Kata orang, hutan ini adalah tempat orang-orang kesepian membusuk. Dimakan serangga kecil dan belatung dan secara perlahan diurai menjadi tanah. Menutrisi tanaman dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, menutupi lantai hutan dengan dahan yang menjulur sangat lebar. Tak heran jika beberapa pohon di sini tumbuh lebih tinggi, lebat, dan lebar dari pada pohon di hutan lain.

Akar pohon-pohon itu mencengkeram tanah dengan kuat. Batangnya menjulang tinggi dan kokoh. Dahan dan daunnya membentuk kanopi yang menghalangi cahaya matahari kala siang dan cahaya rembulan kala malam purnama.

Ryuma berjalan gontai, beberapa kali kakinya terantuk akar pohon yang kokoh menyembul dari dalam tanah serupa punuk unta. Dia sudah berjalan cukup jauh ke dalam hutan itu, tapi dia ingin masuk lebih dalam lagi. Lebih jauh lagi. Menemukan sebuah tempat yang ideal untuk melepas nyawanya sendiri. Agar tak ada yang menemukan dirinya sebelum terurai sempurna menjadi tanah dan pupuk.

Setelah berjalan beberapa menit lebih jauh ke dalam hutan, sebuah pohon yang nampak lebih besar dari semua pohon di sekitarnya berdiri dengan kokoh beberapa langkah dari tempat Ryuma berdiri. Daun-daunnya begitu rindang. Melantunkan irama sepi yang pilu saat diterpa angin. Akarnya tampak kokoh, memecah tanah, membentuk kurva. Beberapa bagian dari pohon itu terselimuti lumut-lumut hijau.

            “Tempat yang sempurna,” ucap Ryuma pada dirinya sendiri.

            Ryuma berbegas menuju pohon itu. Tetes-tetes embun membasahi punggungnya saat dia rebahkan diri ke batang pohon yang diapit cekungan akar. Cahaya bulan purnama yang menerobos di celah-celah kanopi menyinari Ryuma dengan cahaya kebiruan yang lembut.

            Dia tertunduk. Beberapa napas dalam dan panjang dihirup melalui hidung lalu dihela dari mulut. Setelah beberapa saat, Ryuma mengeluarkan sebuah botol dari tas selempang berwarna kelabu. Tas itu pemberian Megumi, mantan kekasihnya. Tas itu diberikan sebagai hadiah untuk Ryuma yang baru saja diterima kerja. Benda yang teramat disayangi sekaligus dibencinya.

            Hati Ryuma seakan mau pecah saat memergoki Megumi sedang bersama lelaki yang tak lain adalah rekan kerja Ryuma di kantor. Mereka sedang bercumbu di dalam apato[1] miliknya.

            “Kau tak lagi menyenangkan,” ucap Megumi saat Ryuma meminta penjelasan.

            Dunianya seakan runtuh tepat di depan hidungnya. Hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun, sirna begitu saja. Sudah sekitar setahun ke belakang hubungan mereka hanya melompat dari satu pertengkaran ke pertengkaran lain, perdebatan ke perdebatan yang lain. Bahasa yang keluar dari mulut mereka hanya sekadar cacian dan makian.

            Sejak bekerja di kantor barunya, Ryuma tak punya waktu untuk dihabiskan bersama Megumi. Berangkat sebelum matahari muncul, pulang jauh setelah matahari terlelap dalam keadaan teler. Bau alkohol yang selalu menyeruak dari mulut Ryuma dan perjumpaan singkat tanpa obrolan memercikkan bara api pertengkaran. Setahun terakhir konflik semakin parah. Megumi jengah menghadapi Ryuma.

            Megumi pergi, “wanita berhak bahagia,” ucap Megumi untuk terakhir kali.

            Ryuma kehilangan seseorang yang selalu ada di sampingnya selama lima tahun ke belakang. Mereka bertemu di sebuah stasiun saat Ryuma baru saja pindah ke kota. Mereka cepat akrab dan setelah beberapa kencan yang menyenangkan dan berkesan, mereka memutuskan untuk tinggal satu atap.

            Di tengah-tengah kegundahan karena berpisah dengan Megumi, dalam kekosongan hati yang tetiba saja menjadi sunyi, ditambah jam kerja yang semakin tak masuk akal, Ryuma memutuskan untuk resign dan pulang ke kampung halaman. Menemui kembali ayahnya yang sudah tak dijenguknya sama sekali sejak dia pergi.

            Rumah itu kembali membawa ingatan-ingatan masa kecilnya yang bahagia. Suara-suara kaki kecilnya yang berkejaran dengan ibunya berkelebat dalam benak. Saat ibunya meninggal, rumah itu menjadi sunyi. Ryuma tinggal berdua bersama ayahnya. Namun, sang ayah juga terlalu sibuk bekerja, hingga mereka berdua menjadi sangat asing.

            “Aku akan pergi ke kota, di sini aku tidak punya banyak pilihan,” ucap Ryuma saat meninggalkan rumah itu tanpa menoleh sekalipun ke arah ayahnya.

            Sunyi semakin betah bersarang di rumah itu. Ayah Ryuma meninggal beberapa minggu lalu sebelum kedatangannya. Menurut tetangga, ayahnya mengalami kodokushi[2].

            Mendengar hal itu, lubang kesedihan dan penyesalan di dada Ryuma semakin membesar. Dadanya terasa semakin perih, dingin, dan kosong. Segera dia pergi meninggalkan Rumah yang penuh dengan suasana apak dan sesak akan kenangan. Dalam keadaan linglung Ryuma berjalan menelusuri jalanan desa. Tiba-tiba tebersit sesuatu dalam benaknya. Tanpa pikir panjang dia masuk ke sebuah konbini[3] dan membeli sesuatu.

***

            Sebotol racun telah mendarat di tangan Ryuma. Dengan sedikit gerakan memutar, tangannya membuka tutup botol itu. Tangannya mengangkat botol itu, diarahkan ke mulutnya yang menganga. Racun itu meluncur membasahi lidah dan memberikan rasa pahit serta sensasi kebas.

            Namun, sebelum racun itu melewati kerongkongan, benda-benda di sekitar Ryuma tiba-tiba terdiam. Daun-daun yang semula jatuh terhenti di udara. Angin yang bertiup juga terdiam. Suara serangga yang semula nyaring berubah sunyi. Waktu pun membeku.

            Sesosok wanita cantik mengenakan kimono merah menghampiri Ryuma. Rambutnya hitam dan panjang hingga menutupi pinggulnya. Matanya sedikit sipit dengan pupil hitam pekat, sepekat malam. Kulitnya putih seperti kulit buah pir yang ranum. Pipinya bersemu kemerahan serupa sakura yang bermekaran di tengah salju.

            Melihat sosok itu, Ryuma terpana dan terkejut. Secara spontan dimemuntahkan racun yang tadi telah sampai di pangkal lidahnya.

            “Siapa kau?” ucap Ryuma dengan nada bergetar.

            Wanita itu tak menjawab, dia hanya tersenyum manis lalu duduk di samping Ryuma. Ryuma merasakan kehangatan yang membuat pikirannya kembali terbang ke masa lalunya. Pada musim panas saat dia bersama kedua orang tuanya menikmati liburan ke pantai sambil menikmati sebuah semangka.

            Dalam pikiran Ryuma, kedua orang tuanya tersenyum. Diawali sang ibu yang berbalik dan berjalan menjauh meninggalkannya, lalu diikuti sang ayah. Ryuma menatap punggung lesu ayahnya lekat-lekat. Ingin dia memeluk punggung itu sekali lagi. Mengucapkan permintaan maaf karena telah pergi meninggalkannya seorang diri dalam sepi. Kedua orang tuanya lalu menoleh, melemparkan senyum hangat sebelum kembali melangkah pergi. Semakin lama semakin mengecil, lalu menghilang sama sekali.

            Waktu kembali berputar di sekitar Ryuma. Dia terisak dalam dekapan wanita berkimono merah itu. Wanita itu membelai rambut Ryuma seperti seorang ibu membelai rambut anaknya. Dia tersenyum. Kedua taringnya menyembul. Sepasang telinga rubah muncul dari sela-sela rambutnya. Sembilan ekor berwarna emas muncul dari pinggulnya.

            Cahaya bulan purnama menerobos dari sela-sela ranting dan daun. Menyinari mata wanita itu yang berubah jingga dengan pupil hitam yang meruncing. Wanita yang memiliki sembilan ekor itu menyeringai. Air liurnya menetes tak tertahan.

            “Itadakimasu[4].

 Jember, 29 Agustus 2023


[1] apartemen

[2] Mati kesepian

[3] Toko serba ada

[4] Selamat makan

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<