Suara Ali Basyah terdengar hingga ke selatan, membuat lelaki jompo yang menghuni rumah di ujung kampung itu tersentak kaget. Lelaki itu bangkit dari pratah (ranjang) dan duduk sejenak, mengingat-ingat suara siapa itu, berteriak-teriak di pagi buta.

Ketika suara itu terdengar lagi, dia pun berdiri dan lalu berjalan dengan langkah gontai. Dia yakin itu suara Ali Basyah, keponakan satu-satunya yang ia punya. Dengan sarung yang hampir melorot, lelaki sepuh itu terus berjalan, membuat napasnya tersengal-sengal.

“Ada apa lagi?” tanya laki-laki itu, sesampainya di sana.
Dia bertanya pada Ali Basyah yang duduk memeluk lutut di ambang pintu.

“Televisiku dicuri orang!” Suara Ali Basyah terdengar bergetar. Ada kepiluan dalam suara itu. Dia menangkupkan kedua tangan pada wajahnya yang merah, menahan embun di matanya agar tak menitis ke tanah.

Mendengar jawaban Ali Basyah, lelaki tua itu menarik napas, menepuk-nepuk pundak keponakannya yang terus menangis. “Sabarlah!” bisiknya, seraya memapah Ali Basyah ke dalam rumah. Sudah lama sekali keponakannya itu tak menangis.

Sejak memiliki televisi di rumahnya, hidup Ali Basyah terlihat aman-aman saja dan tidak ada lagi pikiran aneh yang merasuk kepalanya. Namun, hari ini, ketika televisinya dicuri orang, kesedihan Ali Basyah kembali mengapung. Jika tidak segera ditangani, maka petaka besar akan terjadi di Bukit Batu. Karena itu, sang paman buru-buru menenangkan Ali Basyah.

Sejak memiliki televisi di rumahnya, Ali Basyah memang sering berlagak pintar di hadapan teman-temannya. Ketika bercakap-cakap di kedai minum misalnya, dia akan memperkenalkan kata-kata aneh pada orang-orang yang duduk di sana. Kata-kata yang tidak pernah didengar orang-orang di kampung itu.

Kalau dipikir-pikir, memang wajar saja dia begitu, sebab dari lima ratus penduduk yang menghuni kampung Bukit Batu, hanya Ali Basyah yang punya televisi di rumahnya. Ali Basyah membeli televisi itu pada Oktober 1987, dua hari sebelum kecelakaan besar terjadi di Bintaro, tabrakan kereta api yang menewaskan 156 orang.

Ketika peristiwa itu ia ceritakan pada orang-orang kampungnya yang baru pulang dari sawah, mereka hanya melongo. Sudah lama mereka tak melihat kereta api melintasi kampung, seperti ketika mereka masih remaja. Yang tersisa sekarang hanya rel-rel kosong yang sebagian telah dibongkar dan dicuri oleh anak-anak sebagai modal membeli ganja.

Rel itu dijual kepada penadah dengan harga mahal dan penadah akan menjual lagi kepada orang-orang kampung dengan lebih mahal lagi. Oleh orang-orang di Bukit Batu, rel itu digunakan sebagai tungku masak, besinya kuat dan tahan sampai kiamat.

Begitulah Ali Basyah, dia selalu membawa berita-berita baru pada orang-orang di Bukit Batu, berita yang kadang-kadang tidak dikabarkan radio. Kalaupun ada kabar dari radio, mereka hanya bisa mendengar ocehan penyiar, tanpa bisa melihat kejadian itu dengan jelas seperti halnya Ali Basyah.

Pernah suatu kali orang-orang berdebat soal A. Rafiq, penyanyi dangdut yang suaranya sering terdengar di radio. Orang-orang itu berdebat di kedai minum. Kata sebagian orang, A. Rafiq berkulit hitam, karena orang berkulit hitamlah yang punya suara bagus, seperti Bilal bin Rabah. Sebagian yang lain membantah, mengatakan A. Rafiq tampan seperti Yusuf. Maka berdebatlah mereka sampai-sampai pemilik kedai minum terpaksa mematikan radio. Saat itulah Ali Basyah datang, memberi penjelasan bahwa A. Rafiq berkulit kuning bertubuh tinggi.

“Aku sudah melihat langsung,” kata Ali Basyah.
“Benarkah? Di mana?” tanya mereka.
“Aku menonton Album Minggu Kita.”
“Di mana itu?”
“Di televisi.”
“Ooooo….”

Mereka pun mengangguk-angguk, memuji Ali Basyah yang beruntung, bisa melihat langsung sosok A. Rafiq, yang ketika dia bernyanyi, orang-orang akan mengerubungi radio.

Di lain waktu, setelah pulang bekerja dari Pabrik Limun 66 di Kota Bireuen, Ali Basyah yang singgah di kedai minum mengisahkan tentang kepahlawanan Saddam Hussein melawan Iran. Katanya Saddam sangat gagah dan berwibawa dengan pakaian militer dan pistol di pinggang. Ali Basyah mengaku sering melihat orang itu di televisi dalam siaran “Dunia dalam Berita.”

Orang-orang di kedai minum mendengar cerita Ali Basyah dengan takjub seraya berangan-angan suatu saat mereka juga punya televisi. Karena itu mereka selalu menyisakan uang untuk bisa membeli buntut di kedai Aliong. Namun, harapan mereka tak pernah tercapai dan uang mereka selalu saja hangus.

Sebagian orang kampung Bukit Batu merasa iri pada Ali Basyah yang memiliki televisi di rumahnya. Tapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, sebab dari 500 penduduk di Bukit Batu, hanya Ali Basyah yang punya pekerjaan mapan, sebagai karyawan pabrik limun di kota, sementara 499 penduduk lainnya bekerja sebagai petani di sawah tanpa irigasi, beternak ayam kampung yang hanya beberapa ekor, memelihara kambing yang kekurangan rumput, dan sebagai buruh pengangkut padi dengan upah makan hati. Maka, sampai kiamat pun mereka tidak akan bisa membeli televisi, kecuali jika mereka punya mimpi yang benar tentang nomor-nomor buntut yang harus dibeli pada Aliong.

Akan tetapi, Ali Basyah bukanlah orang yang sombong, dia selalu datang membawa kabar, membagi cerita dan mengisahkan hal-hal menarik di televisi. Cuma saja dia terkesan sok pintar karena terlalu banyak membawa istilah baru dalam percakapan di kedai minum. Pernah suatu ketika para peternak kambing dibuat bingung oleh istilah-istilah yang dibawa Ali Basyah, begitu juga petani dan buruh pengangkut padi.

“Bagaimana keadaan fauna kalian, apakah sudah siap dijual?” tanya Ali Basyah suatu hari. Mendapat pertanyaan demikian, beberapa orang yang duduk di kedai minum terheran-heran, seraya menebak-nebak apa yang dimaksud Ali Basyah. Tak ingin terus-terusan penasaran akhirnya mereka bertanya dan Ali Basyah pun menjelaskan dengan tekun tentang istilah baru yang ia dengar di televisi.

Di lain waktu dia bertanya soal flora di kampung mereka apakah sudah siap panen, dan ketika teman-temannya tertegun, dia pun memberi pengertian tentang istilah itu. Demikian seterusnya, selalu saja ada istilah-istilah baru dari Ali Basyah yang membuat sebagian orang di kampung itu menghormati laki-laki itu melebihi Guru Majid, yang sebelumnya dianggap paling tahu dan paling pintar di Bukit Batu.

Sebelum Ali Basyah memiliki televisi, Guru Majidlah yang menjadi sumber pengetahuan di kampung itu. Dia adalah satu-satunya guru di SD Bukit Batu yang mengajar enam kelas sekaligus dan menguasai semua pelajaran, dari bahasa Indonesia, IPA, agama, olah raga sampai dengan matematika. Sesekali dia juga mengajar bahasa Inggris. Guru Majid sendiri adalah lulusan SPG yang setelah lulus langsung ditempatkan di SD Bukit Batu.

Hampir semua warga di Bukit Batu pernah menjadi murid Guru Majid, termasuk Ali Basyah yang kabarnya tidak bisa membaca. Namun, Ali Basyah beruntung memiliki paman di pabrik limun sehingga ia diterima bekerja di sana dan menjadi satu-satunya warga Bukit Batu yang punya gaji bulanan, berbeda dengan Guru Majid yang gajinya dibayar empat bulan sekali dan hanya cukup untuk makan dua minggu.

Maka dari itu orang-orang di Bukit Batu selalu saja merasa iri pada Ali Basyah. Dia punya pekerjaan mapan dan juga televisi. Ketika sedang bercengkerama di kedai minum, warga Bukit Batu selalu membicarakan Ali Basyah, tak terkecuali Guru Majid yang gajinya tak pernah naik.

Mereka membicarakan kesuksesan laki-laki itu, seraya berkhayal suatu hari mereka bisa seperti Ali Basyah. Namun, ada satu hal yang luput dari pengetahuan orang-orang di Bukit Batu, bahwa Ali Basyah tidaklah sebahagia itu. Yang mereka lihat selama ini hanyalah permukaannya saja, sementara di lubuk hati Ali Basyah yang paling dalam terpendam luka yang amat perih.

Kejadian itu bermula sejak ayah ibunya hilang ditelan bumi dalam pembersihan komunis di Tanah Gayo. Saat itu Ali Basyah berusia 15 tahun dan masih bekerja sebagai kuli angkut di terminal Bireuen, sementara ayah ibunya menjadi buruh kopi di Tanah Gayo. Setiap menjelang panen, ayah ibunya berangkat ke sana, sementara Ali Basyah tinggal bersama pamannya di Bukit Batu, kampung kecil yang tak begitu jauh dari kota Bireuen.

Beberapa bulan setelah perburuan orang-orang komunis di pulau Jawa, keadaan di Gayo pun kian mencekam. Dari kabar yang beredar, terjadi penangkapan besar-besaran di sana. Namun, tidak ada kejelasan apakah ayah dan ibu Ali Basyah juga ditangkap atau tidak. Biasanya mereka hanya bekerja selama dua atau tiga bulan di musim panen, setelah itu mereka akan pulang lagi ke Bukit Batu. Namun, sampai dua tahun kemudian ayah ibunya tak pernah kembali.

Mendapati kenyataan bahwa ayah ibunya hilang begitu saja, Ali Basyah sangat terpukul. Hampir setiap malam dia bermimpi kalau ayah ibunya dibunuh tentara. Saat ia menceritakan mimpi itu pada pamannya, dia selalu mendapat jawaban yang sama; bahwa mimpi hanya tipuan setan. “Mimpi-mimpi aneh itu datang lantaran kau tak mencuci kaki ketika tidur,” kata pamannya.

Pernah suatu kali dia ingin membakar kantor Koramil. Namun, pamannya berhasil mencegah, mengatakan bahwa itu tindakan bodoh. “Ayah Ibumu dibunuh dalam mimpi, kalau kau ingin membalas, balaslah dalam mimpi,” ujar pamannya kala itu. Mendengar jawaban itu, tentu saja Ali Basyah kecewa. Namun, dia tak mungkin melawan sang paman yang sudah dianggap ayahnya sendiri.

Untuk beberapa hari Ali Basyah tampak bersedih. Namun, tawaran bekerja di pabrik limun dari pamannya membuat Ali Basyah yang kala itu sudah berusia 17 tahun berhasil meredam luka hatinya. Sejak hari itu, senyumnya mulai mengembang. Perlahan-lahan dia melupakan ayah ibunya yang dari dulu memang kurang akrab dengannya, karena sering ditinggal untuk bekerja.

Menjelang usia 25, Ali Basyah terpikat pada seorang gadis. Disampaikannya perasaan itu pada pamannya dan lalu datanglah mereka melamar si gadis, tak begitu jauh dari Bukit Batu. Lamaran diterima dan mereka pun menikah.

Namun, sampai dengan dua tahun pernikahan, ketika Ali Basyah sudah berusia 27 tahun, si istri tak kunjung mengandung. Awalnya hal itu tak menjadi masalah bagi Ali Basyah sampai kemudian sebuah kabar hinggap di telinganya, bahwa istrinya berselingkuh dengan temannya sendiri, karyawan di pabrik limun.

Tak tahan dengan perselingkuhan itu mereka pun bercerai. Mulai saat itu, Ali Basyah kembali punya pikiran-pikiran aneh. Dia ingin membunuh pencuri istrinya dengan botol limun. Namun, pamannya memberi nasihat agar Ali Basyah tak ceroboh. “Ada banyak perempuan di luar sana,” kata pamannya, sembari menarik botol limun dari tangan Ali Basyah.

Beberapa minggu kemudian Ali Basyah menikah lagi. Namun, beberapa bulan dia bercerai lagi. Begitu seterusnya. Sampai dengan usianya menginjak 32 tahun dia sudah menikah 5 kali. Akhirnya dia kembali murung sembari mengutuk nasib yang selalu buntung. Saat itulah pamannya menyarankan Ali Basyah membeli televisi, sebagai hiburan agar pikirannya tak lagi sunyi.

Sejak memiliki televisi, Ali Basyah kembali ceria. Sepulang dari pabrik ia menghabiskan waktu menonton televisi dan kemudian menceritakan hal-hal baru di kedai minum. Dengan adanya televisi, dia mengetahui banyak hal, membuat ia lupa pada perempuan dan lalu bulatlah tekadnya untuk membujang. Namun, hari ini televisi itu telah dicuri.

“Dulu mereka mencuri Ayah Ibuku, mencuri istri-istriku; sekarang mencuri televisi ….”

Lelaki itu memeluk Ali Basyah, meminta agar keponakannya tak lagi menangis.

Sedang sibuk laki-laki itu menghibur Ali Basyah, terdengar suara becak mesin di pekarangan rumah. Lelaki itu bangkit dan berdiri di ambang pintu. Namun, belum lagi dia bertanya, suara Guru Majid terdengar lantang, “Maaf, ya. Tadi sedikit lama.”

Dengan mulut menganga, lelaki jompo itu memandangi si pemilik becak yang sedang mengangkat televisi bersama Guru Majid. Laki-laki itu terpaksa mundur dari ambang pintu ketika televisi dimasukkan ke dalam rumah. Dia melempar pandang pada Ali Basyah yang masih sesenggukan di ruang tamu.

“Ini saya kembalikan,” kata Guru Majid sambil tersenyum. “Tadi kamu masih tidur, tapi ada saya tulis di sana,” dia menunjuk ke arah dinding sebelah timur, “saya pinjam sebentar untuk dibawa ke kedai Aliong. Saya maunya televisi macam ini, biar sama kita. Terima kasih, ya.”

Guru Majid menyalami Ali Basyah dan pamannya yang masih melongo tak mengerti. Mata yang kabur membuat Guru Majid tak bisa melihat wajah Ali Basyah yang merah. Lalu dia berjalan tergesa-gesa keluar, menaiki becak, seraya memegang televisi yang baru dibeli dari kedai Aliong. Ketika becak itu berlalu, Ali Basyah bangkit dan menuju dinding sebelah timur. Karena sadar dirinya tidak bisa membaca, dia menarik tangan pamannya ke sana. Selembar kertas warna putih bertulis tangan tertempel tepat di belakang televisi:

Pintu rumahmu tidak dikunci. Tapi, saya lihat kamu masih tidur. Jadi, televisinya saya pinjam sebentar. Kamu jangan menangis, ya. Ini tidak lama. Tertanda. Guru Majid.

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<