Sarkup terpekur di musala. Malam demi malam diteruskannya hingga subuh tersingkap. Memohon pengampunan dosa atas dendam yang tertanak di hatinya. Setiap sandikala, laki-laki berkaki pengkor itu sudah biasa datang paling awal ke musala—menanti salat Magrib.

Seiring berjalannya waktu, pengurus musala Nurul Iman kemudian menyadari kebiasaan Sarkup yang rajin ke musala dan mengangkatnya menjadi marbut. Tentu Sarkup senang dengan pekerjaannya sekarang, selain bisa beribadah dia juga dapat uang selawat dari pengurus.

Suatu hari, Sarkup berdoa mengangkat kedua tangan di musala, kenangan tentang sang istri datang tak terelak. Meski Sarkup mencoba menghanyutkan luka pada deras aliran waktu, ingatan kelam itu tetap terjadwal setiap tiba sandikala, sehingga ia terus berdoa memohon ampun untuk dirinya dan malaikat penjaga yang menyaksikan kedengkiannya walaupun ia tahu malaikat tidak pernah mempunyai dosa, “Ampuni dosaku dan dosa Malaikat Hafadzah.”

Doa yang istiqomah dipanjatkan itu rupanya menarik perhatian Malaikat Hafadzah. Makhluk berhijab cahaya kini berada di hadapan seorang marbut yang terluka hatinya. Sarkup mengusap mata berkali-kali dan melongok ke dalam cahaya yang super terang. Senyuman tergambar dalam kilau makhluk itu. Jantung Sarkup tak berhenti berdegup. Ia hendak lari menyeret kakinya yang cacat. Sebab Sarkup merasa belum siap menjemput kematiannya.

Sebelum kabur, makhluk itu terlebih dulu menahannya dan berkata, “Aku adalah Malaikat Hafadzah yang kau sebut dalam doa berkali-kali. Aku ingin berterima kasih dan menyampaikan satu permintaanmu kepada Tuhan untuk segera kusampaikan,” jelas makhluk bersayap merpati itu. Sarkup terdiam, ada yang mengganggu pikirannya.

“Bagaimana aku percaya kau malaikat? Bukan setan yang sedang menyamar? Aku dengar dari Ustaz, setan akan melakukan berbagai cara untuk membuat manusia tersesat. Aku tidak sesuci itu hingga pantas didatangi malaikat.”

“Aku memuji kehati-hatianmu Manusia. Namun kalau aku seperti yang kau sebut, kenapa tak kukatakan saja, bisa mengabulkan segala permintaanmu, asal kau tak lagi menyembah Tuhan?”

Sarkup mulai terlihat bingung. Tampak segaris senyum pada wajah Malaikat Hafadzah yang berjalan mendekat. “Kau tahu, ada dua malaikat pembawa amal. Satu Malaikat Subuh, satu lagi Malaikat Ashar. Mereka akan bergantian menyampaikan amal ibadah manusia. Ketika tiba waktu Subuh, Malaikat Ashar istirahat, begitu pun sebaliknya, aku mengenal baik kedua malaikat itu.”

“Apa benar kau malaikat?” Tanya Sarkup.

“Katakanlah satu permintaanmu, tak semua doa manusia berdosa bisa sampai pada Tuhan, seiring dosa yang dilakukan, sebanyak itu pula doa terhambat, namun kau orang baik, akan kusampaikan segera permohonanmu pada-Nya. Sarkup tertunduk. Air matanya membasahi sekujur pipi. Ia kembali teringat peristiwa satu bulan yang lalu.

***

Baru saja Sarkup mendapat sebungkus nasi berkat dari acara haul di musala. Senyum batang tebu menggantung di wajahnya. Ia membayangkan sang istri makan dengan lahap dan berhenti mengomel tentang uang. Diintipnya lauk nasi bungkus itu. Bebek kecap (makanan kesukaan sang istri).

Sarkup tersenyum, tentu istrinya akan sangat senang dengan apa yang ia bawa. Beberapa hari, Sarkup tak mampu memberi uang belanja. Sejak kambingnya mati diracun orang, kegiatan Sarkup hanya bantu-bantu di musala. Menu makan juga semakin menurun, cuma nasi, garam dan sambal terasi. Barangkali malam ini bisa menebus keinginan sang istri untuk makan enak.

Sarkup berjalan terseok-seok menyeret kaki yang terasa berat itu, beberapa kali, hampir jatuh tersandung batu, namun tongkatnya berhasil menyanggah. Nasib Sarkup memang kurang beruntung, sudah tak bisa sekolah karena kurang biaya, kambing diracun orang pula, hidup dengan hasil menjual kayu kering malah dipatok ular di hutan, bisa beracun membuat kaki kirinya lumpuh. Dan tak ada yang mau mempekerjakan orang berkaki pengkor.

Hanya musabab rajinnya beribadah dan bakat menjadi qori, Ustaz Mugni sering memintanya mengisi acara sebelum pengajian dimulai. Memang tak ada yang istimewa dari kisah hidup seorang marbut, kecuali kecantikan istrinya.

Sati adalah wanita yang kerap membuat Sarkup bersyukur memilikinya. Namun sifat Sati yang tak sabaran dan sering menuntut lebih, membuat beban Sarkup bertambah berat. Selama masih ada cinta dan tanggung jawab, Sarkup selalu berusaha memenuhi keinginan istrinya. Mungkin saat ini hanya sebungkus nasi berkat yang bisa ia kasih. Namun rasa ikhlas di hatinya jauh lebih dari itu.

Di tengah perjalanan, Soleh kebetulan jalan dari tempat kenduri yang sama, ia memperhatikan Sarkup yang hampir jatuh dan timbullah rasa iba di hatinya.

“Kang Sarkup!” Soleh menyapa sambil berlari menyejajari. “Wah, Kang Sarkup semangat sekali, ya, sampai mau jatuh segala.”

“Harus dong, kan ditunggu bini di rumah. Ada apa, Leh?” Tanya Sarkup dengan semangat.

“Susah emang kalau punya bini cakep ya, Kang? Bawaannya pasti pengen balik.” Mereka tertawa lalu tiba-tiba Soleh memberikan berkatnya pada Sarkup, “Nih! Aku dan keluarga sudah pada makan, ini buat Kang Sarkup saja, salam juga buat bini yah.”

Jazakallah Khair… Aduh, terima kasih banyak, Leh.”

Sampailah Sarkup di depan pintu rumahnya yang setengah terbuka. Engsel pintunya memang sudah rusak. Tak ada sedikit pun kekhawatiran. Lagipula siapa pencuri bodoh yang mencoba masuk ke gubuk derita? Tak ada barang yang masuk perhitungan untuk dicuri kecuali radio tua. Itu pun suaranya sudah serak.

Sarkup melewati pintu setelah beberapa salam tak dijawab. Ia meletakkan pecinya di kapstok yang terbuat dari kayu dan paku. Hidup berdua di rumah itu kadang membuat keheningan kian kental. Sati mungkin sedang keluar rumah, akhir-akhir ini istrinya memang sering memoles muka dengan pupur, bahkan hanya untuk sekadar menyalakan tungku di depan.

Sarkup mulai khawatir, baru-baru ini Sati cerita ada saudagar beras yang menggodanya di pasar. Bahkan sampai menawarinya jadi istri ke lima. Ke mana pula Sati? Sudah tiba waktu sandikala. Tiba-tiba ada sesuatu yang mendarat kencang di hati Sarkup. Ditaruhnya kedua berkat itu di dekat cepon kayu yang tertutup piring plastik.

Belum satu menit duduk di bangku suara lenguhan terdengar di kamar. Sarkup bergegas menarik kakinya ke sumber suara dengan gelisah. Di balik pintu itu yang hanya tertutup tirai kain sobek, matanya menangkap perhelatan sengit di ranjang yang mematahkan pilar cinta yang dirawat bertahun-tahun bersama istrinya.

***

Setelah Malaikat Hafadzah lenyap. Sarkup segera menemui Ustaz Mugni dan menceritakan apa yang dialaminya subuh tadi.

“Lantas permohonan apa yang kau titip padanya?” Tanya ustaz bermata teduh itu.

“Aku memohon untuk menghilangkan hukum untukku hanya satu jam.”

“Apa yang akan kau lakukan dengan waktu satu jam itu?” Tanya Ustaz cemas.

Sarkup mengambil sebuah belati yang disimpannya di dapur musala, dibungkus dengan kain kemudian diselipkan ke pinggang.

“Astagfirullah Sarkup, dendam takkan mengubah apa pun, jika permintaanmu itu baik, maka benar datang dari gusti Allah, namun jika berarti buruk buat dirimu dan orang lain, itu datang dari setan. Hiraukan halusinasimu itu Sarkup, malaikat yang kau katakan itu tidak pernah ada. Ia hanya setan.”

Sarkup termenung, ia menunjukkan matanya yang mendung, “Aku tak sanggup menahan duka seumur hidup, Ustaz. Tuhan telah memberiku satu kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.”

Sarkup bangkit. Ia kembali menyeret kakinya, kali ini dengan punggung yang bergetar menahan kesedihan. Ustaz Mugni tak bisa mencegahnya meski sudah beberapa kali menariknya kembali ke musala. Beberapa nasihat sudah ia sampaikan, hanya keyakinan dan harapan baik dari pria berjambang itu yang turut mengiringi setiap langkah marbut itu pergi.

***

Sarkup telah sampai di depan rumah si juragan beras itu. Ia melihat mantan istrinya sedang membersihkan halaman rumah barunya yang luas. Hujan kemudian turun menderas di kampung sebelah yang masih tersentuh musim panas. Sarkup segera ingat kata-kata Malaikat Hafadzah, Hujan, tanda permohonanmu terkabul. Satu jam kemudian hukum haram, halal, makruh tidak berlaku untukmu. Semuanya mubah.

Sarkup berjalan pelan menuju rumah bercat hijau itu. Ia akan segera memanfaatkan waktu sempit yang diberikan kepadanya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Sati diam kaku saja, matanya tegang melihat mantan suaminya datang dengan wajah berurai air mata. Segera Sarkup mengeluarkan belati yang disembunyikan di pinggang. Penyesalan akan membuat istrinya sadar, bahwa luka yang ia toreh kian membekas. Sati mundur perlahan dengan degup jantung yang kencang, “Jangan! Jangan, Kang!”

Tangan Sarkup bergetar, hatinya berkali-kali menolak, bahkan ketika hukum dihilangkan satu jam. Ia harus segera menyelesaikan semuanya. Kekecewaan dan rasa sakit akan segera enyah setelah ujung belati sampai urat jantung. Istrinya akan mengerti betapa Sarkup sangat kehilangan. Maka dengan cepat, Sarkup menikamkan belati itu ke tanah dan mengucap istigfar.

Sesosok makhluk yang semula tersenyum tiba-tiba memekik keras. Lalu Sarkup mendengar suara tangisan yang begitu sendu. Suara yang sama dengan suara malaikat yang mengobrol dengannya menjelang subuh itu.

Serang, Banten, 2022-2023

*) Image by istockphoto.com