Judul Buku                    : Agama Saya adalah Uang
Penulis                         : Nurudin
Penerbit                        : Intrans Publishing, Malang
Cetakan                        : Pertama, 2020
Tebal                            : xvi + 182 halaman

“Uang adalah alasan kita untuk berkelahi,” demikian keyakinan Karl Marx. Pandangan tersebut sepintas menyederhanakan masalah. Juga menafikan aspek lain dalam kehidupan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, Marx tidak berlebihan. Sebab, menurut pemikir sosial yang lahir 1818 (setahun setelah pemikir ekonomi David Richardo menulis  The Principles of Political Economy) itu, uang adalah bagian penting dari ideologi. Bahkan menjadi ideologi itu sendiri.

Pandangan Marx tentang uang dapat ditelusuri lewat karya monumentalnya, Das Kapital. Di buku yang terbit tahun 1867 tersebut, Marx menjelaskan bahwa fenomena kapitalisme dapat dicermati dari bekerjanya uang, modal, dan komoditas. Uang dan modal adalah penggerak dari komoditas. Tapi dalam perjalanan waktu, karena sifatnya yang lebih fleksibel, uang menjadi faktor utama yang menentukan  bekerjanya kapitalisme. Alhasil, membicarakan kapitalisme adalah membicarakan uang. 

Jauh sebelum Marx menulis Das kapital, Adam Smith yang dikenal “Bapak Kapitalisme” meluncurkan The Wealth Of Nations (1776). Buku ini mencerminkan ideologi kapitalisme klasik, di mana salah satu ajarannya “laissez faire” dengan invisible hand-nya (mekanisme pasar). Sejak itu kapitalisme mulai menancapkan pengaruhnya di Eropa, untuk kemudian menjalar di sejumlah negara yang ada di belahan benua lainnya.

Buku berjudul Agama Saya adalah Uang ini secara tersurat tidak mengacu pada pandangan Marx, David Richardo maupun Adam Smith. Buku ini juga memilih menggunakan istilah agama, dibanding ideologi, untuk menunjukkan kuatnya peran uang dalam kehidupan saat ini. Tapi apakah itu istilah ideologi atau agama, intinya sama: memosisikan uang sebagai sentral atau tujuan dari aktivitas manusia modern. Lebih menarik lagi, dalam buku ini analisis dikaitkan dengan dinamika sosial-politik yang terjadi.

Dalam hiruk pikuk sosial-politik, uang bisa menjadi senjata yang ampuh untuk mencerai-beraikan kohesifitas sebuah masyarakat atau kelompok.  Namun di saat lain, uang juga bisa menjadi bius yang sangat manjur untuk menyatukan berbagai kelompok dan kepentingan. Dalam soal uang, semua agama yang dianut manusia menjadi sama, semua ideologi yang dibela sama.

Akibat perbedaan kepentingan  politik yang mengakibatkan juga perbedaan jumlah kue (baca: uang) yang diterima sebuah kelompok, maka mulai ambyarlah kohesivitas yang semula terbangun baik. Dari sinilah, uang bisa menyebabkan sebuah kelompok yang tadinya bersatu menjadi tercerai-berai, bahkan berkonflik.

Namun ketika lobi tercapai, pembagian kue dirasa cocok, kelompok yang sempat bertikai dan tercerai-berai itu akan rukun lagi, akan erat bersatu. Bahkan yang semula oposisi pun ketika ditawari kue bisa dengan nyaman duduk dalam satu gerbong yang sama. Di sinilah uang menyatukan antar kelompok atau orang yang tadinya berada dalam perbedaan kepentingan, bahkan berseberangan dan bertarung dalam sebuah kontestasi politik.

Penulis buku yang berlatar belakang dosen Fisipol ini ingin menunjukkan satire dalam kehidupan yang serba pragmatis, terutama di ranah politik. Namun, uang tidak sepenuhnya bisa disalahkan, yang mesti bertanggung jawab adalah yang menggunakan dan memosisikan uang.

Alhasil, pelajaran menarik dari buku ini adalah perlunya mengubah cara pandang terhadap uang: tidak lagi sebagai tujuan, tapi (seperti sejarah kemunculannya) sekedar sebagai alat. Seperti pisau yang juga alat, tergantung penggunaannya: untuk berkelahi (ending-nya bisa pertumpahan darah) atau untuk memasak di dapur (ending-nya adalah makan bersama).***