Saya percaya bahwa sepuluh pemuda tak akan mampu mengguncangkan dunia, mana kala sedari kecil tak suka membaca. Bung Karno mungkin saja berbisik-bisik ketika mengatakan hal itu: “Beri saya sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” lantas, Putra Sang Fajar menambahkan kalimatnya dengan lirih, “tentu setelah mereka gemar membaca”.

Membaca merupakan kognisi dalam mencari ilmu pengetahuan. Makanya, membaca jadi rutinitas yang sangat penting. Seandainya saya disuruh ibu agar gemar membaca sejak kecil, niscaya saya bakal melahap beribu-ribu buku (atau bahkan lebih)—yang sama artinya dengan menyantap ribuan ilmu pengetahuan.

Saya bersyukur lantaran ibu berlangganan Majalah Bobo sewaktu saya masih berusia tujuh sampai sembilan tahun. Kala itu, setiap hari Kamis, selembar majalah tersebut selalu saya temui di atas meja dan kadang-kadang di sebelah TV. Saya sangat antusias, sebab menyukai cerita bergambar dengan ilustrasi yang indah. Sebagaimana umumnya anak-anak, cerita bergambar memiliki daya tarik tersendiri bagi saya.

Begitu Majalah Bobo mendarat secara sempurna di rumah, sembari berjingkrak, saya meraihnya, kemudian membuka rubrik cergam (cerita bergambar Bobo, Cerita dari Negeri Dongeng, Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang, dan lain-lain). Tidak jarang pula ibu menemani saya, turut membacakan cerita-cerita itu dengan riang gembira. Kegembiraan saya kian bertambah ketika ibu membawakan senampan ketela rebus dan segelas teh hangat.

Kadang kala di sekolah, saya dan teman-teman berbagi cerita. Di sekolah saya, tak sedikit teman-teman yang juga berlangganan Majalah Bobo, bahkan saya tahu majalah itu dari salah seorang teman sebaya yang lebih dulu berlangganan. Hal baru menjadi sesuatu yang menggembirakan untuk dibicarakan oleh anak-anak.

Saya dan teman-teman sekelas berlomba-lomba menuturkan cerita Bobo dan Bona tiap minggunya. Sederhananya begini: barang siapa lebih cepat menyampaikan cerita baru, maka dia anak yang hebat. Bukankah anak-anak selalu berusaha menjadi paling hebat di antara yang lainnya? Oleh karenanya, begitu mendapati Majalah Bobo, lekas-lekas saya baca.

Majalah Bobo telah berjasa mengenalkan saya pada rutinitas “membaca”. Rasa syukur tidak henti-hentinya saya ucapkan. Semoga para kru majalah kenamaan pada era jadul itu tetap dilimpahkan kesehatan dan diberi ganjaran setimpal. Amin.

Apa yang saya alami waktu kecil merupakan sebuah “keberuntungan” yang mungkin tidak dialami oleh semua orang (khususnya anak-anak yang hidup di masa sekarang). Saya tak bermaksud mengulik perihal rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ala Central Connecticut State University (CCSU) atau keputusan “kontroversial” AS Laksana yang tidak meloloskan satu pun penulis cernak menjadi juara pada lomba cerita anak DKJ tahun lalu. Saya hanya ingin mengajak para orang tua di mana pun berada untuk mendidik anak-anak mereka agar gemar membaca. Mengapa mesti begitu?

Pertanyaan tersebut hanya terdapat satu jawaban; “pengetahuan”. Saya bukan Najwa Shibah, bukanlah penyandang “duta baca nasional”, dan tidak pula Nadiem Makarim. Apa yang saya katakan itu—tentang ajakan membaca—sulit rasanya untuk diikuti banyak orang. Maka itu, setidaknya dapat saya tambahi dengan sebaris kalimat seperti ini: “Membaca dapat menambah ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan bisa membikin seseorang menjadi pintar.” Lantas, saya balik bertanya, “Siapa di dunia ini yang tidak ingin pintar?”

Memulai dari Apa yang Disukai

Anak-anak pada umumnya “cepat bosan” dalam melakukan suatu hal. Makanya, ketika mereka disuguhkan buku bacaan setebal bantal, kebanyakan tidak akan bertahan membaca selama sepuluh sampai lima belas menit. Alternatifnya buku-buku ringan-bergambar seperti halnya Majalah Bobo. Bagaimanapun, mendidik anak agar gemar membaca tidak bisa dilakukan dengan sulap atau secara instan. Sejak pertama kali ibu berlangganan Majalah Bobo, saya pun tidak lekas membacanya; saya hanya membolak-balik sekenanya, mencari gambar favorit. Namun, secara bertahap, ibu tidak jemu membacakannya untuk saya. Pada akhirnya, saya jadi menyukainya. Mengidolakan sosok Bobo yang lucu.

Satu hal yang saya sadari kala itu; saya menyukai sesuatu dan oleh karena itu, secara terus-menerus, membaca Majalah Bobo menjadi rutinitas pada hari Kamis. Kadang kala saya mencoba menggambar Bona Si Gajah di selembar buku gambar—dan tak jarang pula menggambarnya di dinding rumah menggunakan krayon. Hingga saya kepincut untuk meng-cosplay “Gajah Lucu” itu dan Bobo. Apa yang saya alami tersebut agaknya cocok diterapkan oleh anak-anak generasi terkini. Mengajak anak supaya gemar membaca bisa dimulai dari apa yang mereka sukai. Boleh jadi, mereka suka menggambar, lalu mengapa tidak kita arahkan untuk menggambar tokoh cerita?

Tantangan Perubahan Zaman

Mendapati fenomena zaman yang cepat berubah seperti saat ini, agaknya sulit untuk kembali pada masa-masa saya; tentang kesenangan terhadap majalah dan cerita bergambar. Pasalnya, anak-anak generasi kini telah mengenal gawai pada usia yang seharusnya belum boleh “mengenalnya”. Sering kali saya jumpai anak-anak main game, menonton tayangan YouTube, dan segala hal virtual lainnya. Apabila hal tersebut dilakukan sekali-dua kali, saya kira tiada salahnya. Akan tetapi, ada penyakit yang tengah mengintai mereka. Penyakit itu populer dengan sebutan “ketagihan”. Hal itu sangat mengancam.

Barang kali sebagian orang menganggapnya lumrah. Toh, dengan bermain game atau menonton tayangan di kanal YouTube membuat anak-anak tidak keluyuran ke mana-mana dan itu aman-aman saja. Saya pikir, alasan itu masuk akal. Akan tetapi, penyakit bernama ketagihan itu tidak akan terasa dampaknya dalam jangka waktu pendek.

Sejauh ini perubahan zaman (implikasi dari kecanggihan teknologi) dan apa pun yang membuat segalanya menjadi “virtual” kain mengancam masa depan anak-anak kita. Tentu zaman pada era sekarang menuntut segala hal jadi praktis dan instan. Itu berdampak pada tumbuh kembang anak. Anak-anak tidak akan lagi merasakan serunya bermain petak umpet, main kelereng, gerobak sodor, dan bahkan membaca majalah. Virtualitas dapat merusak karakter seorang anak. Efek parahnya, mereka bakal menyukai sesuatu yang instan dan tidak memahami proses. Padahal membaca merupakan proses itu sendiri.

Dari sejumlah hal di atas, sejujurnya saya merindukan masa kanak-kanak pada zaman dulu, di mana Majalah Bobo rasa-rasanya seperti “harta karun” yang terpendam. Lebih dari itu, kegemaran membaca tak ubahnya sebuah harta yang sangat bernilai. Makanya, saya kurang yakin bila Bung Karno tidak menyelipkan kalimat sakti itu (ihwal pentingnya membaca) ketika berpidato mengenai peran pemuda. Kalaupun saya boleh berandai-andai menjadi Putra Sang Fajar, saya akan mengganti kalimat itu dengan lugas, “Beri aku sepuluh pemuda yang ‘gemar membaca’, niscaya akan kuguncangkan alam semesta”. ***

Madiun, 29 Maret 2020