Sebenarnya wacana kemah di Paralayang sudah ada sejak tahun lalu, karena adik ipar saya waktu itu sudah merasakannya lebih dulu. Alhamdulillah, tahun ini dia sudah menikah, jadilah kami adakan “family adventure” dengan berkemah bersama.

Kalau kamu tahu Kemuning yang terkenal dengan perkebunan tehnya itu, Paralayang tidak jauh dari Kemuning. Masih kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lebih tepatnya, sih, terletak di Desa Segorogunung. Saya tidak terlalu hafal jalan, apalagi kami berangkat bersama rombongan menjelang Magrib. Namun, qadarullah, motor yang saya tumpangi rusak sehingga tidak bisa jalan lagi. Mau cari bengkel pun entah di mana karena waktu sudah malam. Motor tidak mau jalan sama sekali. Apa mungkin motornya ngambek karena saya terlalu berat jadi dia nggak sanggup nanjak? Hehehe….

Motor kami mogok tepat di pinggir jalan, di halaman rumah agak luas milik seorang bapak yang tak sempat kami tanyakan namanya. Beliau sedang mencuci mobil, melihat kami berhenti di depan rumahnya ia kebingungan. Lalu menghampiri kami dan bertanya:

“Mau ke mana?”

“Mau kemping di Paralayang, Pak. Motornya rusak, bengkel yang deket sini di mana ya?”

“Di sini bengkel udah pada tutup. Ada, sih, bengkel keliling. Cuma orangnya lagi ke mesjid. Nanti tak cegat,” katanya.

Kami pun menunggu. Fyi, kami berangkat konvoi. Saya bersama suami beserta dua anak, Fatih dan Kholid. Indar (adik ipar) sendirian bawa tenda dan peralatan lainnya. Fitri (istri Indar) boncengan dengan ponakannya, Maryam dengan membawa tikar dan logistik. Mereka balik arah menemani saya dan suami.

Sempat ada kekhawatiran sih, melihat kondisi sudah malam, rasanya nggak mungkin deh melanjutkan perjalanan. Rencana kami berangkat bakda ashar jadi ngaret jam lima sore. Alasannya karena emak meminta Fitri nganterin njagong (kondangan) lebih dulu.

Kalau dipikir-pikir, berkah banget lho itu motor mogoknya persis di depan rumah orang baik. Yang bantu mencarikan bengkel, juga mengizinkan kami istirahat di rumahnya. Disuguhi minuman juga. Diizinkan numpang salat, dan Kholid pun tidur di kasur ruang tengah beliau, dipinjamkan selimut pula. Bayangkan kalau mogoknya sudah di atas, jangankan bengkel atau rumah penduduk, kandang ayam saja nggak ada. Bisa jadi ini karena Fitri nurut sama ibu mertua untuk nganterin kondangan tadi ke tiga tempat.

Bengkel keliling pun lewat, dialog tentang kondisi motor dan tampaknya beliau nggak bisa memperbaiki motor itu. Lalu bapak pemilik rumah menaiki motornya mencari bengkel terdekat. Tak lama kemudian kembali lagi dan mengantarkan suami ke sana.

Aku, Fitri, Maryam, dan anak-anakku menunggu di rumah itu. Satu jam berlalu, kami mulai pesimis. Ini sudah agak malam, kira-kira apakah perjalanan ini akan berlanjut?

Ya sudah, kami memutuskan untuk salat dulu. Di rumah bapak pemilik rumah itu. Masyaallah semoga Allah membalas kebaikan beliau sekeluarga.

“Gimana nih Fit, bakal lanjut nggak?” tanya saya.

“Nggak tahu, Teh. Kayaknya nggak jadi, deh.”

“Sayang banget ya kalo nggak jadi. Udah deket. Setengah jam lagi kan?” kata saya setelah cek aplikasi Go-Car, barangkali mau lanjut perjalanan dengan naik Go-Car.

Dua jam kami masih menunggu. Pukul 20.00 masih di jalan, bagaimana bangun tendanya? Apakah jalan muncaknya aman? Kata Indar, jalannya cukup ekstrem. Berliku dan menanjak. Saya agak khawatir juga, tapi lebih besar penasarannya. Membayangkan indahnya pemandangan Kota Solo dari puncak bukit Paralayang. Tapi mau bagaimana lagi? Ya, sudah pasrah saja deh….

***

Ipan (adik Fitri) dan Bayu (ponakan Fitri) turun gunung dengan dua motor. Mereka sebenarnya sudah muncak duluan, tapi disuruh turun oleh Fitri untuk jemput kami. Agak lama menunggu lagi, suamiku dan Indar kembali. Motor sudah nyala lagi. Kemudian kami mengatur strategi, siapa naik motor siapa, sambil memperkirakan medan. Kholid sudah tidur sejak tadi, sangat pulas. Saya bersamanya dibonceng suami. Fatih dibonceng Bayu, Thoriq bersama Indar dan Fitri. Sementara Ipan membawa tenda dan peralatan kemah lainnya.

Benar saja, cuy! Jalanannya ekstrem. Menanjak, menurun dan berliku-liku. Penuh tikungan yang bikin baper, eh, Maksudnya bikin deg-degan, deh. Kanan kiri ‘kan jurang.

Sekitar 30 menit perjalanan, dengan pemandangan lampu-lampu lembah kiri jalan, aduhai indahnya. Berdecak kagum menyaksikan keindahan ini. Namun, itu belum seberapa sodara-sodara sebangsa dan setanah air. Masih ada lagi yang uwow di puncak sana.

Kami sampai di area kemah Paralayang, Kemuning. Setelah parkir motor, para lelaki membangun tenda, dan para gadis (hah, gadis? Ngaku-ngaku yeeee!) masak mi instan. Duh, kebayang lezatnya makan mi instan di tengah udara dingin malam-malam begini. Lupakanlah jumlah kalori dan potensi kenaikan berat badan. Sing penting telih iki ane isine, lur—yang penting perut ini ada isinya, gaes.

Jadi, tenda kami berdiri menghadap lembah bintang yang indahnya melebihi apa yang kami lihat di jalan. Di belakang kami Puncak Lawu tampak begitu eksotis sebab ada pancaran sinar bulan yang baru terbit. Perlahan bulan itu naik, sehingga cahayanya mewarnai langit malam kala itu. Ya, persis purnama itu menggantung di Puncak Lawu.

Karena ini momen langka, nggak mau dong menyiak-nyiakannya dengan tidur di dalam tenda? Mau kemah atau pindah peturon (tempat tidur) doang, gaes? Hahaha….

Kemah belum lengkap kalau nggak ada api unggunnya. Jadi Indar membeli kayu bakar seharga 15.000! Uwuw banget sih harga segitu untuk beberapa potong kayu bakar! Jadilah kami bakar-bakar sosis, tuh, kan lupa lagi sama jumlah kalori. Tambah kopi dan wedang jahe, biar tambah amnesia sama berat badan, hihi.. Sambil ngobrol nggak keruan tentang keberadaan kami di puncak sini. Lalu mencoba berfilosofi:

“Kita jauh-jauh ke sini mau ngapain sih, gaes? Melihat keindahan lampu-lampu itu? Sekadar melihat pemandangan? Itu saja?

“Maksudnya gimana, Teh?” tanya Fitri.

“Kita lihat dari atas sini, semua tampak indah. Namun, apa yang kelihatan? Orang yang ada di bawah sana, punya rumah bagus, mobil mewah, buat apa? Dari atas sini nggak kelihatan! Jadi apa yang akan manusia sombongkan? Lha dari atas sini saja nggak ada apa-apanya,” uraiku ngasal. Sing penting lak judule filosofi to? Yowis… hehehe….

***

Mi instan yang dimasak saat kemah adalah makanan terlezat. Saya sudah mempersiapkan bahan-bahannya dari rumah, termasuk kopi dan jahe instan. Fitri juga membawa sosis. Semakin mantaplah!

Oya, tadi saat masih di area bawah sebelum masuk ke jalan Paralayang, ada yang memungut uang masuk dari pengunjung. Per-orang dikenai 5000 rupiah, kemudian untuk tarif kemahnya Rp10.000/orang. Anak kecil nggak dihitung. Jadi kalau anak emak 10 tuh lumayan bisa hemat. Terus untuk parkir motor Rp5000. Kamu nggak usah bingung kalau mau bikin api unggun, ada yang jual. Satu ikat kayu bakar Rp15.000. Lumayan untuk menghangatkan badan, sambil bakar sosis tambah nikmat. Namun, di puncak sini nggak ada sinyal untuk provider SIM card tertentu, tapi itu bukan kendala. Ada juga yang jual wifi berupa voucher gitu. Harganya Rp5000/2 jam. Lumayan ‘kaaaan buat upload foto di IG atau status WA? Kalau saya, sih lebih seneng menikmati malam itu dengan diam memandangi lautan bintang, biarlah upload fotonya besok-besok saja.

Rencananya malam ini saya nggak pengen tidur, tapi udara semakin dingin. Jadi jam satu gitu masuk tenda, berselimut tapi tetep dingin. Meskipun tentu saja, lebih dingin sikap kamu ke aku, sih. Eaaaa….

Pukul tiga dini hari, saya terbangun karena suara alarm. Masih dingin, tapi nggak bisa tidur lagi. Jadilah keluar tenda dan lagi-lagi menikmati suasana malam yang aduhai. Beberapa orang yang kemah masih terdengar suaranya, nyanyi-nyanyi sambil main gitar. Oke, mungkin dengan cara itu bisa mengobati rasa kangen mereka kepada pujaan hati.

Sayup-sayup terdengar azan subuh pukul 4.15 pagi. Kami solat subuh berjamaah, benar-benar aduhai nikmatnya. Sujud di rerumputan dingin yang berembun. Apalagi saat wudu tadi, airnya nyesssss dingin banget kayak wudu pakai air kulkas campur es batu.

Momen eksotis ialah saat mentari mulai terbit dan memancarkan sinarnya yang lembut menghangatkan. Lebih hangat dari pancaran cinta di matamu. Eaaaa lagi…. Nuansa hijau mulai tampak, puncak Lawu di belakang juga menampilkan keelokannya. Sedangkan di kejauhan sana, kota Solo dengan pemandangan jalan dan rumah-rumahnya mulai jelas lika-likunya. Merapi dan Merbabu yang gagah juga tak kalah memesona. Hijau kebun teh Kemuning sangat anggun, berpadu dengan hijau pepohonan, putihnya awan dan biru langit. Sempurna! View yang nggak akan pernah saya lihat di Kota Serang.

Belum puas rasanya kalau belum mengambil gambar dan merekam panorama indah ini. Cekrak-cekrek kalau belum 100 kali itu belum afdal. Apalagi kalau fotonya sama pasangan halal, duuuh romantis pokoknya! Kayak Indar dan Fitri, nih yang masih pengantin baru. Uhuy-lah mereka berdua itu!

Usai sarapan (mi instan lagi), kami membereskan tenda lalu bersiap turun. Tak lupa, saya rekam tuh perjalanan turunnya. Daebak awesome, pokoknya!