Siapakah pemilik seni sesungguhnya?
Pertanyaan itu mungkin tidak penting bagi beberapa orang. Tetapi, di tengah zaman yang segala sesuatunya bisa diperalat untuk menopang eksistensinya, mempertanyakan pemilik seni bisa menjadi lumayan penting. Apalagi tak bisa dimungkiri bahwa di zaman sekarang seni telah menjadi bagian tak terpisahkan dari (gaya) hidup kita. Dari sini bisa kita baca uraian Sapardi Djoko Damono (GPU, 2018; 26-30) terkait seni publik yang menjadi konsumsi semua orang. Kata Sapardi, ciri mencolok pada seni publik adalah bisa diterimanya oleh kebanyakan orang yang melihatnya. Hal ini tentu bisa diterima.
Misalnya saja, ketika Rhoma Irama belum terjun ke ranah politik praktis seperti sekarang ini. Dulu, ketika gambar sang Raja Dangdut itu dijadikan penunggu pada bokong truk, sebagai penikmat seni kita akan langsung menerima pesan dari sesama pengagum lagu-lagunya. Berbeda halnya ketika gambar itu muncul lagi sekarang, lengkap dengan jargon-jargon politiknya. Gambar itu tak lagi menjadi ungkapan estetis, melainkan sudah menjadi kendaraan politis. Ketika seni tak lagi menjadi media komunikasi estetis murni, seni akan bertransformasi menjadi alat, kendaraan, bahkan senjata yang bisa digunakan untuk berperang.
Ketika kita menghadiri pentas dangdut pantura yang diusung kandidat pemilu tertentu, misalnya. Keasyikan itu harus terganggu oleh simbol-simbol politis partai/kandidat pengusung. Mereka berusaha merangkul dengan memanfaatkan kebutuhan dasar kita akan keindahan. Musik yang semula merupakan bahasa persatuan universal, berubah menjadi alat subjektif yang diambil alih fungsinya.
Menyitir Seldes (1957), Sapardi memberikan gambaran bahwa seni publik sama sekali independen. Ia tak memiliki tujuan sama sekali selain merupakan daya ungkap estetis individu. Senimannya tidak menerima bayaran dan penonton tidak perlu mengeluarkan biaya, serta tak ada niat khusus untuk menikmatinya. Seni publik juga cenderung tidak dibatasi oleh aturan-aturan, batasan estetika, dan tanpa beban apa pun.
Berbeda ketika kita beralih untuk menikmati seni yang sudah diambil alih (kalau tak mau menyebut dicuri) dari pemilik sahnya. Beragam niat tendensius berupa komersialisasi, politisasi, ideologisasi, dan lainnya, mengubah seni menjadi sesuatu yang kadang justru berlawanan dengan sifat dasarnya. Teknologi semacam televisi, radio, kamera, sering kali memperkosa seni dengan daya simulasi. Bahan seni didesain sedemikian rupa untuk mencapai tujuan.
Pemerkosaan seni kini telah menjadi hal jamak yang dianggap lumrah. Bahkan sejak pertunjukan mengenal panggung atau seni lisan dialihwahanakan ke media cetak, komersialisasi jelas menjadi penopangnya. Sektor ekonomi bahkan mendapuknya sebagai bagian industri; industri seni yang bahan dagangannya tentu saja adalah materi seni itu sendiri. Konten-konten yang bisa dinikmati/dianggap bisa menghibur, dijual dan dijadikan komoditas dagangan. Maka jangan heran, jika kemudian dijumpai model seni pesanan atau seni tren/tren seni acuannya jelas ke arah mana yang laku dan mana yang tidak.
Fenomena perseteruan antara Inul Daratista dengan Rhoma Irama mungkin bisa dijadikan sampel terkait model seni tren. Seperti yang kita tahu, musik dangdut sempat mengalami stagnasi dalam perkembangannya. Untuk mengatasi keterpinggirannya dari gempuran musik asing, sejumlah penyanyi dangdut panturayang diwakili oleh sosok Inul, kemudian menciptakan aneka goyang sensasional demi kembali mengambil pangsa pasar dan menggeliatkan industri musik dangdut. Beruntung khalayak musik dangdut mau menerima kehadiran fenomena baru ini dan mengabaikan rasa keberatan Rhoma Irama yang merasa tak rela jika dangdut (yang ia rintis) diidentikkan dengan aneka goyang (yang dianggap) seronok dan tak pantas. Apalagi aneka goyang itu diciptakan hanya demi menjual nama dan popularitas. Meski setiap orang tentunya punya hak dalam mengekspresikan diri, dan setiap seni punya penikmatnya sendiri-sendiri.
Dalam seni sastra, seni tren bisa kita dapati dari fenomena epigonisme. Karya yang dianggap mampu mendongkrak daya beli pembaca, kemudian memunculkan sejumlah karya epigon dalam hal tema maupun gaya. Sebutlah misal ketika novel Ayat-Ayat Cinta yang sempat menimbulkan booming karya fiksi berlabel islami pada tahun 2000-an. Lepas dari kualitas yang sulit dan luput dijadikan acuan para pengekor itu, tren pasar memang terbukti ampuh dalam merangsang kelahiran seni (komersial).
Film yang dianggap sebagai seni paling muda bahkan terang-terangan tumbuh melalui campur tangan komersialisasi. Melalui pendanaan yang luar biasa, para sineas perfilman berusaha membuat film-film dengan special effect memukau demi meraup setinggi mungkin pemasukan. Akibatnya, aneka produk hasil simulasi industri perfilman ini mampu meracuni dan memengaruhi pola pikir konsumen mereka. Produk-produk (industri) kecantikan, kesehatan, sampai pendidikan akhirnya terpikat untuk memanfaatkan para bintang film demi menjual komoditas mereka. Konsumen pun termakan mentah-mentah, pola pikir mereka mulai dibentukmana produk yang dipakai oleh artis kenamaan, itulah yang terbaik. Kebodohan, kemiskinan, rupa buruk, menjadi kutukan yang menyedihkan.
Lantas, di mana letak salahnya semua itu? Bukankah sah-sah saja mengeruk keuntungan melalui seni?
Hal yang bisa dipermasalahkan di sini adalah jika seni adalah milik semua orang, mengapa kenyataannya malah tersegmentasi seperti itu? Dari sinilah seni publik mengambil tempat. Universalitasnya masih bisa menjadi wahana ekspresi publik yang butuh hiburan. Meski kondisi seni publik terkesan terpinggirkan, namun masih bisa menjadi hiburan alternatif menyegarkan. Bisa kita ambil contoh coretan-coretan nakal yang menghiasi bokong truk atau angkutan umum. Ekspresi-ekspresi yang mereka ungkapkan sering kali kelewat jujur lantaran memang tak memiliki tendensi apa-apa selain ingin mengungkapkan perasaan saja. Hanya saja, sebagian rupa dari seni publik ini sering disalahpahami dan justru dianggap penyimpangan lantaran sifatnya yang hanya untuk kesenangan diri sendiri. Pelukis-pelukis mural jalanan, misalnya. Lantaran aksi corat-coret mereka yang kadang kala tak terkontrol, karya mereka pun sering dianggap sampah. Padahal jika diberi wadah dan difasilitasi dengan benar, mereka sebenarnya juga bisa menjadi aset. Meski kemudian harus berbenturan lagi dengan aneka kepentingan komersialisasi, politisasi, ideologisasi, dan lainnya.
Kembali ke pertanyaan awal, siapakah pemilik seni sesungguhnya? Kini, kita tentu bisa menjawabnya. Setiap orang berhak memiliki seni. Hanya saja wajah-wajah seni itu tergantung wajah pemiliknya. Begitu.***
Dari pemaparan Mas Adi, seni yang dibicarakan di sini adalah yang sifatnya populer, betul?
Tak heran jika hal tersebut sering kali jadi tunggangan politik karena memang seni populer lebih terjangkau dan diminati khalayak.
Lantas, pertanyaan baru, bagaimana dengan seni tinggi? Apakah fenomena serupa dialami juga olehnya?
Omong-omong, terima kasih tulisannya, Mas Adi.