INGIN KUTANYAKAN KEPADAMU

Ingin kutanyakan kepadamu
Apakah lembaran-lembaran doa yang kukirimkan
Kerumahmu telah sampai
Sebab berulang kali aku melihat pintu-pintu langit retak
Dan bulan tertutup rapat.

Sekali, lagi ingin kutanyakan kepadamu
Apakah ayat-ayat suci dan dzikir barzanji yang kubacakan
Juga telah berteduh di bathinmu
Menjelma danau dan  angsa yang mencipta cahaya

Oh…, dunia aku tersipu kepadamu
Aku serupa kanak-kanak yang lupa akan waktu
Sementara usia semakin retak
Bulan dan matahari akan hilang sinarnya di barat
Aku berteduh dari masa lalu dan pulang ke masa depan

Maka sekali lagi ingin kutanyakan kepadamu
Apakah ada jalan pulang yang lapang
Dan lampu temaram tempatku berdiang
Agar pulangku tak lagi jadi kelu.

Serang, 10 Oktober 2022

***

SEPOTONG PUISI PADA WAJAH SEBUAH NEGERI

Pagi ini jalanan berdebu
Wajah-wajah serupa daun kering
Berterbangan sesak di muka musim
Angin dan cuaca saling melukai tubuhnya sendiri  
Saling menghunus dan menyimpan dendam  
Yang diwariskan pada anak dan keturunan

Aku tahu itu, aku dengar itu,
Bulan dan matahari saling tikam di langit
Sementara di bumi gelap dan sekarat
Kota-kota telah dibakar amarah
Puisi-puisi kehilangan nurani, penuh caci maki
Negeriku ditindih berton-ton batu, dibakar api
Tanah, kebun, sawah, laut dan gunung berpindah tempat
Ke mana arah

Duhai keadilan kau sembunyi di bumi yang mana
Di lembah-lembah mana lagikah harus aku cari
Di wajah-wajah petani tak terperi
Di wajah para tukang kuli yang pulang menangisi nasibnya sendiri
Di wajah tukang becak yang sudah kehilangan nyawa
Aku mencari tiada henti
Di masjid-masjid selain sepi hanya sajadah tua
Yang robek ditinggal pemiliknya
Di gereja hanya tinggal bunyi loncengnya
Di vihara hanya ada sisa abunya  

Kembali lagi pagi ini jalanan berdebu, selalu begitu
Tak tahu arah, kompas mati dan jam tak berdetak lagi
Sementara pada sepotong puisi aku terus mengaji
Membaca wajah sebuah negeri yang sudah lama mati

Serang, 9 Mei 2022

***

NEGERI YANG DIRUNDUNG BALA

Ini adalah tahun–tahun yang gelap di bumi
Sementara di langit daun-daun di lauhil mahfuz berguguran ribuan kali
Ada denting kecapi menyelinap di setiap surau dan nyanyian kitab suci yang parau
Pecahlah air mata dan bumi menulis nasib dan sejarahnya sendiri

Di setiap jalan dan lorong kota
Selalu saja kutemui wajah-wajah tanpa bunga
Perasaan-perasaan yang kosong dan matahari yang menjauh dari dekapan
Selain rasa takut, risau dan gamang

Aku memanggil-manggil Nuh
Apakah binatang-binatang yang kau naikan ke perahumu dalam keadaan sehat?
Nuh membuang senyum kehamparan air yang getir
Ia ingat takdir dan kitab-kitab suci yang dicaci maki
Pada akhirnya kini kau rasakan sendiri dunia dirundung bala
Jangan pernah ada caci maki, sebab Adam dibuang ke bumi
Ia justru menyalahkan dirinya sendiri

Robbana dhlomna anfusana wailamtagfirlana
Watarhamna lana kunanna minal khosirin

Langit kembali mencatat nama-nama
Yang pulang dan pergi tiada henti
Dan bumi kembali menyimpan air mata
Untuk menghijaukan rumput, pohonan, sawah dan hutan
Yang tumbuh di pikiran kita 

Waringinkurung-Serang, 10 Agustus 2021

***

Image by istockphoto.com