Judul               : Gadis Minimarket
Penulis             : Sayaka Murata
Alih bahasa     : Ninuk Sulistyawati
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 160 halaman
Cetakan           : Pertama, 2020

Hidup seringkali menawarkan ragam kemungkinan. Meminjam ungkapan dari penulis-penulis Indonesia: bisa sederhana namun yang hebat itu tafsirannya. Bisa brengsek dan kita dipaksa menikmatinya. Bisa pula indah dan itulah yang mungkin Keiko punya. Gadis Minimarket karangan Sayaka Murata ini semacam novel slice of life. Sebuah cerita yang dekat dengan irisan kehidupan lewat penggambaran tokoh serta permasalahannya. Kisah-kisah berbasis mimesis.

Lalu apa yang bisa kita pahami dari realitas itu sendiri? Apa yang menarik dari kehidupan ini? di mana standar kehidupan ideal hadir dari algoritma dan filter bubble. Ruang di mana pandangan terhadap nilai, norma dan indikator kesuksesan dijejali lewat unggahan-unggahan dan standar yang diciptakan oleh orang lain.

Saat saya masih SMA, orang-orang yang punya pengalaman hidup lebih banyak—karena ia terlahir di dunia duluan—kerap menceritakan bagaimana cara mencapai kesuksesan. Namun terkadang mereka lupa untuk membagikan juga kiat-kiat dan pengalaman menghadapi kegagalan. Bagaimana cara agar kita bangkit dari patah hati dan bagaimana menghadapi kondisi ekonomi yang tak menentu.

Pada suatu momen, salah seorang pejabat negara menawarkan solusi yang ajaib terhadap kemiskinan, yaitu fatwa pernikahan lintas kelas. Menurutnya jika yang kaya menikahi yang miskin, maka kelak kehidupan yang miskin akan lebih baik dari segi ekonomi. Sebuah pernyataan yang lahir dengan tujuan untuk menyederhanakan masalah, namun dapat menimbulkan persoalan baru. Mulai dari penyesuaian kebiasaan dan gaya hidup karena secara ekonomi ada gap yang lebar. Dan yang menjadi pertanyaan: apakah untuk urusan privat kita perlu didikte sedemikian rupa? Padahal kemiskinan itu ada karena permasalahan sistem dan bersifat struktural.

Adanya jurang dan demarkasi kaya dan miskin karena si miskin ini tidak diberikan akses yang memadai untuk mencapai ke sana. Untuk mendapatkan distribusi pengetahuan yang merata dan harga jual barang yang berbeda di satu pulau dan pulau lainnya adalah sebuah masalah tersendiri. Ditambah dengan lingkaran oligarki yang menguat, menjadikan si miskin makin jauh dari panggang api yaitu kesejahteraan. Hingga muncul cuitan warganet yang sarkastik kurang lebih bunyinya begini: kalau orang kaya besanan dengan orang kaya, maka hutan di Kalimantan tinggal menunggu waktu untuk digunduli dan kerajaan Sawit mendominasi.

Membincang Standar Hidup Ideal

Tak salah bila seseorang memiliki cita-cita tinggi dan daftar pencapaian yang kelak bisa dibanggakan. Tak salah pula bisa seseorang boro-boro mikir cita-cita bila bisa bertahan hidup untuk hari ini saja adalah suatu pencapaian yang gemilang.

Kacamata-kacamata itu, penilaian-penilaian itu lahir dari konstruksi sosial. Dari realitas masyarakat dan kecenderungan laku menjalani hidup. Apa standar hidup yang ideal menurut kita? Pendidikan yang tinggi, karir yang bagus, menikah dengan cinta lalu beranak dan begitu sajakah siklus manusia? bolehkah keluar dari linimasa itu dan menjadi liyan?

Bagaimana bila itu semua belum tercapai di usia 36 tahun? Furukura Keiko di angka tersebut masih bekerja di toko swalayan. Bukan dengan jabatan tinggi macam manajer atau kepala toko. Ia hanya bekerja sambilan. Karirnya tidak berkembang, begitu menurut penghakiman masyarakat. Padahal ia bekerja di toko swalayan sudah mencapai 18 tahun lamanya atau ketika toko tersebut buka untuk pertama kalinya.

Bayangkan Keiko hidup di tengah-tengah kita, maka saya rasa Bu Tedjo akan hadir dengan lambe tak juntrungan dan glorifikasinya. Seperti pengandaian berikut ini, ketika Keiko bertemu dengan seorang lelaki toksik bernama Shiraha.

“Kenapa kau membiarkan laki-laki penganguran tinggal di apartemenmu? Tak masalah kalau suami istri bekerja, tapi kenapa kerja sambilan? Apa kau tak akan menikah? Tak akan punya anak? Kerja yang benar, penuhi peranmu sebagai orang dewasa… Dan mereka semua akan mencampuri hidupmu.”(hlm. 121).

Bagi sebagian tokoh-tokoh di novel ini, kemunculan Shiraha di kehidupan Keiko begitu absurd dan mengganggu. Bagaimana Shiraha diam-diam menguntit lalu memutuskan untuk bekerja di toko swalayan agar ia bisa dapat jodoh. Tapi niat tak berbanding lurus dengan hasil. Ia dikeluarkan dari pekerjaannya karena kerjanya terlambat terus serta tak becus.

Dari situlah cerita bergulir kembali dengan polah interaksi yang canggung. Keiko tidak menghakimi Shiraha yang pengangguran dan bisa hidup berdampingan meski terkadang harus menanggung biaya makannya. Percakapan-percakapan muncul dengan dibaluti “obsesi pengarang” atau suara Sayaka Murata menyaru di dalamnya.

“Menikah itu persoalan dokumen, terangsang adalah fenomena biologis.” (hlm. 93).

Keiko menjelaskan dengan hati-hati dan stipulatif. Meski pada dasarnya ia belum punya pengalaman seksual dan ia tak peduli dengan itu semua. Keiko merasa bahwa orang-orang punya asumsi kalau ia menderita karena belum punya pengalaman seksual di usia produktif (biologis) perempuan. Dan ia kesal akan hal itu.

Menurutku ketika ada sesuatu yang dianggap aneh, semua orang tanpa sungkan merasa berhak untuk ikut campur dan mereka berusaha mengungkap alasannya. Buatku itu menyusahkan, arogan, dan mengganggu. (hlm. 59).

Keiko merasa semua baik-baik saja kalau penghasilannya tak seberapa, kerjanya itu-itu saja, dan belum menikah. Kehadiran tokoh Shiraha di sini sebagai pemantul. Ia sebagai cermin masyarakat yang mengingatkan secara frontal tanpa takut Keiko tersinggung. Beberapa kali ia menasihati Keiko, meski pada dasarnya karakter Shiraha itu invalid dan ia tahu semua konsekuensinya.

Dengar, manusia yang tak punya manfaat bagi desa tak akan punya privasi. Bagaimanapun semua orang akan ikut campur. Pilihannya melahirkan anak, atau pergi berburu dan menghasilkan uang. Dan kalau kalau kau tak bisa berkontribusi pada desa maka akan dianggap sesat.” (hlm. 105).

Anggapan-anggapan itu hadir ketika kita hidup di tengah masyarakat dengan solidaritas mekanis. Bahwa apa-apa yang normal dan tak normal buah dari interaksi dan tradisi. Keiko dianggap tak normal karena ia bekerja sebagai karyawan biasa dengan jangka waktu yang lama. Ia representasi liyan atau yang lain karena gambaran dunia di dalamnya adalah relasi tuan dan majikan. Meski begitu Keiko sebenarnya tidak merasa itu sebagai hal yang memalukan dan patut dipertanyakan. Baginya hidup bukan balapan dan ia merasa berada di jalan yang benar.

Kalau Seno Gumira pernah berkata alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, lalu bagaimana dengan Keiko yang merasa menjadi binatang penuh arti dan menemukan kedamaiannya dengan itu semua?