Cplukk… cplukk… cplukk…, terdengar suara genangan air yang diinjak. Dari kejauhan, terlihat beberapa anak sedang mengejar sesuatu.

“Ayo kejar! Kita hampir mendapatkannya,” teriak Kala, salah satu anak tersebut, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin yang berbisik melalui celah-celah kubah. Di bawah langit kelabu yang terhalang oleh kubah transparan, sekelompok anak muda berlari menembus lorong-lorong sempit yang dibentuk oleh rumah-rumah tua. Hatinya dipenuhi oleh kegembiraan yang liar dan tak terkendali. Cahaya itu lagi, sebuah kilatan misterius yang menari di ujung pandangan mereka, menuntun mereka ke dalam misteri yang belum terpecahkan.

“Di sana!” seru Lila, menunjuk ke arah sinar yang berkelip di antara bangunan-bangunan tua tersebut. Mereka berpacu dengan waktu, berharap dapat menangkap cahaya itu sebelum larangan mutlak itu mengejar mereka, batas yang tidak boleh mereka langgar. Namun, semakin mereka mendekat, cahaya itu semakin sulit untuk diikuti, seperti bayangan yang menghilang saat hendak disentuh. Saat mereka mendekati perbatasan kubah, yang terlihat hanya sebagai garis samar di kejauhan, hati mereka berdebar kencang. Napas Kala terengah-engah, dan dia merasa seolah-olah jantungnya sedang terbakar. Di saat-saat terakhir, ketika cahaya itu tampaknya hampir terjangkau, Jaka, yang paling rasional di antara mereka, menarik napas dalam-dalam dan berhenti, menahan bahu Kala.

“Kita tidak bisa,” katanya dengan suara yang berat, “kita tidak boleh melangkah lebih jauh lagi.” Namun, Kala tidak bisa menahan diri. Dengan napas yang terengah-engah, dia menoleh ke arah temannya, matanya bersinar dengan kekecewaan dan tekad.

“Tapi kita harus tahu, Jaka. Kita sudah sampai sejauh ini, sudah berbulan-bulan kita berusaha mengejar cahaya itu,” balasnya, suaranya hampir tidak terdengar di bawah bisikan angin yang seolah-olah memperingatkan mereka untuk tidak melanjutkan.

Mereka berdiri di sana, di ambang penemuan, namun juga di ambang pelanggaran. Cahaya itu, sekarang hanya sebuah titik yang samar, tampaknya memahami keraguan mereka dan menghilang ke dalam kabut pagi yang dingin, meninggalkan mereka dengan pertanyaan yang lebih besar daripada jawaban. Akhirnya dengan hati yang berat, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Namun, kaki Kala enggan untuk melangkah, dan masih tetap berdiam di tempat. Ia menatap dalam-dalam apa yang berada di luar kubah tersebut dengan penuh rasa penasaran.

“Kala! Ayo kita kembali sebelum seseorang menyadari kita sedang berada di ujung perbatasan!” panggil Jaka. Akhirnya Kala memutuskan mengikuti saran temannya. Saat ia hendak membalikkan badan, sekilas ada sesuatu atau bahkan seseorang yang baru saja lewat di luar kubah tersebut. Ketika Kala melangkah maju untuk melihat lebih jelas, tiba-tiba saja ada sesuatu yang menariknya dari belakang.

“Sudahlah, nurut aja kalau sudah diberitahu. Toh, itu buat kebaikanmu juga, lho,” ternyata Lila menyeret Kala ke belakang dengan menarik bajunya.

“Ya udah, iya, iya. Sekarang lepaskan, bajuku keburu melar nanti,” rengek Kala. Pada akhirnya, tiga sekawan itu memutuskan untuk kembali, namun membawa rasa penasaran di hati mereka masing-masing, terutama Kala, setelah ia melihat sebuah penampakan di luar kubah tersebut. Ia percaya bahwa ada sesuatu yang istimewa diluar sana, bahwa sebenarnya di luar sana tidak seperti yang diceritakan orang-orang selama ini dan suatu hari ia pasti mendapatkan apa yang dicarinya selama ini. Setelah kembali, mereka disambut dengan suasana yang tegang.

Kabar tentang petualangan kecil mereka telah tersebar, seluruh mata di sekitar menatap lurus ke mereka, banyak dari mereka juga mulai berbisik-bisik sambil menatap sinis ke arah mereka.

“Kala, Lila, Jaka!” seru pengawas asrama yang sudah menunggu mereka sejak tadi, berdiri dengan lengan terlipat dan ekspresi yang sulit dibaca. Ketika mereka mendekat, mereka bertiga menarik napas dalam-dalam dan mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Kalian tahu aturannya, kan?” kata pengawas dengan suara yang tegas.

“Tidak ada yang boleh berada di dekat perbatasan. Itu adalah aturan yang paling dasar.”

“Kami tahu,” jawab ketiganya dengan kepala yang tertunduk.

“Tapi kami hanya ingin mencari tahu sumber dari cahaya tersebut. Banyak orang yang mengatakan bahwa siapa pun yang berhasil menangkap cahaya itu, maka permohonannya akan dikabulkan.” ucap Kala berusaha membela diri.

“Itu semua hanya dongeng belaka Kala, tidak ada yang namanya cahaya pengabul permohonan. Mau saja kamu dikibuli teman-temanmu,” ucap pengawas asrama yang sudah geram.

“Sudah kalian semua balik ke kamar kalian masing-masing, ini peringatan terakhir untuk kalian bertiga sebelum saya mengeluarkan kalian dari asrama ini secara permanen.” Dan dengan itu, pengawas tersebut membuka gerbang asrama dan membiarkan mereka masuk kembali.

Ketika ketiga anak muda itu melangkah masuk ke dalam gedung asrama mereka, seketika lorong asrama tersebut menjadi hening. Beberapa temannya yang telah mendengar tentang petualangan mereka, menatap dengan ekspresi yang campur aduk antara kekaguman dan kekhawatiran. Beberapa berdiri dengan lengan terlipat, sementara yang lain memiliki mata yang bertanya-tanya, seolah-olah meminta penjelasan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

***

“Kalian benar-benar melakukannya, ya?” Salah satu teman dekat mereka, yang selalu dikenal karena rasa ingin tahunya, melangkah maju.

“Kita sudah hampir mendapatkannya, tetapi ia pergi melewati perbatasan,” ucap Kala kesal.

“Kalian pergi ke perbatasan?” sontak Karla, nama yang mirip dengan Kala, kaget. Ia mengangkat bahunya.

“Iya, memangnya kenapa?” jawabnya santai, “kalian tahu, kan, kita memiliki aturan untuk tidak pergi ke daerah sana. Aturan itu tidak hanya asal-asalan dibuat, itu untuk kebaikan dan keselamatan kita semua.”

Kala hanya mendengus geli.

“Kebaikan kita semua? Sudah ratusan tahun orang-orang tidak pernah menginjakkan kaki di luar sana. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa di luar sana berbahaya dan tidak aman untuk kita?”

“Kubah ini, kan, dibuat bukan tanpa alasan Kala, ratusan tahun yang lalu udara di bumi sudah terkontaminasi dengan suatu gas, yang pada akhirnya menyebabkan udara di luar sana menjadi beracun. Kita, kan, sudah diajarkan tentang ini sejak kecil dulu.” jelas Karla.

“Ya tapi, kan, bisa saja itu hanya sebuah karangan yang dibuat oleh para leluhur,” Kala asal menjawab.

“Hah! Terserahmulah Kala,” katanya dengan suara yang rendah.

“Tapi….” Karla bertanya dengan penuh rasa ingin tahu yang tak tersembunyi.

“Apa kalian melihat sesuatu di luar sana?”

“Kami hanya mengejar cahaya itu saja, tidak ada hal menarik lainnya,” ucap Lila.

“Hmm, baiklah. Ayo kita masuk ke kamar, Lila.” ajak Karla.

Akhirnya kedua pemudi tersebut pergi menuju kamar mereka, meninggalkan dua pemuda yang masih terdiam di tempatnya. Kala, yang teringat kejadian tadi, menjadi termenung dan menjadi sangat penasaran dengan apa yang dilihatnya tadi.

“Ayo Kal, kita juga masih harus membereskan kamar kita,” ucap Jaka.

Akhirnya Jaka dan Kala pun kembali ke kamarnya dan mulai beberes karena sudah ditinggalkan seharian dan membersihkan diri juga karena waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam saat itu.

Ketika mereka berdua sudah berbaring di tempat tidur masing-masing, Jaka mengucapkan selamat malam kepada Kala dan segera memasuki dunia mimpi. Kala masih saja terjebak dalam alam awah sadarnya dan diselimuti oleh penasaran.

“Hmm, apa aku memang hanya salah lihat saja tadi saat di luar.” Kala mempertanyakan dirinya sendiri. Tak mau ambil pusing, akhirnya Kala pun memutuskan untuk tidur dan akhirnya terlelap dalam tidurnya. Namun tanpa disadarinya, dari luar kaca kamar Kala, terlihat sebuah sosok yang sedang memperhatikannya dari jauh sejak tadi. Makhluk tersebut tersenyum sekilas saat memperhatikan Kala, kemudian ia segera pergi dari sana dan menyatu dengan gelapnya malam.

***

Keesokan harinya, di tengah hiruk-pikuk kegiatan sekolah, Kala yang pada saat itu sedang berada di kelasnya merasakan sesuatu yang aneh. Di antara suara-suara guru yang sedang memberikan pembelajaran, sayup-sayup ada suara bisikan yang memanggil namanya. Bisikan itu lembut namun mendesak, seolah-olah memanggilnya untuk meninggalkan semuanya dan mengikuti panggilan itu.

Kala mencoba untuk mengabaikan suara itu, dan berusaha untuk fokus pada materi yang sedang diterangkan oleh gurunya. Tetapi, bisikan itu terus berlanjut, semakin kuat dan semakin jelas. Akhirnya Kala sudah tidak bisa menahannya lagi, ia memutuskan untuk keluar dari kelas dengan menggunakan izin bahwa ia hanya akan pergi ke toilet kepada gurunya. Gurunya pun mengiyakannya, lalu Kala pun melangkahkan kakinya keluar dari kelas tersebut. Seketika saat Kala beranjak keluar, ia melihat ke arah jendela sekolahnya, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat cahaya yang ia kejar kemarin berada diluar jendela tersebut. Cahaya itu biasanya hanya akan keluar setiap beberapa bulan sekali, anehnya cahaya itu muncul lagi pada hari ini. Kala yang masih terkejut dengan apa yang disaksikannya, terdiam di tempatnya sebentar. Dan tanpa pikir panjang, Kala pun segera mengikuti cahaya tersebut dan keluar dari sekolahnya tanpa tertangkap basah oleh penjaga sekolah.

Cahaya tersebut menuntun Kala menuju jalanan yang sepi, melewati lorong-lorong sebuah kawasan perumahan yang sudah lama tidak ditinggali, Kala pun merasa tidak asing dengan tempat tersebut. Saat ia mulai mendekati perbatasan kubah, ia pun menyadari bahwa ini adalah tempat yang kemarin ia datangi bersama kedua sahabatnya. Cahaya itu pun menuntun Kala ke sebuah goa tersembunyi yang berada disekitar perbatasan, yang sebelumnya belum pernah dia ketahui.

Kala pun menyusuri goa yang gelap itu, ketika Kala telah sampai diujung goa, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati sebuah pintu besi yang berada di akhir goa tersebut, yang tampaknya mengarah keluar dari kubah. Awalnya bimbang, namun, Kala pun menarik pegangan dari pintu besi itu dan berhasil membukanya.

“Wah, apa ini? Apakah aku sedang bermimpi?” tanya Kala dengan ekspresi terkejut namun, juga kagum dengan apa yang disaksikannya sekarang. Angin sejuk menyambut mereka, membawa aroma tanah yang subur dan kehidupan yang belum pernah Kala rasakan sebelumnya. Ia menyusuri padang hijau yang luas itu, menyerap detail, setiap warna, dan setiap suara. Di sini, di luar kubah, dunia terasa begitu luas, begitu nyata, dan begitu indah dibandingkan dengan kehidupan di dalam kubah.

Kala tahu bahwa ia tidak bisa menyimpan penemuan ini untuk dirinya sendiri, ia harus segera kembali dan memberitahu yang lainnya tentang dunia di luar kubah. Bahwa selama ratusan tahun mereka semua telah dibohongi dengan cerita belaka yang telah diceritakan secara turun-temurun. Saat Kala hendak kembali, ia dihadang oleh dua pria berbadan tegap yang langsung menyanderanya, dan membawanya ke sebuah tempat rahasia.

“Kamu tidak seharusnya melihat itu,” kata salah satu pria dengan suara yang tegas. “Apa yang kamu lihat di luar sana, harus tetap di luar sana.”

Kala mencoba melepaskan diri, tetapi ia telah terikat ke sebuah kursi.

“Siapa kalian?! Mau apa kalian denganku? Lepaskan diriku sekarang juga!” protes Kala.

“Tenangkan dirimu, Nak,” ucap seorang pria yang tampaknya adalah pimpinan dari kedua orang yang baru saja menculiknya.

“Apakah kau familier dengan organisasi DIS?” tanya pria tersebut.

“Ya, aku tahu. Itu adalah organisasi yang dibuat oleh pemerintah untuk menjaga daerah perbatasan agar tidak ada yang melewati maupun masuk ke dalam kubah kan.” ucap Kala.

DIS atau Dome Investigation Service adalah organisasi yang sudah lama didirikan untuk menjaga daerah perbatasan semenjak atmosfer bumi menjadi beracun, dan akhirnya setiap negara terpaksa terkurung di dalam sebuah kubah selama beratus tahun, atau setidaknya itulah yang kita ketahui, hingga saat ini.

“Ya benar, kau pasti sudah tahu apa itu DIS,” pria itu menjawab.

“Lalu apa alasan kalian menculikku?” tanya Kala.

“Kau sudah melewati daerah perbatasan dan melihat dunia di luar kubah, tidak seharusnya orang awam sepertimu melihat hal tersebut.”

“Tapi kenapa? Mengapa menyembunyikan fakta bahwa dunia di luar kubah tidak seperti yang kalian ceritakan selama ini? Mengapa kalian menipu kami?” tanya Kala frustrasi akan kenyataan yang baru saja menamparnya.

“Ini semua demi kebaikan kita semua, dengan tinggal di dalam kubah maka, akan mudah untuk mengatur masyarakat di sini. Kita juga dapat menerima bayaran tambahan untuk setiap biaya bulanan yang mereka keluarkan untuk udara yang telah ‘tersaring dari racun’ sehingga kita mendapat keuntungannya yang banyak dari sistem ini.” Pria tersebut menjelaskan sambil menyeringai.

“Kebaikan kita semua? Maksudmu untuk kebaikan kalian semua? Kalian semua gila! Lihat saja ketika aku bebas dari tempat ini nanti, akan kuberi tahu semua orang tentang akal-akalan busuk kalian,” seru Kala teriak. Sontak semua orang di ruangan itu kecuali Kala tertawa terbahak.

“Kau kira kita akan membebaskanmu dari tempat ini, setelah apa yang telah kau lihat, Nak? Bawa anak ini pergi.”

Kedua pria yang berada di belakang Kala langsung saja mengangkatnya dan membawa ia pergi ke sebuah tempat yang lain.

“Lepaskan! mau ke mana kalian membawaku pergi?”

“Sudah diam saja, Nak,” ucap salah satu dari pria itu.

“Kau pasti penasaran dengan cahaya yang selama ini kau kejar hingga bisa tiba di sini, kan, Nak?’ tanya pria itu.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Kala.

“Kemarin kami sudah memperhatikan kamu dan teman-temanmu mengejar drone kami hingga perbatasan,” ucap pria itu.

“Jet?” tanya Kala kebingungan.

“Ya, cahaya itu adalah Jet kargo kami, yang digunakan untuk mengirim barang keluar dari kubah, atau untuk mengasingkan orang-orang yang bisa menganggu alur kerja kami.”

“Hah?” tiba-tiba saja mulut Kala ditutupi dengan kain dan langsung kehilangan kesadarannya. Kedua pria tersebut melempar Kala masuk ke dalam jet tersebut dan jet itu langsung pergi meninggalkan kubah.

“Hei Kala benar-benar pergi meninggalkan kita tanpa berpamitan nih? Padahal kukira kita dekat, bisa-bisanya ia tidak bilang bahwa ia akan pindah sekolah,” kesal Lila.

“Sudahlah, mungkin dia tidak ingin kita sedih dengan kepergiannya sehingga ia memutuskan untuk tidak menceritakannya.” Karla, seseorang yang namanya mirip Kala menjawab.

Sudah berbulan-bulan berlalu semenjak kepergian Kala, pihak sekolah mengatakan bahwa Kala telah pindah dari sekolah tersebut dan sudah tidak tinggal di asrama bersama kawan-kawannya. Jaka yang pada saat itu termenung, mengingat kepergian sahabatnya, melihat keluar jendela dan menemukan sesuatu yang tidak asing. Ia melihat cahaya itu lagi, yang pada saat itu ia kejar bersama Kala yang sekaligus menjadi kenangan terakhir bersamanya. Jaka yang teringat rumor tentang cahaya pengabul permohonan itu pun, memutuskan untuk membuat suatu permohonan.

“Aku harap, di mana pun kau berada, kau bisa mencapai segala keinginanmu Kala, untuk melihat dunia yang lebih luas lagi dibandingkan di dalam kubah. Untuk memahami bahwa dunia tak melulu dalam cengkeraman dan dalam nyaman bagi segelintir orang saja. Aku harap garis samar di kejauhan, suatu saat nanti menjadi tebal dan mendekat. Ya, aku harap. Tapi sampai kapan kita hanya mengandalkan harapan?”

*) Cerpen ini meraih juara 1 dalam lomba FLS2N SMA Tingkat Kota/Wilayah Jakarta Barat 2.

Image by istockphoto.com