Kita memang kerap lupa pada tubuh. Padahal segala aktivitas kita membutuhkan peranan efektif dari tubuh. Kita akan menganggap penting tubuh setelah tubuh terluka, dan karenanya kita merasakan sakit. Hati dan akal kita terpengaruhi oleh luka tubuh. Setelah itu, mungkin kita pun sadar, bahwa sesungguhnya, tubuh bukanlah lokus terpisah dari hati dan akal. Ia adalah kehidupan tersendiri, tetapi juga merupakan kehidupan hati dan akal manusia. Oleh karena itu, tubuh bukan semata-mata onggokan daging yang berfungsi mewujudkan atau mengongkretkan eksistensi manusia, tetapi tubuh juga adalah eksistensi manusia itu sendiri.

Disadari atau tidak, hubungan resiprokal yang dimiliki tubuh ini, yang dalam konteks politik, mengharuskan seorang penguasa menciduk pengkritik untuk kemudian diperlakukan dengan pelbagai cara, termasuk menjebloskannya ke penjara sebagai “tahanan politik” (tapol). Penguasa berniat membungkam kritik tersebut dengan cara menundukkan tubuh tapol.

Oleh penguasa, tubuh tapol kadang dianiaya dengan bermacam-macam metode, dengan berharap menganiaya pula hati dan akal si tapol. Seandainya tubuh tapol itu didera, maka barang kali penguasa tengah membayangkan pula hati dan akal tapol yang didera. Seandainya tubuh tapol disayat-sayat, penguasa mungkin mengimajinasikan hati dan akal tapol yang turut disayat-sayat. Seandainya tubuh tapol kelaparan, maka bisa saja penguasa memimpikan hati dan akal tapol yang ikut lemas tak berdaya. Seandainya tubuh tapol membangkai, maka bukan tak mungkin, penguasa merasa bahwa hati dan akal si tapol pun tengah digerogoti ulat.

Tubuh tapol dalam pandangan penguasa adalah penyakit di dalam tubuh negara, tepatnya tubuh kekuasaan. Oleh karena itu, layaknya penyakit, dibutuhkanlah detox untuk melancarkan kembali metabolisme tubuh kekuasaan. Solzhenistsin, sang begawan sastra Rusia, sempat mengalami detoksifikasi itu. Ia mendekam dari penjara ke penjara, meringkuk di barak-barak tahanan, dan dipaksa bekerja dalam kondisi kelaparan di tengah wilayah tundra-tundra Siberia yang dingin.

Pengalaman mengerikan itu bermula saat Joseph Stalin yang menjadi penguasa Uni Soviet waktu itu, dianggapnya sebagai diktaktor. Seorang agen negara Soviet meringkus Solzhenistsin karena telah menyebut tanpa hormat seorang Stalin sebagai “lelaki bermisai”. Solzhenistsin—seorang yang sempat menjadi komandan pasukan artileri, seorang yang pernah menjadi komunis loyal, yang dulu gigih bertempur demi Uni Soviet, dan telah dianugerahi dua bintang jasa dalam Perang Dunia II—pada akhirnya menjadi salah seorang penghuni kamp-kamp Stalin selama bertahun-tahun.

Meski demikian, pengalaman tersebut tidak disia-siakan Solzhenistsin. Penjara mengilhaminya untuk menciptakan karya-karya monumental. Periode Penjara Khusus No. 16 di Sharashka, misalnya, menjadi inspirasi Solzhenistsin untuk melahirkan novel Lingkaran Pertama. Setelah cemoohnya atas karya ilmiah seorang Kolonel Sharaskha, Solzhenistsin diseret lagi ke kamp Karanganda, Kazakhstan Utara—di sinilah muasal ilham Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich. Hal paling fenomenal sekaligus menjadi magnum opus Solzhenistsin adalah Gulag, sebuah novel tebal berisi kisah besar yang mengharuskan KGB atau polisi rahasia Soviet, sampai rela menggali salinan novel tersebut dari dalam tanah kubur setelah sebelumnya menginterogasi juru ketik Solzhenistsin selama ratusan jam. Novel yang dikenal juga dengan judul The Gulag Archipelago atau Kepulauan Gulag ini pun menjadi rangkuman dari kamp-kamp tersebar di seluruh wilayah Soviet di bawah kekuasaan Stalin sehingga jumlah kamp yang banyak itu dianalogikan sebagai sebuah pulau dengan sistem disebut gulag.

Lantas bagaimana Solzhenistsin memosisikan tubuh tapol dalam novel-novelnya? Apakah tekanan-tekanan tubuh kekuasaan berhasil menundukkan tubuh tapol? Saya akan berusaha menakwilnya meski hanya dalam dua novel Solzhenistsin saja: Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich hasil terjemahan Gayus Siagian (Cetakan Pertama, Mei 2016: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia) dan Gulag berkat terjemahan Akhmad Santoso (Cetakan Pertama, Januari, 2018: Penerbit Bentang Pustaka).

Ivan yang notabene adalah alter-ego Solzhenistsin di dalam Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich, menunjukkan betapa makna ruang dan waktu dari tubuh tapol memang diatur sekaligus dirusak oleh tubuh kekuasaan. Pada novel tersebut, tubuh tapol ditekan habis-habisan di dalam kamp. Tubuh Ivan dan para tahanan lain harus menerima ancaman tidak hanya oleh para sipir, tetapi pun oleh udara salju paling dingin dan menghancurkan dari kawasan Siberia. Sementara mereka harus menerima kenyataan pahit betapa langkanya makanan di kamp tersebut. Hanya ada makanan tak layak di sana. Itu pun jarang, dan mereka mesti pandai-pandai mendapatkannya.

Mereka rela menyantap sup berisi ikan-ikan yang busuk dan kadang tak berdaging atau tinggal tulang belaka. Ivan pun punya cara tersendiri untuk menangkal kekosongan perut yang barang kali bakal terlalu lama, yakni dengan cara menyembunyikan separuh ransum roti miliknya ke dalam kasur berisi serbuk gergaji yang telah dilubangi dan kemudian dijahitnya kembali. Dengan begitu, ia berharap bahwa suatu waktu ransum roti tersebut bisa dimakan secuil demi secuil (minimal perutnya tidak kosong melompong). Sedangkan cara lain dan paling umum untuk mendapatkan makanan adalah dengan pergi ke ruang makan:

     “… mengambil mangkok-mangkok dari meja dan membawanya bertumpuk-tumpuk ke tempat cucian piring. Itulah jalan lain untuk mendapat makanan, akan tetapi selalu terlalu banyak orang yang mempunyai gagasan yang sama. Dan yang paling celaka ialah, jika terdapat sisa-sisa dalam mangkok, orang segera menjilatinya.”

Dalam situasi demikian, kita melihat bahwa tubuh fisik manusia menjadi sangat krusial. Para tapol, termasuk Ivan, tak mau mati kelaparan.nKehendak untuk mempertahankan kondisi tubuh juga dilakukan Ivan ketika udara begitu dingin. Ia merasa bahwa selain memakai jaket tebal berlapis yang compang-camping itu dan menutupi wajah dengan kain-kain seadanya, menjaga tubuh dari udara dingin juga bisa diminamllalisasi dengan tidak membiarkan sepatu basah, terutama ketika pagi hari. Tapi, dingin yang mampu meremukkan tengkorak kepala bisa mendorong tapol melakukan upaya-upaya pertahanan yang ekstrem dan bisa membunuh mereka kapan saja. Ivan pernah melakukannya itu. Dikatakan narator bahwa: “Pada Bulan Oktoberkarena sekali berhasil menipu, dia sempat pergi ke kota dengan orang kedua dalam regunyaShukhov (nama lain Ivan) memperoleh sepatu yang kuat, dengan tumit yang kuat pula dan cukup besar untuk memuat dua pasang kaos tebal yang hangat.” 

Solzhenistsin tidak hendak menceritakan heroisme atau kisah-kisah manusia super. Memang ada banyak upaya untuk bertahan dalam tangsi itudan berhasil, tapi tidak semua. Banyak pula upaya yang gagal, bahkan cenderung mengundang malapetaka. Jiwa-jiwa dalam tangsi pun tidak selamanya kuat. Kegalauan-kegalauan spiritual juga kerap menghinggapi mereka. Perasaan ingin kabur lebih tipis dari perasaan ingin mati. Namun, dua keputusan itu, tampaknya tidak dianggap Solzhenistsin sebagai keputusan yang baik. Keputusan untuk kabur adalah alamat mati perlahan atau mungkin langsung mampus di tempat. Sementara tindakan bunuh diri adalah tindakan yang putus asa dan kelewat konyol. Melalui tokoh Ivan dan beberapa tokoh lain dalam novel tersebut, Solzhenistsin mendedahkan kepada kita bahwa satu-satunya keputusan yang baik pada waktu itu adalah mematuhi perintah tubuh kekuasaan, yaitu melakukan kerja-kerja yang diperintahkan.

Bekerja di dalam tangsi, menggerakkan tubuh di tengah hawa dingin adalah suatu cara untuk terus bertahan hidup lainnya. “Penjara tidak berat kalau kita diberi pekerjaan biasa. Kita dapat makanan panas dan tidak ada waktu untuk melamun. Hukuman yang sebenarnya adalah tidak diizinkan keluar untuk bekerja.” Di situ, pekerjaan tidak dianggap sebagai perintah penguasa, malahnmenjadi “kebutuhan” tapol. Dalam pengertian lain, seakan tak ada penguasa dengan segenap kuasanya di sana, dalam kerja-kerja itu, melainkan hanya ada naluri bertahan hidup dari diri tapol sendiri. Dengan begitu, seperti tak ada hasrat untuk membebaskan karena seolah tak ada situasi yang membelenggunya.

Pada situasi tertentu, saya tidak lagi melihat Karl Mark dalam diri Solzhenistsin atau sebagian tokoh dalam ceritanya yang optimistis bertahan dalam tangsi. Atau mungkin Mark itu ada, namun berada di tingkat di bawah Kristus. Sebab, dalam posisi itu, Solzhenistsin telah melampaui historical necessity atau “keharusan sejarah” Mark dan berusaha masuk dalam wilayah di luar sejarah yang diusung Kristus. Sebab, kali ini  Solzhenistsin telah menyesap manisnya “darah” penderitaan dalam tangsi itu dan menjadikannya sebagai pembebasan iman:

       “Untuk apa kau menginginkan kebebasan? Iman yang masih ada padamu akan memekik. Bergembiralah, bahwa kau berada dalam penjara. Di sini kau dapat merenungkan keselamatan jiwamu. Rasul Paulus mengatakan: Apa gunanya kamu menangis dan menghancurkan hatiku? Karena aku ini rela bukan hanya diikat saja, melainkan juga mati di Jerusaelam karena nama Tuhan Jesus.”

Agar dapat memasuki medan di luar sejarah, Solzhenistsin tak bisa berangkat dari hanya dirinya sendiri. Ada jalan-jalan perantara yang mengantarkannya ke sana. Dalam Gulag, Solzhenistsin menulis: “Tapi, tiba-tiba Anda merasa hidup kembali dan dikumpulkan bersama rekan-rekan yang senasib. Akal sehat pun mulai Anda dapatkan kembali.” Di situ, jalan-perantara dimaksud adalah tubuh para tahanan lain, yang menghirup udara sama, yang menempati lantai dan menghirup udara di kamar yang sama, dan yang mengalami situasi sama. Tubuh-tubuh senasib yang direnungkan, membuat Solzhenistsin menerima tatapan simpati, nasihat, dukungan dari senyum atau pandangan orang lain yang sepenanggungan. Itulah yang disadari mereka (kekuasaan), kata Solzhenistsin, “berusaha sedapat mungkin menghapus masa depan….”

Jalan perantara berikutnya adalah kesadaran atau perasaan tidak bersalah. Mereka yang merasa bersalah atas perbuatannya memiliki konsekuensi ketika masa penahanan itu tiba, yakni mencuatnya rasa tak berguna yang dapat berujung frustasi, kalah, dan bukan tak mungkin akan tumbang dalam kematian. Mereka telah menganggap tubuh mereka sendiri sebagai sarang aib, sebagai kesalahan. Tapi sebaliknya, mereka yang tak bisa menemukan kesalahan apa yang ada dalam diri mereka, justru membuhulkan rasa heran yang tak habis-habis: pada titik tertentu, mereka menganggap tubuh mereka adalah tubuh yang bersih dan waras, tetapi sebaliknya, tubuh kekuasaan dianggapnya sebagai tubuh yang kotor dan tak waras. Mereka menganggap tubuh kekuasaanlah yang sinting, dan bahwa mesti ada yang mengobatinya. Dari situ, Solzhenistsin dan sebagian tokoh dalam ceritanya bertahan serta berusaha menanjak, memasuki sesuatu yang di luar sejarah.

Pertanyaannya, bukankah jika tubuh tapol tersebut tetap pasrah dalam tangsi, berarti tubuh tapol telah tunduk pada tubuh kekuasaan?

Makna ruang dan waktu dari tubuh tapol memang diringkus oleh tubuh kekuasaan. Tubuh fisik tapol memang dalam tindihan tubuh kekuasaan. Tapi, tubuh ideologi tapol tetap lestari. Bertahan hidup dengan tetap memberi asupan makanan dan minuman, menghangatkan tubuh dengan memakai sepatu kering, juga menggerakkan tubuh dalam pekerjaan rutin, adalah upaya melestarikan tubuh ideologi. Hanya dengan tubuh fisik yang bugar dan hidup berdenyut, tapol masih menghayati dan merawat tubuh ideologinya.

Tubuh kekuasaan mungkin mengira bahwa jika tubuh tapol itu patuh padanya, maka dirinya telah berhasil menundukkan tubuh ideologi para tapol. Padahal tidak, kepatuhan tapol justru merupakan perlawanan terselubung atau perlawanan diam terhadap tubuh kekuasaan. Pesimisme yang membuat tapol bunuh diri atau kemuakan terhadap keadaan dengan cara kabur dari tangsi, jusrtu bisa jadi sebentuk pelarian dari keadaan: inilah wujud ketundukkan total tubuh tapol terhadap tubuh kekuasaan, dan itu berarti tubuh ideologi tapol pun sudah hancur lebur, sementara tubuh kekuasaanlah yang menang. Sedangkan sebaliknya, optimisme dengan cara tetap bertahan di tangsi adalah serangan tak terlihat oleh tubuh tapol terhadap tubuh kekuasaan!

Pada umumnya, aliran atau ilmu kebatinan menganggap tubuh sebagai batu sandungan dalam perjalanan spiritual. Karena tubuh adalah fana, wadag, lumbung nafsu, dan yang kelak membusuk, tak ikut serta terbang ke langit. Namun, pada situasi tertentu dalam cerita Solzhenistsin, tubuh bahkan mendorong seseorang untuk mencapai kulminasi spiritual. Adapun relasi antara akal budi (mind) dan tubuh (body) yang saya pahami dari si empu Descartes yang mahsyur dengan Cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) itu adalah pemerlakuan tubuh sebagai kerangka-mati, sedangkan akal budi adalah chip yang terletak di kepala dan menjadi pusat pengendalian diri manusia. Tetapi, pada situasi tertentu dalam cerita Solzhenistsin, tubuh menjadi penjaga dan pelestari tubuh ideologi, akal budi.

Melalui Solzhenistsin dan sebagian tokoh dalam ceritanya, kita tahu bahwa relasi tubuh, hati, dan akal, tidaklah saling menindas, melainkan sederajat dan saling menguntungkan. Melalui Solzhenistsin dan sebagian tokoh dalam ceritanya, tubuh menjadi sesuatu yang kita pikirkan dan bukan sesuatu yang kita kenakan. Tubuh, pada situasi tertentu dalam cerita Solzhenistsin, sekali lagi, merupakan tubuh yang bukan barang rongsokan yang tak berguna dan pantas diabaikan.

Akhirul kalam, pada usia 89 tahun, Solzhenistsin, Si Pembangkang itu mangkat. Upacara Gereja Ortodoks Rusia di Biara Donskoi, Moskow, mengiringi penguburan jasadnya—tubuh yang selama dua dasawarsa tinggal dalam pengasingan itu, akhirnya bersatu dengan tubuh Rusia yang dirindukannya. Tubuh fisik itu akan bersenyawa dengan tanah, tapi tubuh ideologinya terus hidup dalam karya-karyanya yang mengubah dunia itu. Solzhenistsin masih tak terbendung. Tubuhnya belum benar-benar mati.*