DI WAJAH MUARA

Aku hanya ingin bicara pada muara ini
tempat sungai dan laut berpeluk
bendera warna-warni berkibar di kapal-kapal
beku oleh sejarah yang batu
di sana rindu sembunyi
lalu karam bersama waktu yang menua dan berkarat

Aku tidak pergi untuk dicari
aku tidak menangis untuk bersedih
di wajah muara ini
aku bicara pada cermin di permukaan sungai
tanpa pernah berbisik siapa yang hatinya patah
berkali-kali karena cinta

Di muara ini
seperti lumpur sungai dan pasir pantai yang mengendap
menyuruk pula cerita kita yang likat dan asin
lalu berhenti di hilir
dekat pohon kelapa yang condong ke utara
aku tak lagi bisa bicara

Jika inilah hilir kita
biarkan aku menjadi jembatan
tempat segala kenangan rehat
dan kau akan datang sekali waktu
untuk bicara di wajah muara ini
tempatku kini berdiam

| Agustus 2020

*

SEPASANG KUNANG-KUNANG

Dari sepasang kunang-kunang yang bersedih aku lahir
di awal pagi yang gelap dan penuh peluh
sejak semadi di rahim ibu yang kehilangan restu
sebab tetiba aku tumbuh dan ia disebut jalang
kurebut masa muda, habis oleh tangis dan hina dina

Dari sepasang kunang-kunang
aku mengenal cahaya, terang dan penuh
tak padam oleh angin barat atau timur
yang mengetuk pintu rumah
di waktu hujan maupun kemarau

Dari sepasang kunang-kunang aku mengepak sayap
terbang ke ranting pohon
lalu bertemu daun kuning yang hampir jatuh
ia bicara, “kunang-kunang akan mati ditikam pasangannya sendiri
cahayanya akan lindap dan gelap
kau akan sendiri menjadi sebatang kara yang sepi.”

| Agustus 2020

*

ZIARAH

Ziarahku adalah nisan kayu tanpa nama
yang telah belasan purnama berdiam di tubuh makam
sepi dan nyeri, ada daging dan darah ibu
rebah dalam bisu
rumput liar dan kemangi, tumbuh subur tanpa diminta
di sisinya kembang kamboja kuning muda tersenyum
sebagai penghibur perempuan muda yang masih menangis
di tiap gerimis, meski gerimis tabah dan tersenyum
masuk ke ratak tanah
melahirkan wangi basah yang sejuk
seperti senyuman ibu

Tapi ziarahmu adalah jarak yang kau tempuh
dengan suka cita
di jumat muharram yang panas dan ringkih
dengan seorang bermata sembap habis merengek
seperti anak kecil dilarang bermain
lalu kau tertawa-tawa di atas makam seorang yang tak pernah kau kenal
tak ada jasa apa-apa dalam hidupmu
hanya secuil cerita dari mulutnya yang madu
kau duduk, seperti semadi tapi hatimu membiru
ingat kuburan ibu
nisan kayu tanpa nama tak pernah kau lawat
walau satu purnama sejengkal jarak
makam seperti tak terlihat

| September 2020

*

SORE, ASAP DAN LANGIT SEJARAH

Apa yang kau lihat dari sore
dengan angin  wangi kematian
di tanah kubur gersang
bukan hanya jajaran tinggi
dan kesiur pohon kelapa

Apa yang tersisa dari langit sejarah
jika segala kisah telah kau larung ke samudera
membusuk di daratan antah berantah


Apakah yang tersisa dari dongeng kita
jika kau memilih menamatkannya
sebelum pernah tahu di mana hilirnya
mungkin memang seharusnya segala habis
agar tak perlu lagi kulawat namamu lewat doa tengah malam

| September 2020