Perasaan kami berkecamuk ketika pesawat yang ditumpangi diguncang turbulensi hebat, mencekam. Tidak ada penumpang yang bersuara, sibuk dengan rapalan doa masing-masing. Hujan di bulan Juni merupakan penanda peralihan musim. Perasaan lega baru terasa ketika pesawat mendarat dan dapat melihat tulisan besar Bandar Udara Pattimura, Ambon.

Ambon menjadi titik permulaan perjalanan kami selanjutnya, menelusuri Bumi Kalwedo, Maluku Barat Daya (MBD). Berada di ujung selatan NKRI, MBD dijuluki Jantung Selatan Nusantara. Berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia, kabupaten ini memiliki ribuan gugusan pulau yang membentang.

Berkunjung ke MBD saat ini, dapat ditempuh dengan transportasi laut; kapal cepat yang berlayar setiap minggunya, kapal putih (PELNI) setiap 2 minggu sekali atau kapal barang. Jika menggunakan transportasi laut, kita harus berhitung dengan cermat, pada musim apa kita berangkat, jika tidak maka siap-siap kita menikmati alunan Laut Banda, perairan terdalam di dunia.

Perjalanan kami kali ini beruntung mendapatkan tiket pesawat. Pesawat tipe ATR berpenumpang sekitar 40 orang ini baru dua tahun terakhir melayani Ambon-Tiakur. Jadwal penerbangan setiap hari, tetapi jadwal ini bisa berubah. Pesawat selalu penuh atau tiba-tiba batal terbang karena tidak ada penumpang dari Ambon, itu sudah!

Membangun Asa di Gunung Kerbau

Berkeliling MBD membawa saya pada landscape kisah masyarakat yang belum terjamah riuhnya kehidupan perkotaan, pola kekerabatan yang dibangun di desa-desa memberikan perspektif bahwa keluarga dan kerabat menjadi sangat penting.

Di setiap kampung dibatasi oleh Lutur. Secara fisik, Lutur merupakan susunan batu membentuk pagar mengelilingi wilayah kampung. Secara adat, Lutur merupakan sistem pemerintahan adat. Di dalamnya terdiri dari Soa, yang mewakili beberapa “mata rumah”. Soa difungsikan untuk menyelesaikan masalah-masalah internal rumah. jika ada masalah, mereka akan berkumpul, dipimpin saniri untuk mendiskusikan masalah-masalah tersebut.

Lebih luas, saat ini dalam pemilihan kepala desa, masing-masing Soa mengusulkan bakal calon kepala desa kemudian dipilih oleh masyarakat. Di dalam Lutur, interaksi masyarakat dibangun, budaya dijaga. Masyarakat sendiri sangat takut dengan hukum adat, tetapi dirasakan sampai saat ini budaya hanya hadir diperhelatan adat saja.

 “Orang di sini takut jika kena denda adat, sebisa mungkin semua keluarga dapat terlibat untuk membantu. Nyong[1] bisa bayangkan misal denda yang ditetapkan 15 ekor kerbau. Harga kerbau lebih kurang Rp. 10.000.000,-/ekor, belum ditambah sopi, uang meja, berapa biayanya? Sangat besar!” Cerita Pak Kades Moain mengawali diskusi.

 “Beta pernah bantu pemuda desa kami yang kekurangan uang untuk menebus ijazah, tidak banyak hanya satu juta sa, tapi apa yang terjadi?

Beta dimarahi keluarga. Dengan alasan karena bukan keluarga kita, bagi Beta anak ini punya harapan besar, jangan sampai gara-gara masalah ini dia putus harapan,” jelasnya berkaca-kaca.

Lelaki yang 26 tahun menghabiskan hidup di Surabaya ini memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, demi panggilan hati membangun kampungnya. Di MBD, dalam tradisi atau kepercayaan masyarakatnya, ada istilah Petuanan.

Di petuanan tersebut mereka tinggal, bercocok tanam dan meninggal. Semua aktivitas dilakukan di petuanan. Sebagai satu-satunya pewaris tahta adat, Bapak Anis Tamneha -kerap Ia dipanggil – meninggalkan riuhnya kota pahlawan, membangun asa di kaki Gunung Kerbau.

Gunung Kerbau merupakan ikon dari Kabupaten MBD, hamparan savana yang luas membawa kita eksotisme savana di Afrika. Kita dengan mudah menjumpai populasi ribuan kerbau hidup liar di bawah gunung ini. Eksotisme tersebut yang membuat kawasan ini ditetapkan sebagai salah satu peternakan unggulan nasional oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia, sejak tahun 1998.

Desa Moain memiliki arti kepala pulau. Menurut cerita leluhur, desa ini merupakan kepala dari Pulau Moa, Ibu Kota Kabupaten MBD. Berjarak 40 km dari ibu kota kabupaten tidak menjanjikan akses yang lebih baik. Jika naik ojek, dari pusat kota, siap-siap merogoh kocek Rp. 500.000,- sekali perjalanan.

Mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani dan peternak. Jika cuaca di musim barat maka penduduk Moain dapat melaut. Jika di musim angin timur mereka beralih profesi menjadi petani, menanam sayur yang dibawa 2 kali seminggu ke ibu kota kabupaten. Bergantung hidup dari alam sepenuhnya, memaksa mereka memutar otak untuk dapat mandiri dan menjawab perubahan iklim yang tidak mudah ditebak.

“Perubahan itu harus dibuat dan kita yang memulai,” tegasnya.

“Beta ingin bagaimana masyarakat bisa saling bantu, bahwa kita adalah satu keluarga, banyak potensi di Moain ini, tapi jika kita masih seperti ini sa, kapan akan berubah.”  Pak Anis memandang jauh ke hamparan savana penuh harap.

“Nyoli Lieta, itu menjadi modal kami Nyong ,“ ungkapnya dengan penuh semangat. 

Nyoli Lieta adalah ungkapan masyarakat, memiliki makna solidaritas. Masyarakat saling merasa jika ada anggota keluarga mengalami kesulitan, saling berbagi menanggung beban yang sama. Pekerjaan besar saat ini, bagaimana Nyoli Lieta bukan bergaung di ruang hampa, tapi harus terpatri dalam diri setiap orang yang ada di sini, bertumbuh dan hidup untuk saling membantu. Bukan hanya terkait denda adat saja tetapi dapat meluas ke dalam pemberdayaan dan pembangunan.  

Sampai di ujung desa kami di antar, berpisah di ujung Lutur, melihat kesederhanaan hidup di dalam Lutur. Sebuah asa terpatri, kita optimis masa depan bangsa ini masih panjang, mereka masih berkhidmat membangun desanya, tumpah darah, tempat di mana mereka lahir dan meninggal nantinya. Petuanan yang harus dijaga.

***

Kisar: Pohon Koli, Lemon[g] dan Seteguk Sopi

Pulau Kisar merupakan destinasi selanjutnya yang kami kunjungi. Kami berangkat menggunakan menggunakan kapal barang, perjalanan selama 7 jam. Di musim timur, cuaca tidak dapat diprediksi, rencana awal naik dari Dermaga Kaiwatu, diubah naik di Pantai Tiakur, yang berarti kami harus ke tengah laut dengan perahu motor kecil dan naik melalui tangga monyet di samping kapal.

Berbicara Kisar, maka orang akan langsung menjawab manisnya Lemon[g] Kisar dan murninya Sopi. 2 komoditas ini merupakan primadona Pulau Kisar. Lemon[g] Kisar memang terkenal sejak lama, Lemon[g] Kisar memiliki tekstur rasa lebih manis dan tidak asam. Banyak tumbuh di pekarangan rumah dan ditanam di Kebun.

Sementara Sopi, bisa dikatakan sebagai urat nadi masyarakat. Sejak dulu, Pulau Kisar sudah terkenal dengan sopinya. Harum Sopi Kisar merebak ke seantero Maluku bahkan daerah lain seperti Kupang dan Timor Leste, pembuatan secara tradisional serta kualitas dari Sageru[2] yang dihasilkan Pohon Koli. Konon, kualitas Sageru Kisar memiliki kualitas terbaik berbeda dengan daerah lain. Penasaran cara pembuatannya, kami berkunjung ke rumah Bapak Ace di Desa Nomaha.

“Kami hidup dari Sopi Bapak, hari-hari kami buat sopi,” terang Bapak Ece memulai obrolan ringan kami sambil memperbaiki kayu yang digunakan memasak Sageru.

“Kualitas Sopi ditentukan bagaimana kita menjaga api memasaknya, Jika api terlalu besar, uap akan bercampur dengan air maka Sopi seng enak lai, tapi jika kita bisa main api pelan-pelan, Sopi akan menetes, ini sopi gagah baru,” terangnya sambil mengangkat dua jempol ke depan dada.

Mayoritas masyarakat di Kisar menopang hidup dari membuat Sopi. Setiap minggu, keluarga Bapak Ace bisa menjual 6 dirigen minyak makan berukuran 25 liter dengan harga Rp. 50.000,- per dirigen sehingga dalam seminggu dapat menghasilkan Rp. 300.000,-

“Sekarang banyak sweeping jadi kita juga agak terganggu jualnya,” ujar Bapak Ace cemas

“Minum sopi itu untuk persaudaraan, bukan untuk mabuk-mabukkan. Kita yang minum sopi bukan sopi yang minum kita, mereka yang mabuk itu karena Sopi sudah minum dia,” terangnya geram dengan prilaku kebanyakan masyarakat saat ini.

Bagi masyarakat, Sopi adalah “air kehidupan” bukan untuk melenakan bahkan memabukkan, nilai Sopi lebih besar daripada hanya sekedar untuk mabuk-mabukkan. Sopi sudah lama hidup di dalam masyarakat baik dari adat, agama dan ekonomi. Bagi masyarakat, semua aspek kehidupan tidak terlepas dari Sopi, acara adat tidak lengkap jika tidak ada Sopi.

Dikenal dengan nama Yotowawa, Kisar bertumbuh dalam suasana keterbukaan dan toleransi yang tinggi. Keterbukaan ini dapat dilihat dari ramahnya masyarakat kepada pendatang. Dalam catatan Prof. Ernst Rodenwaldt, seorang antropolog Jerman menjelaskan dalam bukunya Die Mestizen auf Kisar (Keturunan Indo-Eropa di Kisar) (1926), Pada tahun 1665, Kisar merupakan bagian Provinsi Banda yang dikuasai VOC, untuk mengukuhkan daerahnya, maka VOC menempatkan tentara yang akhirnya menikah dengan penduduk Kisar.

Tercatat, keturunan Indo-Eropa yang ada di Kisar berasal dari 12 marga yaitu Bakker, Bellmin-Belder, Coenradi, Caffin, Van Delsen, Joostensz, Lander, Peelman, Lerrick, Ruff, Schilling, dan Wouthusyen.  Berperawakan tinggi, mata biru, hidung mancung dan kulit merah karena terpapar sinar matahari, keturunan Indo-Eropa melebur dengan masyarakat sekitar, pemukiman keturunan ini banyak di Desa Kota Lama. Akulturasi budaya ini melahirkan keragaman yang ada di Pulau Kisar, Beranda Selatan Nusantara.

***

Kalwedo, merupakan seruan yang sering diucapkan masyarakat, dapat menjadi pengganti salam. Lebih jauh, seruan ini mengandung makna filosopis yaitu persatuan, keterbukaan dan memberikan rasa nyaman. Setidaknya ada beberapa nilai yang akan disentuh dari makna Kalwedo. Diantaranya, nilai partisipasi merupakan kebersamaan yang dihadirkan untuk menguatkan persaudaraan masyarakat. Nilai toleransi yaitu penguatan nilai dalam upaya menginternalisasikan bahwa sumber pembangunan adalah spiritualitas. Nilai alokasi sumber daya, dimana relasi masyarakat desa dengan aktivitas praktik-praktik kebudayaan akan membangkitkan potensi-potensi yang selama ini tersuruk atau pun mengendap. Bertumbuh dari perpaduan dua budaya, kebudayaan Timor dan Luang atau yang dikenal dengan istilah Mede Melay Patra Logna. Ketiga nilai tadi dapat menjadi modal membangun ini. Kalwedo!


[1] Panggilan untuk laki-laki

[2] Air hasil derasan pohon koli