur, setelah memohon hujan turun, selalu ada sosok cahaya yang mengatakan aku akan mati di saat hujan turun. Jika hal tersebut menjadi nyata, apakah Ibu akan bahagia karena kedatangan hujan atau malah bersedih karena kematian anaknya.
“Tak bisakah kau jawab pertanyaanku atau kau sudah siap mati?” ucap sosok itu lagi.
“Tentu belum,” jawabku.
“Jadi, bagaimana? Aku sudah bosan menghampirimu, wahai Anak Muda! Katakanlah sepatah kata atas pertanyaanku agar aku bisa bekerja.”
Kujelajahi isi otakku, bertanya ke dalam semakin dalam kepada diriku sendiri. Apa hal yang bisa membuatku mati dengan tenang? Ini sebuah anomali, ini bukan dunia nyata tapi ini alam bawah sadarku. Tapi, bagaimana bisa setiap hari aku bertemu sosok semu yang bahkan tidak pernah kupikirkan?
“Si—sia—pa ka—mu?” tanyaku takut-takut.
“Di akhir nanti kamu akan tahu, jadi apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya lagi.
Sebenarnya, aku tak ingin menjawab tapi tidak ada salahnya juga. Jika aku mati besok, setidaknya keinginanku sudah terkabulkan. Ya, keinginanku adalah membahagiakan Ibu. Dari dulu, sampai sekarang aku cuma punya Ibu. Anggap saja sebagai balas budi.
“Aku ingin bisa membahagiakan Ibu, hanya itu,” jawabku.
Sosok itu tersenyum kepadaku. Lalu, alam bawah sadarku berputar dengan kencang. Badanku terjungkal ke kanan dan kiri. Sesak rasanya, aku menutup mataku. Apakah aku akan bangun?
***
“Jan, Ojan,” panggil seseorang dengan suara lirih.
Kedua kelopak mataku terbuka, masih berada di alam bawah sadar. Aku melihat sebuah pemandangan yang sangat familiar di mataku yaitu diriku sendiri 15 tahun yang lalu sedang bermain ayunan di sebuah taman kanak-kanak. Saat itu umurku baru saja menginjak usia tiga tahun.
Di belakang diriku, aku melihat Ibu duduk di bangku taman. Saat itu, Ibuku masih muda sekitar 21 tahun, wajahnya sangat cantik, rambutnya hitam sekelam warna matanya, bibirnya pink merona, dan kulitnya seputih salju. Di sebelahnya aku melihat sosok laki-laki yang hampir kulupakan. Itu ayahku, sedikit yang kuingat tentangnya yang kutahu tak lama setelah umurku menginjak 4 tahun. Ia pergi merantau ke luar kota katanya sih ingin mencari lebih banyak uang, tapi sampai saat ini ia tidak pernah kembali dan mengirim uang pun juga tidak. Pembohong!
Setelah itu, aku melihat hal yang tak pernah kutahu dan kusaksikan selama masa kecilku. Ayah memarahi Ibu seraya berkata-kata kasar.
“Ren, Kau itu seorang Ibu, bukan pecundang!” teriak ayahku sambil mengeluarkan kalimat-kalimat lainnya.
Aku tidak kuat untuk melihat dan mendengarnya. Ibu yang selalu sigap tersenyum kepadaku, bagaimana bisa menanggung beban seperti itu. Setelah itu, Ibu datang menghampiri dan memanggil namaku.
“Ojan, ayo pulang, nanti Ayah marah.”
Nada suaranya kesal, marah, dan getir bercampur jadi satu tapi ia tidak menangis dan tidak pula tersenyum. Tatapannya kosong, ia hanya berbicara tapi ia tidak menganggap anaknya hadir di sana.
Sosok itu melalui kesempatan ini banyak menunjukkan rahasia yang Ibu pendam dan tak pernah aku ketahui sebelumnya. Menyakitkan, sangat menyakitkan, aku ingin bangun, aku ingin berhenti melihatnya tapi tidak bisa. Sosok itu menekanku untuk melihat dan mengerti semuanya. Aku melihat Ibu dari sisi lain. Sisi yang tidak pernah ia tunjukkan kepadaku. Aku mengetahui bahwa diriku bukanlah orang yang Ibu harapkan kehadirannya. Sosok itu menunjukanku berbagai hal secara acak. Aku hanya bisa menonton dan sama sekali tidak bisa merubahnya. Ini tentang masa lalu keluargaku.
Baik, kita mulai ceritanya. Dulu, Ibu merupakan wanita yang hanya ingin fokus di pendidikan dan karirnya. Terlebih, Ibu berasal dari kampung yang kebanyakan wanitanya hanya berdiam diri di rumah. Ibu tidak suka itu, Ibu bahkan memutuskan untuk tidak menikah dan tidak mau mempunyai anak. Tapi, kakek-nenekku menentangnya. Katanya “Itu bukan adat istiadat keluarga kita.”
Ibu sangat teguh akan prinsipnya. Kakek dan nenekku bingung, ia ingin membiarkan anaknya bahagia, tapi ingin tetap mempertahankan adat yang telah mereka pegang selama ini. Bagaimana bisa seorang perempuan malah melajang dan tidak meneruskan keturunan? Akhirnya, keluargaku memberikan banyak syarat agar Ibu tetap boleh meneruskan pendidikannya. Pertama, Ibu harus menikah dahulu dengan pria yang dipilih kakek-nenekku. Kedua, Ibu tidak boleh merantau ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Ketiga, Ibu tetap harus melahirkan seorang anak untuk melanjutkan keturunan keluarga.
Akhirnya, Ibu dinikahkan dengan seorang juragan muda di desaku. Dia ayahku, mukanya tampan, badannya tegap dan perawakannya berwibawa. Ibu menerima tawaran tersebut. Awalnya semuanya berjalan dengan lancar. Usaha Ayah semakin maju di desanya. Ibu juga bisa meneruskan kuliahnya di universitas yang tidak jauh dari desa. Mereka berdua memutuskan untuk membuat seorang anak, setelah Ibu bisa mendapat karir yang selama ini ia dambakan. Tapi, suatu kesalahan muncul, Ayah dengan tidak sengaja menghamili Ibuku. Lagi-lagi karena laki-laki itu.
Ibu sempat memutuskan untuk menggugurkanku, anak dalam kandungannya. Namun, kakek-nenekku menghentikan rencana Ibuku dan melarang Ibuku untuk kembali berkuliah. Pada akhirnya, Ibu gagal mengejar mimpinya yang hancur karena keluarganya sendiri. Ibu tak menyalahkan kakek-nenekku atas kehamilannya, tak pula marah kepada Ayah, tapi ia berkata:
“Andai kamu tidak melanggar janjimu, mungkin nanti aku bisa menerimamu menjadi bagian dari hidupku,” kata Ibu. “Tapi itu tidak akan, begitu pula anak ini.” Ibu melanjutkan ucapannya.
Rasanya sedih, sesak, ketika melihat semua pemandangan yang ditampilkan sosok itu. Apakah ini hanya bualan? Untuk menyesatkanku untuk menjadi seorang anak durhaka. Sekarang, aku tahu siapa sosok itu sebenarnya. Ia hanyalah iblis yang seakan menyamar menjadi sosok penolong sebelum kematian.
“Hei, Iblis! Cepat keluarkan aku dari tempat ini!” teriakku.
“Wahai bocah! Ikuti saja alurnya, nanti kamu akan mengerti,” ucap sosok itu tanpa menunjukkan wujudnya.
Sosok itu kembali menunjukkan suatu hal. Kali ini dengan latar di pekarangan rumah, aku melihat diriku sendiri sedang bermain di luar. Aku sedang bermain tanah, permainan yang aku suka sejak kecil. Berpura-pura menjadi koki di restoran, dan hasilnya adalah makanan lezat berbahan dasar tanah. Saat itu diriku sudah menginjak usia 4 tahun, tapi sedari kecil Ayah dan Ibu membatasiku untuk berinteraksi dengan anak-anak di luar rumah.
Aku mendengar beberapa teriakan dari dalam rumah. Aku menahan diriku untuk mengeluarkan prasangka buruk. Awalnya aku ingin memutar gagang pintu rumahku. Ya, aku tidak akan melakukannya. Lebih tepatnya, aku tidak akan bisa melakukannya. Aku kan hanya bayangan dan juga tembus pandang. Aku tidak bisa berbuat apa pun, hanya bisa menyaksikan dan ikut merasa tersakiti.
“Hujan! Hujan! Hujan!” Aku mendengar Ayah berteriak dari dalam rumah dengan suara beratnya.
Hujan di situ bukan air yang turun dari langit. Tapi, itu namaku. Pemberian dari Ayah. Ayahku memanggil berkali-kali, tapi diriku tidak menoleh. Dalam diam, aku menyaksikan sambil berharap diriku yang di sana tetap asyik bermain dan tidak bergeming. Akhirnya, Ayah membuka pintu dan keluar dari rumah.
Tunggu, aku melihat Ayah membawa benda tajam. Apa yang telah Ayah lakukan kepada Ibu? Lalu, Ayah bergegas berjalan ke arahku. Sekarang, apa lagi yang ingin dia lakukan?
“Ayah, itu aku anakmu,” teriakku kepada Ayah sambil menunjuk diriku di usia 4 tahun.
Kupikir omonganku tidak ada gunanya. Tapi kulihat ayahku berhenti dan menatap diriku lamat-lamat.
“Ayah bisa melihatku?” Aku bertanya lagi.
“Siapa kamu? Kenapa bisa ada di halaman rumahku?” balas dia.
Ayah bisa melihatku? Itu menunjukkan bahwa eksistensiku nyata di tempat ini atau bukan sekadar bayangan semu lagi. Tak lama setelah itu, ayah meninggalkanku dan meneruskan langkahnya menuju diriku di masa kecil. Tunggu, apa yang akan ayah lakukan? Aku harus bergerak, aku harus mencegahnya, aku harus melawannya. Setiap panggilanku terhadap ayah, ia sama sekali tidak menengok dan tetap meneruskan langkahnya.
Aku memutuskan berlari untuk menghentikan langkahnya. Karena umurku lebih muda darinya, seharusnya lariku lebih cepat dibandingnya. Setelah berhasil mengejarnya. Aku menghalangi langkahnya dengan tubuhku dan berteriak. “Apa yang ingin Ayah lakukan?”
Ayah tidak menjawab, tapi ia bisa melihatku, sorot matanya marah dan kesal. Ia memukulku dan menendangku.
“Pergi kamu dasar orang asing, apa yang kamu ingin lakukan terhadap anakku?”
Tubuhku terjungkal ke tanah, rasanya sakit. Aku harus bisa bangun, tubuhku ini belum setua Ayah seharusnya aku bisa mengalahkannya. Aku bangkit dan menatapnya. Aku bersiap melawannya sebagaimana lelaki seharusnya.
Ayah mengarahkan tinjunya ke arah ulu hatiku. Tapi, aku bisa mencegahnya dan menangkap tangannya. Kudorong tangan itu, sampai Ayah terjatuh ke tanah. Diriku empat tahun lalu, masih asyik bermain di sana. Sama sekali tidak menoleh.
Ayah berusaha berdiri, sambil mengeluh kesakitan. Aku menahannya dengan kakiku, lama-lama aku semakin brutal. Aku memukulnya lalu menendangnya, menyebabkan banyak lebam merah di tubuhnya. Aku melihat dirinya mulai menggunakan senjata terakhirnya yaitu pisau. Tapi, tangannya terlalu lemah dan lambat. Pisau itu kurebut lalu tanpa sadar kutancapkan di tubuhnya yang melemah.
Tunggu, barusan apa yang aku lakukan? Aku menancapkan pisau di tubuhnya? Aku melihat darah keluar dari tubuh Ayah. Ia masih menatapku seakan dia mengucapkan sumpah serapah di dalam hatinya. Tak lama kemudian, Ayah menghembuskan napas terakhirnya dan menutup matanya.
Setelah itu seorang wanita keluar dari rumahnya sambil terisak. Ia menghampiri Ayah dan memanggil namanya. Ia memeluk tubuh Ayah yang terbujur kaku dan berlumuran darah. Wajah putih mulusnya, sekarang tertutupi warna merah milik darah Ayah.
“Ayo bangun, jangan tinggalkan kami berdua. Aku membutuhkanmu,” isak Ibu.
Hujan turun, tangisan Ibu sangat deras selaras dengan derasnya hujan yang turun. Aku salah langkah dan arah, Ibu jelas menyayangi Ayah. Aku gagal mewujudkan keinginan terbesarku. Aku malu bertemu Ibu, bisakah aku hilang dan lenyap saja? Seakan aku tidak pernah hadir dalam hidupnya. Aku sudah menghancurkan kebahagiaan Ibu di saat yang paling ia rindukan. Di saat hujan turun.
“Inikah saatnya aku kembali?” tanyaku seraya menangis.
“Iya,” jawab sebuah suara.
“Inikah saatnya aku mati?” tanyaku seraya terbujur kaku.
“Belum.”
***
Malam ini, awan hitam menyelimuti langit menunggu aba-aba Sang Pencipta untuk menurunkan hujan. Angin malam menerobos masuk melalui jendela menebarkan bau obat di seluruh ruangannya. Sekaligus memanggilku untuk bangun dan kembali ke kenyataan. Sunyi dan sepi, tidak ada suara sama sekali. Ini sudah berakhir, waktunya aku bangun.
Aku membuka kedua mataku. Hal yang pertama kali kulihat adalah ruangan luas berwarna putih. Dan tubuhku yang penuh dengan selang, mulut dan hidungku yang disumbat oleh oksigen, serta punggung tanganku yang ditusuk oleh jarum infus. Aku melihat Ibu tertidur di sofa tepat di samping tempat tidurku.
“Ibu, aku sudah kembali,” bisikku pelan.
Setelah itu, aku melihat Ibu membuka matanya. Matanya berbinar, seakan ia bertemu dengan seseorang yang sudah lama tak bertemu dengannya. Tak lama, Ibu seperti meneriakkan sebuah kata-kata yang tidak bisa kudengar. Apa yang terjadi terhadap suara Ibu? Seorang dokter laki-laki dengan diikuti dua orang perawat masuk kedalam ruangan. Dokter tersebut memeriksa diriku selama beberapa menit. Lalu, mengobrol dan memberitahu beberapa hal tanpa suara kepada Ibu. Tak selang 10 menit, dokter dan rekan-rekannya keluar meninggalkanku dan Ibu.
“Kenapa aku ada di rumah sakit, Bu?” tanyaku.
Ibu tersenyum sebentar, lalu menjelaskan berbagai hal melalui isyarat tangan yang dapat kupahami. Aku mengerti, bukan Ibuku yang tidak bisa bicara. Tapi, akulah yang tidak bisa mendengar. Sedari kecil, tuhan sudah menganugerahi diriku perbedaan. Perbedaan yang membuat kedua orang tuaku begitu menyayangi anaknya ini. Oh iya, kedua orang tuaku sempat mengingatkanku pada pelatihan berbicara saat kecil sehingga saat ini aku bisa melakukan percakapan meskipun pelafalannya tidak bisa dibilang cukup bagus untuk standar orang-orang yang dapat mendengar.
Ibu bercerita bahwa sudah sembilan bulan aku tidak sadarkan diri karena sebuah gangguan kejiwaan. Hal tersebut menyebabkan diriku mengalami amnesia ringan. Jadi, hal yang selama ini terjadi padaku, bukanlah sekadar mimpi saja melainkan perjalananku ketika koma atau pencerminan dari kondisi kejiwaanku saat itu. Tiba-tiba aku teringat Ayah yang sedang merantau, apakah ia pernah menghubungi Ibu dari perantauannya.
“Bu, kapan Ayah kembali dari perantauannya?” tanyaku pelan.
Ekspresi Ibu berubah kaget. Ia menarik napas pelan-pelan dan menaikkan sebelah alisnya sambil bertanya “Dari mana kamu tahu Ayah merantau?”
Aku memperhatikan gerakan mulut Ibu pelan-pelan.
“Apa ada yang salah, Bu?” tanyaku lagi.
“Ayahmu sudah meninggal sejak usiamu 4 tahun. Ketika ia ingin menyelamatkanmu. Ia dibunuh orang asing yang ingin menculikmu,” ucap Ibu pelan-pelan disertai dengan isyarat tangannya.
Senyumnya kini pelan-pelan memudar, digantikan ekspresi sedih yang berusaha tidak ia tunjukkan. Bu, akulah pembunuhnya, aku yang membuat Ibu bersedih, aku yang membunuh Ayah.
“Bu, Apakah hujan sudah turun?” ucapku kepada Ibu.
“Sudah, ia turun bersamaan dengan waktu kamu bangun.”
“Apa Ibu bahagia?”
“Iya, Ibu bahagia. Ibu rindu sekali dengan hujan tapi selama ini Ibu lebih merindukan kesadaranmu.” Ibu sambil menghela napasnya. “Hujan yang berasal dari rahim Ibu sendiri,” lanjut Ibu.
“Apakah Ibu merindukan Ayah?” tanyaku sambil menitihkan air mata.
“Selalu.” Kali ini Ibu tidak mengucapkan kata apapun melalui mulutnya, tetapi menunjukkannya melalui isyarat tangan sembari tersenyum.
Aku melihat keluar jendela. Mengikuti irama nada hujan yang tak bisa kudengar. Benar Kata Ibu, hujan bisa saja datang membawa penyesalan. Aku percaya dengan hal itu, sekarang aku menyesal karena sebuah kegagalan dan kebodohan yang kubuat. Air mataku jatuh deras bagaikan air hujan yang turun.
Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Bahwa yang mati hari ini bukanlah sebuah raga melainkan sebuah jiwa. Kini, aku mengeluarkan tangisan berkabung sekaligus penyesalan terhadap kematian ayahku dan juga terhadap kebencian yang tak jelas kupendam dalam diriku. Kini, Aku tau siapa sosok cahaya itu, dialah sang perkabungan.
Image by istockphoto.com
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<