Judul Buku : Aviarium
Penulis : Hasan Aspahani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2019
Tebal : 76 Halaman
ISBN : 978-602-06-2384-9
Puisi merupakan hasil respons penyair terhadap seluruh hal yang melingkupinya. Respons-respons tersebut kemudian dikontemplasikan, diracik dan dihidangkan sedemikian rupa sebagai ruang kehidupan baru atau refleksi kehidupan di hadapan pembaca. Maka dalam hal ini lingkungan menjadi unsur pertama yang memengaruhi tumbuh dan berkembangnya sebuah ruang dalam puisi dari tangan penyair.
Ada banyak hal yang menggerakkan pikiran dan perasaan penyair untuk merespons. Peristiwa-peristiwa besar, kemelut politik, isu-isu sosial atau bahkan hal kecil yang mengganjal hati orang banyak, tak terkecuali penyairnya. Karena itu tidak jarang kita dapat merasakan suasana, latar atau situasi yang melatari sebuah peristiwa. Bahkan terkadang kita merasa jika puisi yang sampai di hadapan mata sesuai dengan kehidupan kita.
Puisi pembuka dalam antologi Aviarium (2019)karya Hasan Aspahani, sepertinya ingin menawarkan ruang yang kental dengan marah, kecewa, menderita dan terluka yang dirasakan banyak orang di suatu kota besar di dalam kumpulan puisinya. Sebagai pintu masuk, puisi “Pamflet untuk Sebuah Aksi (atau: Kita Harus Berteriak dengan Mulut Kita Sendiri)” (hlm.1) menggiring pembaca menciptakan ruang-ruang yang ditawarkan tersebut. Dari judul kita dapat tahu jika puisi menggambarkan keadaan kacau, tidak terkendali dan kesal.
Penggambaran bermula dari aku lirik memiliki keinginan untuk menyuarakan perasaannya yang terkungkung dengan turun ke jalan. Aku lirik merasa jika seluruh yang diperlukan sudah terpenuhi; poster, spanduk, bensin, dan api. Mengapa mesti jalan? Mengapa harus poster, spanduk dan sebagainya? Dan apakah tidak ada cara lain? Aku lirik di posisi sebagai seorang yang tersingkir, lemah dan selalu kalah. Itulah sebabnya jalanan dianggap aku lirik sebagai satu-satunya jalan yang akan menerima suaranya /karena kita harus berteriak dengan mulut kita sendiri//.
Sebagai orang-orang yang berada di kelas bawah aku lirik menyadari posisinya itu selalu menjadi “alat” bagi golongan kelas atas. Mereka dipekerjakan dengan upah yang murah, dari upah yang akan diterima dikoprusi dahulu, dan upah meraka untuk membiayai kemewahan para golongan kelas atas. Orang-orang kelas bawah dipandang malas dan bodoh serta dapat dikendalikan untuk mencapai kedudukan kembali. Itu sebabnya aku lirik menyatakan /Kita turun ke jalan// Karena kita harus berteriak dengan mulut kita sendiri//. Satu hal yang aku lirik yakini ialah suara-suara yang akan mereka teriakkan di jalanan akan didengar Tuhan dan suara itu berasal dari Tuhan. Suara adalah senjata, bagi mereka dari golongan orang-orang kelas bawah.
Puisi “Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi” (hlm. 4) melihat kota sebagai ruang yang telah hancur oleh penduduknya yang egosentris, di mana kota ramai-ramai dihabisi untuk keperluan diri sendiri. Setelah hancur semuanya mengharapkan perubahan agar kembali pada keadaan yang semula ketika segalanya ada dan utuh. Tetapi /REFORMASI adalah bayi kurus yang lahir setelah//Ibu Pertiwi sekian lama ramai-ramai kita perkosa//.
Mengiaskan kota sebagai perempuan dan reformasi sebagai bayi kurus, rupanya cukup kuat unruk membangun ruang yang hancur itu. Perubahan atau reformasi yang dibicarakan nampaknya sesuatu yang sangat dipaksakan. Frasa “ramai-ramai kita perkosa” menguatkan jika sebenarnya reformasi memang hal yang diinginkan orang banyak, tetapi karena itu pula segala cara dibebankan dan yang salah dilakukan. Setelah itu lahirnya reformasi dan setiap orang memilih untuk sembunyi tangan, karena demi terwujudnya reformasi kekacauan dibentuk /Reformasi adalah bayi kandung yang menangis, kita enggan// mengakui dan membesarkan, tak cukup kita beri perhatian//.
Siapa yang peduli dengan reformasi? Mungkin hanya beberapa orang saja yang benar-benar peduli dan memikirkanya, lalu sisa dari itu masih terus ingin mengambil keuntungan dari kemelut reformasi itu sendiri. Segalanya berlabel reformasi sampai pencurian-pencurian yang terang-terangan pun adalah salah satu bentuk usaha reformasi dan pada akhirnya /Reformasi adalah bayi sekarat yang tak mati-mati, kita// tak berhenti berusaha memisahkan tubuh dan nyawanya.
Berjalan semakin dalam ke ruang-ruang yang disediakan Hasan, kita akan menemukan suatu suasana ruang tentang Jakarta. Pemilihan tentang Jakarta seolah ingin mendudukkan tawaran yang telah disebutkan sebelumnya bersentral cerita di Jakarta. Masih ingat soal pemilihan gubernur Jakarta? Hal itu direspons Hasan dalam puisi “Sebelum Luntur Tinta di Jari Kami” (hlm. 22).
Puisi tersebut menyuarakan harapan, kegelisahan hingga ketakutan. Masalah yang diangkat ialah masalah-masalah sosial seperti kemacetan, kelayakan tempat tinggal, kemiskinan, sandang, pangan dan papan. /PINJAMI kami helikopter kecil yang murah// untuk nasib sulit kami yang macet parah//.
Larik ini semacam sentilan yang amat dalam, menandakan jika Jakarta sudah tidak lagi bisa menjadi tempat menggantungkan hidup. Jakarta sudah kaku. Jangankan untuk menggantungkan hidup, kelayakan tempat tinggal pun nampaknya sangat sulit didapatkan. Apalagi soal sandang, pangan dan papan. Terkadang di sinilah permainan orang-orang golongan kelas atas dimulai, karena itu aku lirik mengatakan: /kirimi kami beras baik setiap hari, yang pada// kantong kreseknya tak ada gambar siapa-siapa// dan// Pinjami kami peci dan kacamata, peci untuk// menutupi pikiran kotor kami, kacamata untuk// menghindarkan kami dari rabun jauh atau rabun// dekat, agar bisa terus membaca janji kampanye//.
Puisi lainnya yang bersuasana ruang Jakarta, seperti “Berjalan dari Gerbang ke Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Cikini” (hlm. 5) yang menggambarkan bagaimana situasi yang ada saat aku lirik berada di tempat tersebut, seperti sebuah laporan perjalanan yang telah dilalui, untuk menyampaikan suatu maksud bahwa Jakrta selalu sibuk.
Puisi “Apa Agamamu, Jakarta?” (hlm. 23) memberikan gambaran umum persoalan yang menjadi hal paling sensitif, seperti agama. Agama dalam puisi ini berposisi seperti sesuatu identitas utama. Dan “Cara Memilih Seorang Gubernur” (hlm. 24) adalah suatu posisi politik Jakarta, seperti buah yang tak habisnya direbutkan. Seorang yang ingin menduduki posisi politik mesti habis-habisan. Aku lirik bilang: /Juga sedikit waktu,,// untuk mengecek sisa saldo di rekening kampanye//.
“Pada Suatu Pagi di Sebuah Rumah di Jalan Pegangsaan” (hlm. 50), berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya. Puisi ini seolah ingin kita mengingat kembali bagiamana keadaan ketika sebelum kemerdekaan diproklamirkan. Aku lirik ini semacam alusi tokoh Soekarno. Ada kegalauan dan kebimbangan yang terjadi sebelum kemerdekaan diproklamirkan oleh aku lirik. /IA meneliti lagi jahitan yang menyatukan// dua lembar kain itu//. Larik ini menegaskan ada ketidakyakinan aku lirik terhadap dirinya sendiri. Sisi lain, aku lirik mengharapkan kemerdekaan itu benar-benar dirayakan dengan sempurna.
Dari 42 puisi dalam antologi Aviarium, sepertinya Hasan Aspahani ingin memfokuskan ruang besar yang ia buat itu tentang Jakarta. Entah itu Jakarta masa kini ataupun Jakarta tempo dahulu. Sebab ruang tentang Jakarta yang lebih dominan sebagai inti yang ingin disampaikan. Selain itu, ada beberapa ruang lain yang bisa dinikmati di dalamnya seperti ruang cinta, nasionalisme, olok-olokan, kontroversi, renungan dan santai.
Puisi “Pertanyaan untuk Teka-teki Silang yang Tak Pernah Kau Temukan di Koran Akhir Pekan itu” (hlm. 38) adalah salah satu ruang santai. Puisi dengan bentuk pertanyaan-pertanyaan dengan mengikuti pola teka-teki silang pada umumnya. Jadi dalam puisi ini kita dibebaskan untuk memberi atau tidak jawabannya. Kita sudah tidak lagi dibebani oleh tafsir-tafsir makna seperti puisi-puisi lainnya.
Hasan Aspahani merupakan penyair yang selalu menawarkan sebuah hal-hal yang segar, baik diksi maupun cara menyampaikannya. Itulah yang bikin ia masih bisa bertahan dalam kepenyairannya sampai sekarang. Aviarium dengan tawaran-tawaran ruang di dalamnya, seolah kompilasi atas beberapa fenomena sosial yang telah terjadi dalam beberapa kurun waktu terakhir ini, baik di Jakarta maupun di luar soal Jakarta.
Serpihmimpi, 2019
Tulisannya bagus sip, jakarta adalah ibukota yang menjelma ibujari. Di satu sisi menjungkir ke langit dan yang lain menghadap bumi 👎👍
Dalam akuarium puisi mana saja yang berisi tentang sejarah Indonesia?