Judul : Setan yang Menjelma Menjadi Agar-agar
Penulis : Ugo Untoro
Penerbit : Nyala
Cetakan : Cetakan Pertama, November 2018
Tebal : 154 hlm
ISBN : 978-602-52504-1-5
Dalam pameran bertajuk Melupa di Ark Galerie, Yogyakarta tahun 2013, perupa Ugo Untoro menerakan kata dan cerita sebagai daya utama penjelajahan estetik. Kata dan cerita merupa sebagai transformasi dari ide ke wujud visual juga kritik sosial di berbagai macam material. Nampaknya laku kreatif Ugo mengikhtisarkan sebuah sikap, bahwa ada kesejajaran proses antara menghasilkan lukisan dan tulisan.
Lima tahun berselang, tulisan-tulisan bagian dari karya seni rupa Ugo Untoro di pameran Melupa, dihimpun ulang dalam buku berjudul Setan yang Menjelma Menjadi Agar-Agar. Ibarat pulau yang memisahkan diri dari benuanya, perbedaan signifikan segera nampak. Tujuh belas tulisan kini disatukan dalam keseragaman media, yakni lembaran kertas berukuran 12 x 19 cm.
Sedang jejak awal tulisan tertera pada berbagai macam material beraneka ukuran di antaranya kanvas, tripleks, rokok dan bungkusnya, meteran, serta pada lakban. Tulisan berjudul “akhirnya anjing” (2012-203) misalnya semula bermedia acrylic on canvas 250 x 180 cm, “palu dan Telepon” (2013) bermedia Iron stamp on canvas 140 x 100 cm, atau “Minus” (2013) bermedia marker on woodboard 50 x 50 x 6 cm.
Prosa Ugo
Sebelum beranjak membicarakan isi, konteks penerbitan buku ini selayaknyalah diketahui. Taufan Akbar, penggagas penerbitan buku ini sekaligus penulis kata pengantar “Akhirnya Ugo” memandang buku dan rupa tak dapat dipisahkan. Tulisan Ugo yang mulanya ditulis tangan tanpa peduli terbaca atau tidak —ada yang ditata rapat mengisi seperenam bidang kanvas atau sebaliknya berhamburan memenuhi kanvas, diketik ulang tanpa proses editing sesuai karya awal. Tujuannya: “mencoba mempertahankan cara Ugo melukis agar pembaca tidak terlampau jauh kehilangan gagasan karyanya” (hal. 6).
Tulisan-tulisan yang dibuat secara spontan dan ekspresif oleh Ugo memang tetap bisa dirasakan kembali saat membaca buku ini. Ada tulisan dalam tatanan larik-larik dicorat-coret, salah tulis, pemenggalan dan penyingkatan kata dibiarkan apa adanya, atau sekujur teks disajikan dalam huruf kapital. Pembaca akan mendapati teks yang menampik kerapian teknik sekaligus tata aturan berbahasa resmi.
Dalam rupa buku, tulisan Ugo sejatinya telah menjadi dunia yang hidup mandiri. Kata-kata tak lagi bertumpuk dengan guratan garis dan pemilihan warna tertentu. Tulisan kini sepenuhnya meniti pada garis cerita, waktu naratif, kancah peristiwa rekaan yang berkelindan dengan para tokoh. Singkat kata seni rupa karya Ugo telah bermutasi sepenuhnya menjadi prosa.
Cerita-cerita bergerak mengungkai kancah peristiwa yang tak pernah luput dari ironi. Kisah dibuka dari keluarga perampok yang terpaksa hidup tersisih ditolak warga dalam “Akhirnya Anjing (hal 9-17). Ada pula sepuluh cerita mini dalam “Foto keluarga” (hal 92-102) yang berisi lintasan kenangan, kehidupan asmara pasangan sesama jenis sampai anekdot seorang bujang yang membayangkan memiliki anak-istri. Sedang dalam “Dinamit” (hal 29-47) pembaca akan mendapati bukit yang ditambang dengan cara diledakkan dan masyarakat setempat terdampak penderitaan.
Gaya penceritaan Ugo menonjolkan absurditas bernuansa satire hiperbolik yang dipenuhi ironi kadang pula sarkasme. “Setan yang Menjelma Agar-agar” menyajikan cerita seorang perempuan bernama Turwina yang memutuskan pulang kampung berjalan kaki. Pokok masalah, keluarga Turwina di desa jatuh miskin demi membiayainya sekolah kedokteran di kota. Alur bergerak di antara penjelasan narator dan ingatan warga desa. Deskripsi latar di antara desa yang rukun nan tenteram. Sedang kota metafor hilangnya sisi-sisi kemanusiaan. Simak kutipan ini:
“Dari dulu ia mengingatkan warganya, bahwa dunia di luar sana tidak cocok buat warga desanya. Di luar sana kau bahkan tidak bisa meminjam korek, tidak boleh banyak tanya pada tetangga sebelah, andai sekarang di jalan pun, orang2 akan berlalu saja, jarum yang berjalan terus, lebih penting… (hal. 19).
Tulisan Ugo yang lain, berkecenderungan menjadi “puisi konkret”. Pembubuhan teks di atas halaman kertas tidak melupakan penampakan visual berpola tertentu. “Palu dan Telepon” (hal 89) berisi tulisan singkat “aKU hamIL” atau “Menjelang Petang Angin Berhenti Di Mana-mana” (hal 117) direpetisi sebagai isi dengan perbedaan penggunaan huruf kapital tebal. Teks yang disajikan lebih visual ini mungkin untuk menekankan citraan kata agar menciptakan pembayangan dan asosiasi tertentu, atau semata menekankan memori puitis.
Dunia Imajiner
Dalam jagat seni rupa di Indonesia, Ugo Untoro memang bukan satu-satunya perupa yang melakukan penjelajahan estetik lewat kata-kata. Kanonikal figur seni rupa indonesia, S. Sudjojono juga kerap menerakan tulisan dalam lukisannya. Kecenderungan ini nampak misalnya pada lukisan “Kawan-Kawan Revolusi” (1947) atau “Maka Lahirlah Angkatan 66” (1966).
Tulisan bagian dari lukisan Sudjojono dinilai Aminudin T.H. Siregar dalam esai “S. Sudjono dan Kronik Lukisannya dalam Sejarah” (terkumpul di Melacak Lukisan Palsu. 2018) memiliki ciri tertentu. Gaya ekspresinya bergaya puitis, akrab-bersahaja, jenaka, mengikuti tata aturan berbahasa resmi, tetapi juga pekat dengan nuansa dan metafora.
Hanya saja, bagi saya, tulisan dalam lukisan Sudjojono semata untuk menekankan pendapat, kesan dan tanggapan. Sudjonono pun pernah mengakui, pembubuhan catatan di lukisannya agar karyanya lebih informatif. Tulisan di atas kanvas Sudjonono, berarti tak mewakili daya ekpresi utama yang sepenuhnya merupa sebagai transformasi ide ke wujud visual.
Penjelajahan estetik Ugo Untoro, saya kira lebih mendekati kesejajaran ekspresi dengan perupa Made Wianta yang telah menerbitkan Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York (Bentang. 2003). Buku tersebut berisi himpunan puisi dari pengalaman puitik di sembarang media entah di selembar tiket pesawat, tisu, robekan koran, bungkus rokok, korek api atau kuitansi. Bedanya bila Wianta lebih cenderung berekspresi dalam bentuk puisi, Ugo lebih cenderung dalam rupa prosa.
Buku Setan yang Menjelma Menjadi Agar-Agar, di satu sisi mendokumentasikan jejak Ugo Untoro melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam dunia kesenian. Di sisi lain Ugo berkecenderungan mengetengahkan wacana sastra yang mendudukkan dirinya di dalam fungsi kritis terhadap dunia sosial. Himpunan cerita dalam buku ini bukan lagi bagian dari seni rupa, tetapi dunia imajiner yang sepenuhnya dilukiskan Ugo Untoro lewat kata-kata.