Konon, kata kakekku, di atas Gunung Mokol ada penghuninya yang bernama Ki Bintaro. Dia mempunyai seorang istri bernama Nyi Indang. Nyi Indang memiliki rambut panjang sampai kaki. Keduanya memiliki ilmu atau kekuatan yang bisa mengubah diri mereka menjadi apa saja. Mereka juga sering berpindah tempat ke mana pun yang mereka mau.

 Selain Ki Bintaro dan Nyi Indang, ada dua penghuni lain yang bernama Kabayan dan adiknya, Kabayun. Mereka berdua kakak beradik yang senantiasa menjalani hidup bersama dalam suka dan duka. Mereka semua hidup di Gunung Mokol sampai saat ini.

Pada suatu waktu, kata kakekku, malaikat Jibril dan Mikail pernah menyuruh Kabayan dan adiknya, Kabayun, untuk menghitung semua gunung di dunia. Maka Kabayan dan Kabayun pun menghitung semua gunung yang ada di dunia. Setelah selesai menghitungnya, mereka diminta menanam hanjuang di setiap gunung itu.

Aku sendiri punya pengalaman yang tidak terlupakan  di Gunung Mokol.

Pada hari Sabtu yang panas, sepulang sekolah, aku bersama teman-teman mencari durian di Gunung Mokol karena di sana banyak pohon durian yang berbuah. Bahasa kerennya ngekes.

Kami berjalan kaki ke Gunung Mokol. Suasana di sana gelap karena banyak pepohonan yang rindang dan tinggi. Meski gelap dan menyeramkan, kami tetap berjalan dengan semangat demi mendapatkan durian. Sesampainya di atas Gunung Mokol, kami melihat ada rumah tua.

Belum lama kami berjalan, tiba-tiba terdengar suara buk… buk… buk…! Kami langsung berlari ke arah suara. Ternyata itu adalah durian-durian yang baru saja jatuh. Aku dan teman-teman langsung memungutnya dan langsung kami bawa pulang dengan senang.

Di jalan pulang, kami melihat ada bayangan di rumah tua tadi. Kami penasaran, lalu mendatangi rumah tersebut. Ketika kami membuka pintunya, tiba-tiba ada seorang nenek yang rambutnya panjang sampai kaki. Kami langsung lari ketakutan. Durian hasil ngekes kami tinggalkan di sana. Kami tidak peduli pada durian, yang penting menyelamatkan diri.

Saat kami sampai di bawah gunung, tiba-tiba banyak batu kecil yang dilempar ke arah kami dan salah satunya mengenai kepala Sangka, temanku. Darah mengalir dari kepalanya yang terluka. Kami langsung menolong Sangka dan memapahnya pulang ke rumah.

Di tengah perjalanan kami bertemu dengan seorang kakek yang membawa banyak durian. Odib, salah seorang temanku, bertanya kepada kakek itu. “Kek, duriannya banyak sekali. Dapat dari mana?”

Namun, kakek itu tidak menjawab. Lalu tiba-tiba Sangka, yang tadi terluka, berteriak keras sekali. Kami langsung merubunginya kembali. Ketika kami melihat ke tempat kakek tadi berada, ia sudah menghilang entah ke mana.

Kami pun segera melanjutkan perjalanan pulang. Di jalan kami bertanya pada Sangka, “Ka, tadi kenapa kamu berteriak kencang sekali?”

“Tadi aku melihat hantu di jalan. Dekat pohon durian,”  jawab Sangka dengan suara lemah.

“HA…HA…HANNNTU?!” teriak kami berbarengan.

“Kalau gitu ayo kita cepat pulang! Sudah sore juga, sebentar lagi Magrib,” ajakku pada teman-teman.

Sesampainya di kampung, aku dan teman-teman berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Namun, aku mampir dulu ke rumah kakekku untuk menanyakan tentang kejadian di Gunung Mokol tadi.

Kuketuk pintu rumah Kakek. “Assalamualaikum…!”

“Waalaikumussalam,” jawab kakekku dari dalam. “Oh, Saiman, ada apa kamu ke sini?”

“Tadi pulang sekolah aku dan teman-teman ngekes kadu[1] ke Gunung Mokol. Kami dilempari batu oleh nenek-nenek berambut panjang yang ada di rumah di atas gunung itu.”

“Oh, hari Sabtu dan Rabu memang hari yang dilarang untuk pergi ke Gunung Mokol,” jawab kakekku.

“Memang kenapa, Kek?” tanyaku penasaran.

“Kakek juga tidak tahu alasannya, tapi yang pasti, alam, hutan, dan gunung punya aturannya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh manusia. Misalnya kita tidak boleh menebang pohon seenaknya. Aturan itu semata-mata demi menjaga alam agar berumur panjang.”

“Semacam kearifan lokal, ya, Kek?” tambahku.

“Yaa, mungkin. Kakek tidak paham istilahnya,” jawab kakekku sambil tersenyum.

“Kek, sudah Magrib. Aku pamit dulu.” Aku menyalami tangannya yang keriput.

Sore hari itu aku pulang ke rumah dengan pemahaman baru tentang alam, tentang nilai-nilai kearifan alam yang tidak boleh dilanggar oleh manusia.

Cerita tentang Gunung Mokol dan penghuninya mungkin hanya cerita rakyat yang belum pasti kebenarannya, tapi aku tetap memercayainya sebagai warisan budaya untuk menjaga kelestarian alam dan bumi ini.

Peristiwa di Gunung Mokol saat itu menjadi pengalaman berharga bagiku agar aku bisa lebih menghargai alam dan menjaganya agar tetap lestari selamanya.[]


[1] Durian (dalam bahasa Sunda)