KURUNGBUKA.com – (16/05/2024) Ia telah setia bersastra, selama 30-an tahun. Waktu yang lama, waktu yang memberi gairah dan tabah. Yang terpikirkan: waktu bagi yang telanjur bersastra berlimpahan makna. Namun, orang-orang yang sedang berada di awal atau memulai, masalah waktu itu berat. Ia bakal terus berjalan dan bertahan atau mengalami patah di tengah jalan.
Ikhtiar untuk memiliki keyakinan memerlukan “rekayasa”, yang membuat segala godaan atau jeratan dimengerti bukan untuk segera tamat. Yang terus-menerus bisa menulis cerita yang berjalan jauh, yang nafasnya mungkin terengah tapi belum mau berhenti.
“Cerita, senantiasa menjadi salah satu konsep terdasar manusia,” penjelasan Haruki Murakami (2010), pengarang yang mampu bertahan melebihi 30 tahun. Ia memberikan kalimat “saripati” dari kesungguhan menghasilkan cerita-cerita.
Selanjutnya: “Setiap orrang bisa saling bertukar dan membagikan cerita… Cerita-cerita itu berubah dengan bebas tiap kali menghirup udara di zaman baru.” Ia mengabarkan umat manusia berhak merayakan segalanya dengan cerita, yang dituturkan atau dituliskan. Ia tentu memihak penulisan cerita.
Perayaan yang beragam: “Pada dasarnya, cerita adalah sarana penyebar kebudayaan, sebab itu ia memiliki wujud yang amat beragam tergantung pada teknik yang digunakan oleh penuturnya.” Ia mewartakan: “Kami, para novelis, mendandani cerita-cerita kami layaknya perancang busana ulung, sebab dari hari ke hari, cerita-cerita berubah, dan kami mesti mendandaninya dengan kata-kata yang cocok dengan bentuk cerita-cerita tersebut.”
Novelis memiliki keistimewaan, yang tidak membiarkan cerita-cerita “apa adanya”. Padahal, kita kadang menginginkan “apa adanya” saja.
(Haruki Murakami, 2020, Seni Menulis, Circa)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<