KURUNGBUKA.com – (02/04/2024) Pada saat menjadi pembaca buku dan penggemar untuk pengarang, kita membayangkan lakon hidup yang unik atau istimewa. Pengarang semestinya hidup tidak seperti orang biasa. Dirinya yang mempersembahkan cerita-cerita dibayangkan mengalami hidup sehari-hari yang dipenuhi keistiwewaan atau ketakjuban.

Pembayangan kita bisa meleset, tidak semuanya. Pengarang kadang memang membuat kita makin kagum saat dirinya mengatakan bahwa “pekerjaan menulis sebagai panggilan hidup seperti orang terpanggil untuk kehidupan dan kewajiban agama.” Pengakuan menuntut amalan.

Kita ikuti penjelasan Carmel Bird mengenai para penulis yang memenuhi panggilan hidup: “… dedikasi mereka untuk menulis yang mengatur hidup mereka, dan mereka bertentangan dengan akal sehat.” Sosok-sosok istimewa yang mungkin diharuskan membuat keputusan setiap hari untuk mengurusi diri yang menulis atau melakukan kesibukan-kesibukan atas nama kerja dan tuntutan keluarga.

Keputusannya yang menentukan “panggilan”. Akibat-akibat yang diterima kadang mengecewakan dan menyedihkan. Ia yang memilih menulis dan “meninggalkan” kesibukan atau kewajiban lain menerima kutukan dan hukumannya.

Yang mengikuti panggilan hidup mengaku “menimbulkan hasrat dan keyakinan.” Di kehidupan sehari-hari, “panggilan” itu bisa menimbulkan masalah bila penulis dalam saat berbarengan harus memilih peristiwa-peristiwa dikehendaki atau dihindari. Yang terus dengan panggilan: “Sebentar lagi dirimu akan menjadi tidak populer di antara keluarga dan teman. Ada saja yang bisa menjadi penulis cerita sembari dikelilingi tangisan bayi, penyedot debu, dan lain-lain.”

Di situ, masalah terbesar adalah keseriusan dan dedikasi dalam menjadikan diri sebagai penulis. Kemampuan mengatasi dilema.

(Carmel Bird, 2001, Menulis dengan Emosi: Panduan Empatik Mengarang Fiksi, Kaifa)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<