Ini adalah hari Minggu. Langit masih remang dan udara terasa dingin, tetapi Lik Kardi sudah mengetuk pintu rumahku keras-keras dan menyerukan nama Bapak berkali-kali. Ketika pintu dibuka oleh Ibu, tampak seorang lelaki bertubuh kerempeng. Wajahnya pucat dengan napas tersengal-sengal. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seperti tidak mau keluar. Keringat membasahi bagian punggung bajunya, ia pasti telah berjalan sangat jauh hingga bisa sampai ke sini.

“Rugi kita! Rugi!”

“Rugi apanya?” tanya Bapak.

“Semua yang di sawah amblas! Hilang!”

Seekor ayam jantan berkokok. Cakrawala memerah. Tanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Lik Kardi, Bapak mengambil motor, menyuruh saudaranya itu lekas naik ke boncengan. Di kejauhan tampak sekelompok buruh tani telah berkerumun di sebuah gubuk kecil pinggir sawah. Terdengar keributan dari sana. Ratapan dan makian berhamburan.

Tatapannya kosong saat melihat tumbuhan ubi jalar di setengah lahan sawah miliknya tidak tersisa. Padahal, menurut hitungannya, kurang lebih dua pekan lagi mereka sudah siap dipanen. Sayangnya, kini yang tersisa hanya batang-batang yang patah dan daun-daun yang berceceran. Kemudian Bapak bersandar di tiang gubuk, lesu. Tidak terasa matanya berkaca-kaca.

Memang, di musim paceklik seperti ini tidak banyak yang bisa dilakukan para petani. Curah hujan sedang buruk. Menanam ubi jalar adalah salah satu upaya untuk bertahan hidup.

“Ini pasti ulah Ginto, preman itu, dan anak buahnya. Aku yakin mereka disuruh orang untuk merusak panen kita, agar harganya merosot!” suara Pak Suroso berang.

“Tapi belum ada buktinya. Kita tidak bisa main hakim sendiri.”

“Sudahlah, kita hajar saja langsung!”

“Tunggu. Kupikir ini bukan ulah manusia. Tak mungkin mereka melakukannya hanya dalam waktu yang cepat dan menjadikan beberapa petak sawah bersihseperti ini.”

Orang-orang terkesiap. Pernyataan itu membuat suasana hening.

“Lantas siapa?”

“Hanya gerombolan hewan berangasan yang merusak sawah dalam sekejap,” celetuk seseorang.

Tiba-tiba seperti ada api di dada Bapak.

“Celeng!” suara Bapak mengejutkan yang lain. “Ya, tidak salah lagi. Sawah kita pasti diserang oleh gerombolan babi hutan!” Bapak menggeram. “Lihat! Tak ada yang bisa mengobrak-abrik sampai seperti ini, kecuali mereka. Batang-batang pohon ubi jalar juga ikut rusak,” lanjutnya sambil memungut salah satu patahan ubi jalar, kemudian diarahkannya ke semua orang. Para buruh tani tertegun mendengar penjelasan Bapak.

“Jerat dan tembak habis mereka!”

“Tapi bukankah kita sudah pernah memburu mereka beberapa tahun lalu?”

Keraguan muncul di sela-sela perdebatan.

Memang benar, pembantaian kawanan itu hampir delapan tahun berlalu. Saat itu yang rusak hanya petak-petak yang bersisian dengan hutan. Namun, yang melekat di kepala warga desa adalah keluarnya seorang buruh tani dari hutan dengan sepasang kaki bersimbah darah akibat perburuan. Segera saja pembalasan dilakukan atas tindakan gerombolan itu.

“Lebih baik mencegahnya sebelum mereka merusak lahan yang tersisa. Buru mereka hari ini juga!”

Pendapat laki-laki bertubuh gempal itu segera disambut anggukan semua orang. Ya, Bapak memang salah satu orang yang paling berpengaruh di desa. Setengah sawah di desa ini adalah petak-petak miliknya. Hampir seluruh penduduk desa merasa segan kepadanya. Hal itu lantaran mereka sering meminta pinjaman uang kepadanya tanpa harus membayar bunga. Selain itu ia juga sering memberikan bantuan kepada janda-janda dan kaum duafa.

Aku tak pernah melihat Bapak semarah kali ini. Siapa pun yang merusak sawah telah berurusan dengan pihak yang salah. Sebab, selain petani, Bapak dan teman-temannya adalah pemburu ulung. Rombongan petani itu tidak akan segan-segan membunuh hewan-hewan di dalam hutan.

***

Hutan itu terletak di kaki gunung seberang desa. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa nama gunung itu. Hanya saja orang-orang sering menyebutnya dengan Gunung Geger, karena bentuknya jika dilihat dari jauh, mirip punggung. Beberapa orang mempersenjatai diri dengan senapan, sementara sisanya membawa celurit dan parang. Mereka bergerak dengan hati-hati. Sudah pasti ada perasaan was-was di setiap langkah. Pasalnya, tempat itu dipercaya angker dan bertuah. Kata Bapak, hutan itu kerap dijadikan tempat untuk bunuh diri orang-orang desa yang hilang akal, gadis desa yang hamil di luar nikah, atau orang yang terbelit utang dan tak sanggup membayar, misalnya.

Gunung itu juga sering dijadikan tempat pesugihan dan memperlancar rezeki. Tidak sedikit yang melakukan tirakat di sana. Kabarnya, ketika Magrib mulai turun sering terdengar teriakan-teriakan dan tangis bayi yang menyayat hati. Hewan-hewan yang mendiami hutan juga diyakini adalah jelmaan anak-anak yang ditumbalkan dan menjadi penunggu gunung itu selamanya.

Bapak adalah salah seorang yang percaya hutan di kaki Gunung Geger adalah ambang batas dunia manusia dan dunia gaib. Sebab di sana santer terdengar ada dua pohon besar yang merupakan tiang dari pintu kerajaan jin. Banyak yang memercayai jika ada orang yang bisa menemukannya, mereka akan terhindar dari kesulitan ekonomi hingga tujuh turunan, atau bila beruntung mereka akan mendapatkan benda pusaka. Oleh karena itu, orang-orang kota yang menginginkan kekayaan berlimpah tanpa harus susah payah bekerja juga kerap ke sana.

Seminggu yang lalu aku diajak ke sana, ke tempat Bapak dan Ibu tirakat. Aku diminta untuk membawa sesembahan berupa sekeranjang buah-buahan segar. Sesembahan itu harus diletakkan di bawah pohon jati. Bapak dan Ibu sering melakukan tirakat untuk kebaikan dan kelancaran urusan. Selain buah-buahan, Bapak juga membawa tumpeng dan panggang ayam lengkap dengan ubo rampe yang telah disiapkan dari rumah. “Para petani harus menghormati penunggu hutan,” katanya, “jika mau mendapatkan hasil panen yang berlimpah.” Kemudian ditelungkupkannya kedua tangan di dada sembari merapal doa. Aku pun mengikutinya.

***

Subuh makin menjauh ketika orang-orang memasuki hutan, tetapi di dalam benar-benar gulita. Lengkingan suara monyet-monyet menambah kengerian, seolah isyarat selamat datang untuk sebuah petualangan. Guna mengusir rasa takut beberapa orang mencawiskan doa-doa. Udara semakin rendah. Satu dua orang hanya bisa menelan ludah.

            Perburuan ini sepertinya sulit, tetapi bagi orang-orang seperti Bapak, bukanlah sebuah masalah untuk menemukan tempat gerombolan celeng itu bersembunyi. Mereka hafal jalan setapak di dalam hutan. Kini mereka semakin lama semakin masuk. Redup. Di tengah hutan, Bapak dan kelompoknya menemukan celeng-celeng yang sedang berkerumun. Segera mereka mengepung tempat itu, dari balik pohon seseorang siap membidik. Si penembak menunggu aba-aba. Sisanya bersiap untuk menjerat.

Dorr!

Peluru itu tepat bersarang di kepala seekor celeng besar berwana hitam, ia tumbang. Seketika puluhan celeng lainnya lari tunggang langgang, tetapi Bapak dan kelompoknya telah bersiap. Orang-orang kesetanan, mereka tebas segala yang melintas. Dalam sekejap beberapa babi hutan jatuh, terkapar. Mati. Darah segar mengucur di setiap ujung parang. Celeng-celeng indukan melawan, berusaha menyeruduk, tetapi senapan dan ayunan parang bukan tandingan mamalia itu, tentu saja.

Orang-orang tak mau ada seekor celeng pun yang luput. Meskipun gerombolan celeng menghambur dan berlari dengan sangat cepat, tembakan dan tebasan para petani itu juga tak kalah cepat. Seekor celeng anakan berusaha kabur dari sorak-sorai. Seseorang menembaknya, tepat di mulut, tetapi ia masih saja berlari. Ia menuju Bapak. Tiba-tiba sebuah perasaan getir menghampiri, Bapak seperti tidak asing dengan sorot mata celeng anakan itu. Namun, sebagai pemimpin kelompok tani, ia tidak kalah buasnya, dengan sekali bacokan celurit kepala celeng anakan itu putus dari badan.

Kelompok itu telah membantai kawanan celeng dengan beringas. Tak sedikit pun ada rasa belas kasihan di antara mereka. Celeng-celeng yang terhuyung ditembak habis pula. Warna merah di mana-mana. Amarah disalurkan sejadi-jadinya. Seperti yang direncanakan, yang berusaha kabur juga dicegat, dijerat, dan disikat. Isi perut kawanan hewan itu terburai.

Orang-orang bersorak dengan puas, seolah menunjukkan kepada hutan siapa penguasa sesungguhnya. Peristiwa bengis itu menjadi tonggak: tak akan ada lagi yang berani berurusan dengan para petani. Reputasi mereka telah teruji. Hewan buruan semakin habis—setidaknya sebagaimana mereka yakini, itu menandakan tugas telah selesai.

Mereka pun pulang. Musim kemarau membuat embusan angin tak begitu terasa. Terik matahari telah menyambut kelompok tani itu. Panas bangat menyengat jangat. Mereka telah bekerja keras hingga peluh bercucuran di sekujur tubuh. Namun, rasa lelah yang ada tergantikan dengan tawa. Beberapa menit setelah keluar hutan, Lik Kardi mendekati Bapak yang berjalan di barisan paling belakang.

“Bagaimana jika ternyata yang merusak sawah bukan hewan-hewan itu?”

“Lihatlah ke sana,” Bapak menunjuk tumbuhan ubi jalar yang tersisa di petak-petak sawah. “Kita tidak punya alasan masuk akal untuk mempertahankannya, selain membunuh mereka bukan?” ujarnya. Lalu ia membuang pandangan ke hamparan miliknya.

Lik Kardi hanya menggelengkan kepala seraya menatap punggung Bapak. Kemudian ia melangkahkan kaki keluar barisan. Entah mengapa Lik Kardi yakin, setelah kejadian ini, bencana akan datang dan tidak banyak yang bisa dilakukan. Sambil mendesah ia berkata pada diri sendiri, “Aku sungguh tak percaya.”

***

Sore hari. Matahari pun lingsir. Petang menghantam petak-petak sawah, sementara pematang menyisakan gelap petualangan. Cerita itu tidak henti-hentinya dikupas dari pangkal hingga ke ujungnya. Orang-orang suka mengoplosnya dengan bualan. Pergunjingan menjadikan cerita tentang keberanian kelompok tani yang dipimpin Bapak itu segera beredar, meluas hingga ke desa sebelah.

Di sela-sela gelap jalanan dan bermacam-macam kesalahan, salah seorang buruh tani dengan mengenakan kaos oblong dan celana jin yang dipotong selutut menuju rumahku. Ia berjalan tergesa-gesa, kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam berkali-kali. Dia tampak gelisah. Laki-laki paruh baya itu membawa berita buruk. Kini tidak ada lagi ubi jalar yang tersisa, katanya. Bukan hanya milik Bapak. Petak-petak para petani lain pun juga ikut ludes.

Bapak terdiam. Dadanya kosong. Pikirannya berantakan. Pandangannya menerawang ke langit. Ia mendengar dengan jelas suara anak kecil menangis sesenggukan. Seekor burung gagak melayang-layang kemudian hinggap di atap rumah. Laki-laki itu ingat celeng anakan yang ia tebas. Beberapa belas detik setelahnya Bapak tersadar, ia telah membunuhku untuk kedua kali hanya untuk memuaskan hasratnya.[]