Kemarin, saat perjalanan pulang dari mengisi materi penulisan cerpen di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, mata saya sangat mengantuk. Saya memutuskan untuk menghentikan laju kendaraan roda dua saya di tepi jalan. Saya harus berhenti, harus ngaso, agar mata saya kembali melek, sebab bila saya melanjutkan perjalanan, bisa berbahaya bagi keselamatan saya.

Salah satu cara agar mata saya kembali on, biasanya saya makan sesuatu. Saya melihat-lihat ke sekitar. Beberapa meter di belakang saya ada penjual makanan atau jajanan khas negeri kita dan es kelapa muda. Wah, kayaknya enak nih makan makanan itu. Tapi saya sumeh muter balik lagi. Ya sudah, saya makan jeruk saja yang saya dapat dari makan siang tadi di acara pelatihan menulis.

Beberapa saat kemudian seorang bapak-bapak, dari arah belakang, melewati saya yang tengah berhenti di pinggir jalan, lalu ia berbelok ke sebuah gang. Awalnya saya pikir ia akan menuju rumahnya yang ada di balik gang itu—saya mengira rumahnya memang di sana. Tapi ternyata tidak. Ia berhenti setelah agak jauh dari tepi gang, tapi tetap bisa terlihat karena saya berhenti tak jauh dari gang itu. Saya iseng memerhatikan. Ia menghadap tembok di gang yang dipenuhi rumput setinggi mata kaki orang dewasa. Dan apa yang selanjutnya terjadi?

Ciiirrrr ….

Ia menyiram tembok itu, tembok bangunan sebuah toko bahan bangunan atau bengkel atau apalah itu dengan air kencingnya! Rumput-rumput di sana mungkin kena cipratannya.

Ia berbalik, keluar dari gang, melewati saya lagi, dan kembali ke gerobak jualannya di tepi jalan itu, gerobak yang beberapa saat lalu hendak saya tuju sebagai pengalih rasa kantuk saya.

Saya beruntung karena saya tak jadi makan di sana. Saya tak makan makanan yang dilayani orang yang buang air kecil di tembok toko milik orang lain. Saya tak jadi mengonsumsi jajanan yang dijajakan orang yang betah-betah saja tidak mencuci tangannya setelah nguyuh.

Saya jadi menandai satu penjual yang tak ‘kan saya makan barang dagangannya di jalan itu.

Ngomong-ngomong soal tanda-menandai penjual, ia bukan orang pertama yang saya tandai. Beberapa bulan lalu, saya menandai seorang penjual sarapan di pinggir jalan, padahal saya sudah cukup lama langganan sarapan di sana.

Suatu pagi, saat hendak menuju tempat mengajar, seperti biasa, saya beli sarapan di mamang-mamang penjual itu. Ia selalu ramah dan sopan. Kadang ia mengajak berbasa-basi. Dan ia selalu memberikan uang kembalian dengan menundukkan badan dan bilang terima kasih. Sangat sopan.

Tapi pagi itu saya lihat ia memegang punggung kucing dan setelah itu ia melayani saya dengan tangannya yang tak ia cuci terlebih dahulu. Tangannya sigap memegang centong nasi, lalu berpindah ke sendok untuk memasukkan sedikit kacang tanah goreng, irisan telor dadar dan sambal dari toples ke bungkus sarapan saya. Tapi kemudian ia mencomot kerupuk dengan tangan telanjang. Waduh! Hari itu menjadi hari terakhir saya beli sarapan di tempat itu.

Di momen yang lain dan penjual yang lain, saya pernah juga membeli sarapan. Pas saya turun dari motor dan membuka helm, saya lihat muka penjualnya masih seperti orang yang belum mandi, malah lebih terkesan seperti orang baru bangun tidur: rambutnya yang gondrong agak acak-acakan meski dikuncir dengan karet gelang. Awalnya saya urung beli, tapi tidak enak juga karena sudah turun dari motor dan buka helm. Itu jadi pembelian pertama dan terakhir saya di mamang itu.

Selektif banget, ya, saya dalam memilih makanan di tepi jalan? Tidak juga, kok. Karena teman saya saat kuliah jauh lebih selektif daripada saya.

Saat masih kuliah, saya punya seorang teman yang menurut saya sangat selektif dalam memilih makanan. Awalnya saya pernah iseng bertanya ke dia, kenapa dia jarang sekali jajan di kampus atau di sekitar kampus, dan jika sekalinya jajan, ia cuma beli makanan yang itu-itu saja, tidak yang lain? Ia bilang, karena banyak penjual di kampus dan sekitarnya tidak lolos kurasinya!

Saya pernah ajak ia untuk makan siang di suatu tempat makan di sekitar kampus, ia menolak dan ia jelaskan alasannya setelah kami menemukan tempat yang layak baginya untuk makan.

Pertama, ia lihat dulu penampilan penjualnya. Kalau badan dan pakainnya bersih, ia lolos tahap pertama. Lalu, setelah itu, ia akan lihat tempat makannya: gerobak makannya bersih atau tidak, meja dan kursinya bersih atau tidak, baru ke lingkungan sekitarnya. Dan terakahir, ya, makanannya apakah bersih atau tidak.

Mungkin itu terkesan ribet, karena selektif, tapi itu baik, daripada kita nanti jadi sakit.

Gara-gara pengalaman kemarin itu, saya jadi terbayang-bayang sesuatu: tentang aneka jajanan yang sudah saya makan di pelbagai tempat, terutama jajanan atau makanan yang saya konsumsi yang penjualnya tidak stay di rumah atau tempat yang permanen, yang menyediakan kamar mandi baginya, yang memudahkannya untuk mencuci tangannya. Saya hanya khawatir, ya khawatir: para penjual di sekitar kita tak seperti bapak-bapak yang masuk ke gang itu, kan?

Rumah Baca Bojonegara, Minggu, 21 Mei 2023 23:19 WIB