Fenomena daring sekarang ini memang benar mengubah etiket kita dalam berbagai macam hal, termasuk dalam seni pertunjukan, terutama tari. Jika selama ini presentasi tari ditampilkan di panggung, ruang kesenian, ruang publik, ataupun ruang-ruang lainnya secara langsung dan fana, maka semuanya itu berubah.

Saat ini presentasi tari disajikan secara daring menggunakan moda komunikasi internet. Ia bisa dilakukan oleh siapa pun, dimana pun, dan dalam berbagai bentuk jenis, genre, dan gaya tari. Presentasi tari secara daring ini menerabas segala batas yang selama ini melekat dalam tari, baik secara teknik sajian, estetika, simbolisme, hingga medium yang digunakan.

Hal ini membuka pemahaman bahwa jika selama ini kita memahami tari sebagai presentasi tubuh yang bergerak, sebenarnya tubuh tari (sebagai realitas panggung) adalah sebuah refleksi virtualitas yang tidak sesederhana realitasnya, yaitu badan. Ia merupakan medan kompleks representasi gerak, imaji, kreasi, serta kontekstualisasi ekspresi. Tubuh tari memiliki arti sebagai anatomi, artikulasi, ataupun ideologi sekaligus.

Bio-Sphere

Sebelumnya kita mengenal tubuh tari tradisi, seperti Tari Piring (Minang), Dinggu (Sulawesi Tenggara), atau Seblang (Banyuwangi), yang mengandung spirit ritual akan harmonisasi hubungan manusia dengan alam. Tari menjadi tubuh yang mengalirkan gerak dan menerima energi dari ambience ruang tempatnya berada (konteks). Tubuh tari menjadi bio-sphere, sebuah ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, sebuah konstruksi sosial dan kultural.

Bio-sphere tari lalu mengalami perkembangan. Lewat politik etnis yang dijalankan pemerintah kolonial, yang membagi struktur sosial antara orang Eropa, pribumi, dan masyarakat Asia lainnya di Indonesia secara hirarkis, tubuh-tradisi menjadi “tubuh-kolonial”. Seusai penjajahan, tubuh-kolonial itu terus berlangsung menjadi “tubuh-dunia-ketiga” dalam desain modernisme Barat pasca-perang dunia. Modernisasi tidak hanya menghasilkan tubuh-kontemporer, melainkan juga memunculkan konstruksi “salonisasi tradisi”: tubuh-gado-gado sebagai campuran antara tubuh tradisi dan modern (Malna, 2010).

Tari juga menjadi bagian politis yang menetapkan diri sebagai sebuah identitas akan keberadaan sebuah negara baru, dengan munculnya Bagong Kussudiardja melalui konsep Nusantara dalam komposisi koreografinya. Kemudian tubuh tari Sardono W Kusumo, Gusmiati Suid, Deddy Luthan, bergulat dengan tema permasalahan konflik sosial antara manusia dengan alam, dilanjutkan Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Fitri Setyaningsih, dengan tema tubuh material dalam masyarakat modern, dan lainnya (Budiati, 2009). Di sisi lain, tubuh tari dikonfigurasi ulang secara aktif oleh negara dalam proses ”pertukaran kebudayaan” dan pariwisata negara yang membentuk politik identitas. Kategorisasi tari berada dalam pendekatan global yang mematerialkan kebudayaan.

Cyber-Sphere

Pada saat yang sama, perubahan merasuki berbagai sendi kehidupan, mengubah berbagai pola hubungan, termasuk tari sebagai sebuah komunikasi seni. Seiring berkembangnya teknologi, seturut Sparks (2001), komputerisasi telekomunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi moda komunikasi konvensional, dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan kehidupan empiris sosial dan alam, dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk, maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) melahirkan suatu format masyarakat lainnya.

Masyarakat siber(cyber-society) yang terbentuk dalam kenyataan virtual ini membentuk ruang siber(cyber-space) sebagai ajang yang memungkinkan adanya hubungan antarmanusia, sebagai arena terbuka dan demokratis. Sebagai warga dari masyarakat siber, manusia Indonesia menjadi warga masyarakat virtual yang didefinisikan secara teknologis (Ashadi Siregar, 2009). Inilah yang menjadi konteks kekinian manusia Indonesia.

Seperti saat ini ketika presentasi tari bisa disajikan secara daring. Ia bisa dilakukan oleh siapa pun, dimana pun, dan dalam berbagai bentuk jenis, genre, dan gaya tari, menerabas segala batas yang selama ini melekat dalam tari, baik secara teknik sajian, estetika, simbolisme, hingga medium yang digunakan. Teknologi mengubah konfigurasi masyarakat mulai dari masyarakat agraris, industrial, sampai ke masyarakat informasi. Dalam konteks tari, logika ini digunakan untuk menunjukkan perkembangan sosio-artistik masyarakat tari dari bio-sphere menuju ke cyber-sphere.

Positifnya, jika dulu tari, baik penari maupun konteks tariannya, menjadi bagian dari tradisi/ritual dengan berbagai prasyarat untuk memenuhinya, kini semuanya menjadi terbuka. Sebelumnya, tari memperoleh porsi khusus dalam konteks komunal, tapi kini tari hadir dalam skala global, menjadi milik semua orang. Jika sebelumnya untuk menjadi seorang penari harus mengalami sebuah proses teknis, estetis, dan juga akademis, kini semua orang bisa menjadi penari, menampilkan karyanya, berdialog dengan semakin banyak orang, termasuk direspons oleh seniman terkenal, atau bahkan bisa berkolaborasi dengannya.

Tapi, jika dulu penonton hadir untuk menyaksikan praktik keindraan dan ketubuhan serta menjadi bagian dari sebuah peristiwa tari, kini penonton menjadi pihak yang berjarak, tak bisa melihat satu sama lain karena terbatasi oleh berbagai perangkat teknologi (layar laptop/gawai, sinyal, kuota, dan lainnya). Komunikasi yang berlangsung pada sebuah peristiwa seni dalam bentuk percakapan rasa dan suasana pun menjadi kabur, jika tidak bisa dibilang lenyap. Chemistry antara penonton dan penari serta makna dari konteks kehadiran tari menjadi terdegradasi oleh kemampuan digital untuk mengulang, mengedit, hingga menduplikasi peristiwa seni. Seni menjadi peristiwa yang electronized, banal, dan tidak lagi manusiawi.

Ini tantangan presentasi seni tari dalam cyber sphere, sajian dimana tubuh-tubuh tari berada dalam ruang siber, ruang bebas makna, dan bebas ruang waktu. Untuk itu, para seniman tari perlu menghadirkan kecerdasan tubuhnya sebagai tubuh digital: tubuh yang merespons dan memanfaatkan teknologi sebagai bagian artikulasi dan kehadirannya sebagai ruang pewacanaan serta pemaknaan tubuh tari yang lebih masif dalam dunia digital.

Oleh karenanya, kita membutuhkan imajinasi budaya untuk menumbuhkan daya adaptasi dan kreasi ekspresi serta moda yang dibutuhkan dalam berekspresi. Selama ini kita terbiasa berpikir tentang budaya yang terkait dengan masa lalu, dengan konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu. Tetapi, budaya juga memiliki wajah yang mengarah ke masa depan: kebudayaan yang maju, terwujud dari penemuan prospektif. Bentuknya bisa saja berbeda dari yang selama ini kita kenal melalui proses transmisi budaya.

Semisal penciptaan banyak ruang virtual yang menjadi moda interaksi antarpelaku seni pertunjukan menuntut seniman kerap berada di depan layar peralatan komunikasi untuk membuat kreasi konten karya. Untuk itu, selain ketersediaan dan pemerataan akses internet melalui transmisi koneksi atau jaringan komunikasi lokal, bekal literasi digital bagi masyarakat juga diperlukan. Hal ini l patut didukung dengan media digital publik yang memberi ruang makin luas pada seni pertunjukan dan kebudayaan melalui program-program acaranya.

Terutama adalah terus menggulirkan wacana tentang dampak seni bagi masyarakat, yakni bagaimana praktik seni bisa menjaga kelangsungan dan mendorong kohesi sosial. Pandemi ini memberi ruang dan waktu bagi kita untuk melakukan hibernasi, juga sebagai ruang kreasi. Pandemi ini sebenarnya mengajarkan kita untuk bersikap elastis dalam menghadapi masalah dengan cara lebih lentur, termasuk di antaranya memanfaatkan teknologi untuk bicara apa saja dan atau untuk berbagi nilai – sesuatu yang barang kali belum kita optimalkan sebelumnya. Termasuk dalam seni pertunjukan, khususnya tari.