KURUNGBUKA.com – (07/03/2024) Pada saat industri hiburan belum terlalu ramai dan masuk ke rumah-rumah, beberapa orang memiliki waktu senggang yang tidak dibiarkan berlalu saja. Mereka ada yang membiasakan atau terlena dengan melamun. Namun, melamun di mata orangtua atau orang-orang yang sibuk dalam kerja adalah “kesalahan”.
Tuduhan yang diberikan: buang-buang waktu, tidak ada gunanya, atau menuruti kemalasan. Melamun yang nikmat justru mendapat penilaian-penilaian buruk meski tidak semuanta dapat dibenarkan. Kini, melamun itu sulit dilakukan dan dikangeni. Melamun yang “diharamkan” oleh industri hiburan dan seribu perintah dalam kerja.
Yang suka melamun: Hamsad Rangkuti. Melamun menentukan kesusastraan. Hamsad Rangkuti (1983) menceritakan: “Saya adalah seorang pengelamun yang parah. Saya suka duduk berjam-jam di atas pohon membiarkan pikiran saya terbang ke mana dia suka tanpa saya mengontrolnya dan saya merasa nikmat. Seolah saya berada di alam lain.”
Melamun itu nikmat! Ia berani mengambil risiko jatuh dari pohon. Akibat yang diterimanya justru bergairah dalam kesusastraan. Ia “jatuh” dalam kenikmatan bersastra. Artinya, melamun bukan dosa atau kesia-siaan. Yang melamun, yang bernyawa dalam sastra.
Melamun disokong pengalaman-pengalaman hidupnya. Ia tidak membiarkan pengalaman tanpa kesan-kesan. Jadi, lamunan yang nikmat sebenarnya berkaitan pengalaman. Hamsad Rangkuti menerangkan: “Saya tergolong penulis berbakat alam. Saya tidak mendapatkan pendidikan khusus tentang kepengarangan.”
Yang dialami sejak dari kampung halaman dan pelbagai kota adalah usahanya memberi arti yang mewujud cerita. Melamun dianggapnya perlu sebelum semuanya tak teraih dan tercatat.
(Pamusuk Eneste (editor), 1984, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II, Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<