Perpustakaan, yang dulu kubayangkan sebagai tempat penuh debu dan aroma kertas tua, kini menjelma menjadi tempat favoritku. Bukan karena aku tiba-tiba menjadi kutu buku, tapi karena “Gadis Novel”. Dia selalu ada di sana, di antara rak-rak buku fiksi, dengan gaunnya yang anggun dan kacamata yang membuatnya terlihat cerdas. Setiap sore, tepat pukul 15.00 WIB, dia akan muncul dan memulai ritualnya: membaca dengan penuh ekspresi.

Aku sering memerhatikannya dari kejauhan, terpesona dengan cara dia menyelami setiap halaman buku. Dia tersenyum, tertawa kecil, sedih, bingung, bahkan marah, seolah-olah dia benar-benar hidup dalam cerita yang dia baca.

Suatu hari, aku nekat. Aku memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. Dia hanya melirikku sekilas, kemudian kembali fokus pada bukunya.

“Buku yang bagus?” tanyaku berusaha terdengar santai.

Dia mengangguk. “Ya, ceritanya sangat menarik.”

“Boleh tahu buku apa yang kaubaca?” tanyaku.

“Tiga dalam Kayu, karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie,” jawabnya dengan tersenyum ramah.

“Sepertinya buku yang menarik,” ucapku, berusaha untuk memperpanjang obrolan.

“Tentu saja, apa kau tahu? buku ini menceritakan tentang seorang gadis yang membaca sebelas buku yang seolah-olah di antara buku-buku itu saling berhubungan,” jelas gadis itu antusias.

Seketika aku terkejut dan senang ketika gadis itu begitu antusias menceritakan padaku tentang buku yang ia baca. Aku tersenyum kagum ketika melihat senyum semringah gadis itu.

“Waah, kalau begitu aku juga akan membeli dan membaca buku itu,” jawabku seolah tertarik dengan cerita buku tersebut.

Dia mengangguk. “Tentu saja.”

Kami pun berbincang tentang buku, dan aku menemukan bahwa dia memiliki pengetahuan yang luas tentang sastra. Dia berbicara dengan penuh semangat, dan aku terhanyut dalam ceritanya.

Sejak saat itu, kami menjadi teman. Kami sering bertemu di perpustakaan, bertukar cerita tentang buku favorit, dan bahkan merekomendasikan buku kepada satu sama lain.

Aku belajar banyak dari Gadis Novel. Dia mengajariku bahwa membaca bukan hanya tentang menghabiskan halaman, tapi tentang menyelami dunia lain dan merasakan berbagai macam emosi. Dia juga mengajariku bahwa keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman dapat membuka pintu ke dunia yang indah. Itu mengingatkanku tentang bagaimana diriku yang akhirnya berani untuk menyapanya.

Suatu hari, Gadis Novel memberitahuku kabar yang mengejutkan. “Minggu depan aku akan pindah dari kota ini untuk mewujudkan impianku belajar membuat penerbitan,” ucapnya tiba-tiba menjadi murung.

“Benarkah? Lalu kenapa kau murung? Bukankah itu bagus?” tanyaku yang bingung melihat ekspresi wajahnya.

“Aku merasa sedih, karna kita akan berpisah dan tidak bisa bertemu untuk menceritakan tentang buku-buku yang kita baca,” jawabnya menatapku sayu.

“Tidak apa-apa, kita masih bisa menceritakan tentang buku-buku yang kita baca dengan bertukar pesan melalui email. Kita juga bisa menceritakan tentang pengalaman masing-masing di email. Kau tenang saja!”

“Kau benar juga. Kita masih bisa saling berhubungan melalui email,” ucapnya kembali tersenyum.

Sebelum dia pergi, kami bertukar alamat email dan berjanji untuk tetap berhubungan. Aku tahu bahwa meskipun kami tidak lagi bisa bertemu di perpustakaan, persahabatan kami akan terus berlanjut.

Gadis Novel telah mengubah hidupku. Dia membuka mataku terhadap dunia baru dan memberiku keberanian untuk keluar dari zona nyamanku. Aku akan selalu bersyukur atas pertemuan kami di perpustakaan, tempat yang dulunya kubenci, tapi kini menjadi tempat favoritku.

Beberapa bulan kemudian, sebuah email dari Gadis Novel masuk.

Hai, bagaimana kabarmu? Itulah yang tertulis di emailku.

Dia menceritakan tentang kehidupannya di kota baru, tentang teman-teman barunya, dan tentang buku-buku yang dia baca. Dia juga menanyakan kabarku.

Aku membalas emailnya dengan penuh semangat, menceritakan tentang pekerjaanku, tentang keluargaku, dan tentang buku-buku yang aku baca. Aku juga memberitahunya bahwa aku akan mengunjungi kota tempat dia tinggal pada bulan depan.

Bulan depan aku berencana akan mengunjungi kota tempat kau tinggal, tulisku.

Benarkah? Waah~ aku sangat menantikannya. Ayo kita menghabiskan waktu bersama saat kau tiba di sini, balasnya penuh antusias.

***

Satu bulan kemudian, aku bertemu kembali dengan Gadis Novel di kota barunya. Kami bahagia bisa bertemu kembali. Kami menghabiskan hari itu bersama, berkeliling kota, makan siang di kafe favoritnya, dan tentu saja, berbicara tentang buku.

Saat aku akan kembali ke kotaku, Gadis Novel memberikan sebuah buku kepadaku.

“Ini untukmu,” katanya. “Buku ini selalu mengingatkanku padamu.”

Aku menerima buku itu dengan hati berdebar-debar dan penuh rasa haru. Aku tahu bahwa buku itu akan selalu menjadi pengingat antara kami yang indah.

“Terima kasih, aku akan membaca dan menyimpan buku ini dengan baik,” ucapku penuh haru.

“Tentu saja, dan jika kita bertemu lagi, kita akan membahas tentang buku ini dan buku yang lainnya,” ucapnya tersenyum.

Mendengar itu aku sangat terharu dan sedih, karna kami akan berpisah. Tapi walaupun begitu, aku yakin kami pasti akan bertemu kembali dengan cerita seru antara satu sama lain.

Setelah aku kembali ke kota tempat tinggalku, aku datang kembali ke perpustakaan. Aku duduk di bangku yang dulu kami tempati bersama, dan aku membuka buku yang dia berikan kepadaku. Aku mulai membaca, dan aku kembali merasakan keajaiban yang dulu kurasakan saat aku melihat Gadis Novel membaca.

Aku tahu bahwa meskipun dia tidak lagi di sini, dia akan selalu ada di hatiku. Dia akan selalu menjadi pengingatku bahwa membaca adalah tentang menyelami dunia lain dan merasakan berbagai macam emosi.

Dia juga akan selalu menjadi pengingatku bahwa keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman dapat membuka pintu ke dunia yang indah.

“Gadis Novel, tentu saja kita akan bertemu kembali dengan versi diri kita yang terbaik. Aku sangat merindukanmu,” monologku sambil tersenyum mengingat sosok Gadis Novel yang sudah menjadi sahabatku.

***

Beberapa tahun kemudian, di penghujung tahun aku kembali bertemu dengan Gadis Novel di sebuah pameran buku. Kami berdua sudah banyak berubah. Aku sudah menjadi seorang penulis, dan dia sudah menjadi memiliki penerbitan.

“Waah, kau sangat hebat, hasil karya tulismu sangat mengagumkan. Kau memang seorang penulis yang berbakat,” ucapnya memujiku.

“Kau juga hebat, kau berhasil mewujudkan impianmu memiliki penerbitan yang hebat,” balasku memujinya.

“Aku senang kita bisa bertemu kembali dengan menjadi seorang yang kita impikan,” ucapnya senang.

“Kau benar, aku juga sangat senang,” balasku.

Kami berbincang tentang banyak hal, termasuk perjalanan hidup kami masing-masing. Hingga Kami berdua sepakat bahwa persahabatan dan momen ini terjadi berawal dari kecintaan kami pada buku. Tapi apakah ini benar-benar hanya persahabatan? Aku ragu. Kurasa tidak. Ada keinginan besar dalam hatiku yang menginginkan ini bukan hanya sekadar persahabatan. Aku memberanikan diri untuk mengungkapkannya.

“Maaf sepertiya aku harus pulang,” ungkapnya. “Aku ditunggu keluargaku untuk menyiapkan acara natal.”

Aku terkejut. “Oh iya, si-silakan,” balasku terbata-bata. “Insya Allah kita akan segera bertemu lagi.”

Aku melihatnya berlari kecil menuju jalan. Sebuah mobil berhenti, seorang lelaki muda berkemeja putih keluar dari balik kemudi, mencium pipinya dan membukakannya pintu.

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<