Pada Jumat malam yang hiruk, Amos terpaksa melakukan sesuatu yang telah dihindarinya sejak lama: menumpangi bus malam. Andai saja bosnya di kantor tidak memberikannya pekerjaan tambahan, ia tidak akan melakukan hal mengerikan itu. Menumpangi bus malam baginya adalah sesuatu yang mengerikan. Ia kerap mendengar cerita-cerita tak menyenangkan rekan sekantornya seputar pengalaman mereka dengan bus malam. Teman perempuannya pernah dilecehkan oleh lelaki mabuk bersuara serak; seorang teman yang lain, lelaki berpenampilan necis yang selalu merapikan rambutnya tiap beberapa menit sekali diancam dengan sebilah pisau oleh sepasang penjahat yang mengepungnya dalam kursi tiga baris.
Ingatan akan hal itu membuatnya jeri. Tetapi ia tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Kereta listrik dan busway yang biasa ia tumpangi sudah tidak melintas. Mengecer naik taksi dan ojek hanya mengempiskan isi dompetnya yang memang tidak pernah tebal. Jadilah ia di sini sekarang, di kursi nomor tiga dari depan sebuah bus malam reyot tanpa pendingin ruangan.
Penampilannya amat mencolok dibandingkan para penumpang di sekelilingnya. Amos mengenakan kemeja kotak-kotak yang kelihatan mahal, celana jins biru cerah, dan jam tangan Swiss Army dengan sepuhan warna emas pemberian teman perempuannya pada ulang tahunnya setahun silam. Sejumlah penumpang menyandarkan punggung mereka di bantalan kursi yang keras sambil memejamkan mata. Beberapa yang lain memain-mainkan ponsel sambil menunggu bus jalan. Seorang perempuan tua dengan kudung hitam dan mata mendelik yang membuatnya tampak seperti bintang film horor memandangi Amos dengan cara yang ganjil. Amos melengos. Dan Amos baru menyadari bahwa di samping kirinya, di sebelah pojok kursi dua baris ada seorang lelaki tua berambut kelabu.
“Maaf, Pak,” ucap Amos seolah-olah ia telah melakukan suatu kesalahan.
Lelaki tua itu mengangguk. Anggukannya begitu lemah seakan-akan tulang dagunya tidak cukup kuat untuk melakukan gerakan itu. Amos yang merasa tak enak hati telah mengabaikan lelaki tua itu pun mulai mengajaknya bercakap-cakap.
“Bapak sendirian saja?”
Amos tahu itu pertanyaan bodoh. Tetapi kekikukan membuatnya tak dapat merencanakan permulaan percakapan yang baik dengan orang asing.
Lagi-lagi lelaki tua hanya menanggapinya dengan anggukan lemah.
Ketika memandangi lelaki tua itu lebih saksama, Amos mendapati lelaki tua itu terlihat begitu menyedihkan. Wajahnya penuh kerut-merut, rambutnya kusut, pakaiannya lusuh, dan gerakannya seperti orang yang sudah siap dikirim ke dalam kubur. Sementara itu, bus mulai berjalan sambil sesekali mengeluarkan bunyi desing mesin yang mengganggu telinga.
Dengan tanggapan seadanya dari lelaki tua, mulanya Amos tak berhasrat melanjutkan percakapan lagi dengan orang itu. Ia ingin bermain ponsel atau tidur sejenak. Tetapi ketika tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, tiba-tiba lelaki tua menyapanya dengan ramah dan bertanya ke mana Amos akan pergi.
“Saya tidak ingin pergi, Pak. Saya ingin pulang.”
“Oh, biar saya tebak. Kamu baru pulang dari tempat kerja, ya?”
Amos mengangguk seraya tersenyum. Itu bukan tebakan yang istimewa. Penampilannya memang terlihat seperti orang yang baru pulang bekerja pada umumnya, dengan pakaian rapi dan tas tangan di pangkuan.
“Enak ya jadi anak muda sepertimu. Masih bisa bekerja dan mengumpulkan uang sesuka hati. Beda sekali dengan saya.”
Saat mengucapkan hal tersebut, pandangan lelaki tua menerawang jauh ke luar jendela seakan-akan ia sedang mengenang masa mudanya yang indah. Samar-samar Amos juga melihat mata lelaki tua itu sebak.
“Tetapi tidak selalu enak juga, Pak. Kadang-kadang saya merasa bosan dan lelah menjalani rutinitas ini.”
“Ah, kamu jangan bicara begitu, Nak. Seharusnya kamu bersyukur masih memiliki pekerjaan. Banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung kamu. Ada yang menjadi pengangguran, ada pula yang memilih jalan kriminal karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.”
Kata-kata terakhir lelaki tua meninggalkan debar kecil di dada Amos. Lelaki tua tampaknya menyadari kekagetan Amos. Dengan muka tuanya yang menyedihkan, lelaki tua buru-buru menyambung ucapannya dengan bercerita mengenai anak lelakinya yang kabur.
“Umurnya tujuh belas tahun ketika kabur dari rumah. Dia tidak pamit kepada saya atau istri saya. Dia lari begitu saja membawa sekantung pakaian. Yang bikin saya kaget, seminggu setelah dia kabur, saya mendapat kabar bahwa dia sudah menjadi anggota komplotan copet di terminal!”
Alih-alih membuat Amos tenang, lanjutan ucapan lelaki tua malah membuatnya bertambah ngeri. Namun Amos berusaha untuk tetap menghargai apa-apa yang lelaki tua katakan.
“Lalu, bagaimana nasib anak Bapak itu sekarang?”
“Ah, saya tidak tahu lagi. Saya sudah tidak peduli kepadanya. Anak tak berguna semacam itu hanya bikin saya dan istri saya sengsara. Jadi, lebih baik saya tidak memikirkannya.”
Amos merasakan nada kegetiran pada suara lelaki tua. Ia bisa membayangkan betapa remuknya hati orang tua yang mendapati anaknya berubah menjadi pelaku kriminal. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kecil yang pernah dilakukannya semasa remaja dan ia merasa telah menjadi anak yang kurang berbakti kepada orang tua.
“Maafkan kalau cerita saya membuatmu tidak nyaman. Saya cerita seperti ini kepadamu supaya kamu waspada, waspada ketika menjadi orang tua kelak dan waspada ketika menumpangi bus.”
Setelah mengambil napas sebentar lelaki tua melanjutkan, “Saya tebak, kamu belum menikah, kan?”
Amos membenarkan tebakan itu.
“Tapi, kenapa saya harus waspada ketika menumpangi bus?” tanya Amos.
“Pada dasarnya kita memang harus waspada di mana saja kita berada, Nak.”
“Ya, saya setuju dengan Bapak. Teman-teman saya juga sering menceritakan pengalaman tak enak mereka saat menumpangi bus, terutama bus malam.”
“Itu betul sekali, Nak. Anak saya yang durhaka itu, yang saya tak tahu dia ada di mana sekarang, saya dengar-dengar biasa ‘bekerja’ di bus malam seperti yang kita tumpangi sekarang ini.”
Amos mengernyitkan dahinya. Meski begitu, lelaki tua tak terpengaruh dengan perubahan ekspresi Amos. Ia tetap melanjutkan perkataannya.
“Sebenarnya saya tidak terlalu suka mengingat-ingat lagi perbuatannya. Dia benar-benar biadab. Benar-benar kriminal kurang ajar. Kamu tahu, Nak, dalam satu malam dia pernah mendapat lima dompet! Benar-benar keparat anak itu. Saya sering menyesal mempunyai anak semacam itu.”
Selepas lelaki tua mengatakan itu, bus berhenti. Seorang lelaki muda berkaos hitam polos masuk dan berdiri di tengah-tengah bus. Amos heran mengapa lelaki itu tidak duduk, padahal masih ada beberapa kursi yang kosong. Pandangan Amos kembali beralih kepada lelaki tua yang bertanya, “Apa kamu masih berminat mendengar cerita saya?”
Sebenarnya Amos tidak terlalu berminat lagi mendengar cerita-cerita lelaki tua. Tetapi tampang penuh harapan lelaki tua membuatnya merasa iba dan akhirnya menyerahkan kembali sepasang telinga dan matanya untuk lelaki tua.
“Ah, tapi apa lagi yang harus saya ceritakan. Cerita-cerita saya tidak enak didengar, ya?”
Tepat sekali, cerita-ceritamu memang tidak enak didengar di sebuah bus malam yang cukup padat begini.
Amos ingin mengucapkan sederet kata itu, tetapi ia mengurungkannya. Ia merasa tak sopan sekali berbicara terus-terang begitu kepada seorang tua yang menyedihkan.
“Sepertinya kamu lelah, ya. Ya sudah, silakan kamu istirahat. Perjalanan bus ini masih panjang. Dan satu lagi, hati-hati dan jaga barang bawaanmu. Ada banyak orang semacam anak saya di bus seperti ini. Kita harus selalu waspada.”
Amos memang lelah. Ia memeriksa jam di pergelangan tangannya. Sudah menjelang pukul setengah sepuluh. Karena kantuknya sudah tak bisa ditahan, ia pun memejamkan mata dan menyandarkan punggungnya ke bantalan kursi sebagaimana yang dilakukan banyak penumpang lain. Di sampingnya lelaki tua sibuk melihat-lihat pemandangan di luar jendela. Sebelum larut dalam tidurnya, Amos samar-samar mendapati lelaki tua memandanginya. Tapi ia tak terlalu memedulikannya. Ia pun tertidur.
Amos tidak tahu sudah berapa lama ia tidur ketika lelaki tua menepuk pundaknya dan bilang, “Maaf membangunkanmu. Saya sudah sampai.”
“Oh, ya. Bapak sudah mau turun?” sahut Amos yang belum sepenuhnya sadar dengan gelagapan.
“Iya. Saya sudah sampai di tujuan saya. Permisi, ya. Saya mau turun.”
Amos menggeser duduknya untuk memberikan lelaki tua ruang untuk berjalan. Lelaki tua itu berjalan dengan langkah-langkah lamban. Punggungnya agak bungkuk.
Bus sudah berhenti. Lelaki tua itu pun turun. Sebelum keluar, di ambang pintu lelaki tua sempat menoleh dan melambaikan tangan kepada Amos sambil menyunggingkan senyum. Amos membalasnya dengan malas-malasan.
Selain lelaki tua, ada beberapa penumpang lain yang juga turun di perhentian tersebut, salah satunya adalah lelaki muda berkaos hitam yang tadi masuk di pertengahan jalan.
Amos memperhatikan lelaki tua yang sudah berada di luar. Bus perlahan-lahan kembali berjalan. Di luar, di antara cahaya lampu jalan yang redup Amos masih mengamati sosok lelaki tua. Ia bergumam, “Betapa malangnya menjadi lelaki tua.”
Ketika bus berjalan semakin laju dan jauh, ekor mata Amos masih memandangi lelaki tua. Ia masih sempat melihat lelaki muda berkaos hitam berlari menghampiri lelaki tua, lalu keduanya terlihat bercakap-cakap dengan akrab.
Amos memalingkan matanya. Ia menegapkan tubuhnya. Ia mengambil ponsel dari saku celana untuk mengecek siapa tahu ada pesan atau berita penting. Akan tetapi, saku celananya kosong. Ia memeriksa saku kemeja, tas tangan, dan kembali memeriksa saku celananya. Sama saja. Ponselnya tak ada di mana-mana. Amos teringat lelaki tua dan ceritanya tentang anak lelaki yang menjadi pelaku kriminal. Ia merutuk dalam hati, memukul-mukul telapak tangannya, dan ingin berteriak sekeras-kerasnya.
Bus berjalan semakin cepat. Malam semakin gelap. Setelah mengembuskan napas yang terasa begitu panas, Amos berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan lagi menumpangi bus malam, apa pun yang terjadi. (*)