Oleh Djoe Taufik, Relawan Rumah Dunia
Setelah selesai kegiatan Safari Literasi Duta Baca Indonesia bersama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jawa-Bali-NTB-NTT mulai 18 Januari hingga 10 April 2022 lalu, banyak teman relawan Rumah Dunia (RD) yang bertanya kepada saya, apa yang didapat, ceritain dong? Baiklah, dalam kegiatan Nyenyore dan Kado Lebaran RD tahun ini, saya menulis 2 poin utama yang telah saya peroleh saat mengikuti kegiatan tersebut.
Pertama, wawasan dalam keanekaragaman budaya saya bertambah. Kultur masyarakat di masing-masing daerah yang saya dan Tim Safari Literasi (Mas Gong, Kang Daniel, Bang Rudi) kunjungi memiliki narasi kelokalan yang khas. Kami mendatangi sekolah-sekolah, pesantren, seminari, kampus, serta komunitas-komunitas. Perjalanannya menghabiskan waktu selama 82 hari di 40 Kota/Kabupten dengan menggunakan kendaraan roda empat alias mobil Kijang Innova tahun 2008 yang mempunyai nama panggilan lainnya “Si Biru”.
Di Jawa, saya sudah terbiasa merasakan atmosfir budayanya mungkin karena saya tinggal di Pulau Jawa tapi di Bali-NTB-NTT berbeda. Saat Tim Safari Literasi sampai di Pelabuhan Ketapang Bali pada (09/02/2022) lalu, saya membaca karakter masyarakatnya yang mayoritas memeluk kepercayaan hindu. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan hewan peliharaan; anjing. Saya sempat mengalami culture shock, karena dalam agama saya (Islam) bahwa binatang anjing, khususnya, air liurnya termasuk ke dalam najis mugholadoh (najis besar) sehingga saya sedikit menjaga jarak. Selain itu, saya menyempatkan diri bersama Mas Gong untuk ikut merasakan bagaimana masyarakat lokal melakukan ritual penyucian diri di laut sekitar Pura Ponjok Batu Buleleng yang terletak di Desa Pacung, Kecamatan Tejakula, Buleleng. “Ini air perpaduan antara mata air; gunung dan air laut,” ujar Duta Baca Indonesia saat menuangkan air laut ke wajahnya.
Sedangkan Nusa Nusa Tenggara Barat hampir mirip dengan Jawa, karena masyarakatnya mayoritas memeluk agama islam. Seperti halnya, Pulau Lombok yang mempunyai julukan pulau seribu masjid. Meskipun demikian, saya masih bisa merasakan atmosfir Bali. Pada hari Senin, (21/02/2022) Tim Safari sampai di Kota Mataram dari Pelabuhan Lembar. Di sana, kami berkunjung ke Daerah Narmada Park, West Lombok. Lagi-lagi saya dan Mas Gong memberanikan diri masuk ke dalam Bale Petirtan yang terdapat sebuah mata air yaitu pertemuan dari tiga sumber mata air: Suranadi, Lingsar, dan Narmada. Bagi Umat Hindu air ini dipandang sebagai air suci yang dapat berkhasiat untuk pengobatan atau lebih dekenal sebagai air awet muda.
Menariknya NTB adalah budaya lisan yang terpelihara sangat kuat. Ada bahasa lawas di Pulau Sumbawa. Bahasa ini seringkali dipakai saat penyambutan tamu. Bahasanya seperti puisi namun dibalut dengan bahasa kelokalan daerah. Biasanya diawali dengan kata “ta” yang berarti hai atau kata sapaan. Selain itu, ada juga kuliner yang selalu disuguhkan kepada kami yaitu ikan sepat, terdiri dari jenis ikan tawar atau ikan laut yang dibakar dan dicelupkan ke dalam kuah sepat dalam kondisi dingin. Kuah sepat sendiri terdiri dari belimbing wuluh, mangga muda, terong, cabai rawit, daun bawang dan bawang merah. Menurut saya, rasanya seperti gerem asem pakai ikan bakar, sedap.
Kemudain Nusa Tenggara Timur membuat saya terkejut saat pertama kali menginjakkan kaki di Pelabuhan Bajo, Manggarai Barat pada Rabu (09/03/2022) lalu. Kami disambut masyarakat setempat dengan cara ritual “kepok” dengan benda tuak lokal serta ayam jantan warna putih sebagai tanda ketulusan orang Manggarai Raya kepada tamu. Setelah itu, kami diberi selendang dan peci khas Manggarai dari hasil prosuksi menenun.
Poin kedua yaitu toleransi. Saya banyak memahami tentang kata tolerasi dari berbagai daerah yang telah dikunjungi. Saya merasakannya langsung, terutama di Provinsi NTT yang merupakan daerah tertiggi tolerasi di Indonesia. Saya temukan datanya di suara.com bahwa Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki nilai tertinggi ketiga tolerasi dengan jumlah skor 6,337. Saat puasa, hotel-hotel yang kami singgahi memberikan fasilitas sahur bagi para tamu, sekolah-sekolah Kristen juga menerima orang muslim untuk sama-sama belajar, masyarakat lokalnya yang mayoritas menganut agama kristen pun saling memahami. Sebagai contoh, jika mereka menyediakan menu makanan kepada orang islam, pasti dengan menu yang halal.
Saya banyak mengalami kejutan dalam hidup. Safari literasi memberi sudut pandang yang begitu luas. Saya belajar dari masyarakat yang hidup di daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Mereka berjuang keras untuk hidup. Pergi ke sekolah pun mereka sudah terbiasa dengan berjalan kaki yang jaraknya cukup jauh. Perpustakaannya, mohon maaf, saya rasa masih lebih besar RD dengan koleksi ribuan bukunya. Di sana, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Malaka saja memiliki ruang yang sempit seperti ruang kelas pada umumnya dengan jumlah buku yang minim.
Saya simpulkan bahwasannya, hidup penuh dengan kejutan. Beryukur adalah satu cara melengkapinya. RD harus kita jaga. Kegiatan tahunan RD di Bulan Ramadhan ini harus terus berlangsung karena RD bagi saya Rumah Peradaban dimana banyak orang datang untuk belajar dan mereka berusaha keras mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Salam hormat buat para pendiri RD, semoga kalian semua diberikan keberkahan dalam hidup.