Judul Buku      : Allah Tidak Cerewet Seperti Kita
Penulis             : Emha Ainun Najib
Penerbit           : Noura Books
Halaman          : 239
Tahun              : Maret 2019
ISBN                : 978-602-385-812-5

Semakin orang mendalami agama, semakin orang menemukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah buah dari ketekunan seseorang dalam mendalami dan mengamalkan agamanya. Orang yang bijak dalam beragama, tentu ia akrab berbuat kebajikan. Tapi orang yang sering berbuat kebajikan, belum tentu dia bijaksana. Dan bukan hal mudah orang beragama menjadi orang yang bijak. Ini ditempa tidak hanya oleh lingkungan, tapi juga pengalaman. Di Indonesia, menjadi orang yang beragama saja tidak cukup. Kita memerlukan sikap bijak dalam beragama. Sebab di Indonesia tak hanya orang beragama Islam yang tinggal, tapi juga orang beragama Hindu, Kristen, Budha, Katolik, Kong Hu Chu, dan pelbagai agama yang tak disebut secara rutin oleh pemerintah. Islam sendiri saja sudah memiliki banyak organisasi dan aliran, belum lagi agama lainnya. Bila tidak bijak, tentu akan menjadi mudah berseteru, berselisih, saling benci, saling bermusuhan karena persoalan agama.

Emha Ainun Najib, yang sering disapa Cak Nun, menulis panjang pandangan-pandangannya agar kita menjadi orang yang bijak dalam beragama di bukunya Allah Tidak Cerewet Seperti Kita (2019). Emha membagikan pandangannya tentang menjadi muslim yang bijak di Indonesia. Ia menyoroti fenomena yang kadang salah kaprah di masyarakat kita. Sebut saja saat ia menulis tentang syirik. “Syirik itu tidak tergantung bendanya. Anda bisa menjadi syirik dengan penampilan sangat Islam. Misalnya, umrah untuk money laundering, uang curian “disucikan” di Makkah.” Umrahnya perbuatan baik, tapi caranya menipu diri sendiri, menipu orang lain, menipu Allah, sama saja dengan syirik. Nah, sedangkan di Indonesia sendiri, orang kadang tak melihat bagaimana cara orang umrah atau haji. Tapi yang dilihat berapa banyak orang berangkat umrah atau haji.

Cak Nun memang dikenal sebagai budayawan yang berdakwah secara kultural kepada umat Islam melalui forum kebudayaan Maiyah. Bersama Maiyah itu pula, Cak Nun juga menyampaikan pemikiran, renungan, serta pandangannya tentang Islam Indonesia. Ada candaan, ada nada serius, dan ada juga lontaran pertanyaan yang menantang para jamaah. Kita kutip apa yang ditulis Cak Nun berikut ini: “Hidup itu tidak tergantung Alquran, tapi tergantung manusianya. Sudah ada Alquran saja hidup masih kayak begini. Ini semua karena manusianya.” (h.81). Pernyataan Cak Nun ini tentu tak disetujui semua orang, akan tetapi pernyataan ini mengajak para pembaca untuk merenung, bahwa yang menjadi sebab agama Islam menjadi baik atau tidak tergantung pada manusianya. Sebab sebagus apa pun kitab manusia, ketika manusianya tak mau mengamalkannya, akan menjadi percuma.

Islam Indonesia adalah Islam yang mengayomi, memayungi, mencintai, bukan Islam yang membenci, saling menyakiti. Orang Islam itu omongan dan tindakannya membuat semua orang merasa aman. Itulah Islam (h. 155). Karena itulah, jika ada orang yang mengaku islam tapi masih membenci, menyakiti, menebar takut kepada sesamanya, ia bukanlah Islam Indonesia. Kata Cak Nun, “Sekarang ini bukan zamannya mengurus agama orang lain. Agama itu ‘urusan dapur’, bukan urusan “depan rumah”. Agama itu hanya digunakan untuk mengompori matangnya akhlak Anda, agar kelakuan Anda baik, bagus.”

Banyak kejadian di Indonesia, agama masih pada permukaan saja. Akibatnya, agama seolah dijadikan label atau cap semata. Organisasi, aliran seolah sudah menjadi agama tersendiri. Orang tak melihat sikap atau kelakuan, tapi melihat praktik beragamanya. Sehingga yang beda, yang dijalankan kelompok lain dianggap sesat, salah. Sikap inilah yang sebenarnya tak memiliki akar kuat dalam sejarah bangsa Indonesia. Orang kemudian terjebak pada pelabelan dan stigma agama. Ketika dosis atau tensinya meningkat, biasanya yang timbul adalah permusuhan sampai pada gejolak.

Pada pemilu 2019 lalu, misalnya, umat Islam bisa sangat mudah terpolarisasi hanya karena berbeda pilihan politik. Fenomena ini menjadi fenomena yang memprihatinkan sekaligus menjadi gambaran umat Islam Indonesia yang masih terpaku pada pelabelan. Bila agama hanya dijadikan alat untuk saling membenarkan diri dan saling konflik, tentu nasib agama menjadi tersungkur.

Pada akhirnya, agama Islam adalah mudah, tapi tidak boleh dipermudah. Maknanya, sejatinya Islam hadir untuk menyelesaikan persoalan manusia. Membebaskan manusia dari belenggu dan cengkeraman dunia. Tidak cukup menjadi orang Islam yang bajik saja tanpa bijak.  Karena buah dari orang Islam yang baik adalah menjadi bijak. Sehingga ia akan menghadirkan kenyamanan dan kedamaian bagi orang sekitar.