Belakangan saya mengambil sikap untuk tak terlalu terpukau dengan diskusi-diskusi sastra di Solo. Sikap itu karena diri merasai diskusi-diskusi itu–sejauh empat tahun belakangan—tak mengalami perubahan yang berarti. Diskusi tetap tampak angkuh dan elitis. Sekian awam tak cukup berani untuk coba-coba turut serta dalam diskusi-diskusi menyoal sastra. Diskusi sastra di Solo itu angker.

Hal yang begitu itu tak terjadi dalam obrolan memperkarakan sejarah. Satu hal yang bertaut intim dengan sastra. Saya mengingat 2018 sebagai mula komunitas-komunitas sejarah di Solo menguar ke jagat awam. Keberadaannya sendiri bisa jadi sudah ada di tahun-tahun sebelum itu. Komunitas-komunitas sejarah di Solo sadar betul bahwa membawa lembar-lembar masa lalu kepada awam itu perlu rumus tersendiri.

Awam bukan kaum intelek yang betah atau bahkan berkemauan menghadapi buku. Membaca dan merasai paragraf-paragraf memuat narasi kemewahan dan kepongahan masa lalu dalam huruf-huruf tercetak. Awam juga bukan tipikal yang sekadar puas mendapati (dan memotret) sekian bangunan megah bercap cagar budaya atau cukup bernilai sejarah tanpa tahu apa dan bagaimana bangunan itu mengada. Sekian komunitas sejarah tak memilih buta tetapi bergairah menangkap gejolak begitu itu.

Sejarah yang mangkrak di buku dan kerap berhenti jadi debat antar sesama intelektual di gedung bercap menara gading coba diuar. Di Kota Bengawan, sekian komunitas sejarah berkemauan mengajak awam menjelajah dan turut merasai gaung masa lalu kota yang masyhur. Komunitas Laku Lampah memilih tajuk acara jalan-jalan sejarah Solo dengan sebutan Soerakarta Walking Tour. Ialah yang kiranya memulai model penguaran sejarah kepada awam dengan merangkainya dalam keriangan melakukan perjalanan di kawasan-kawasan bercap sejarah.

Soerakarta Walking Tour Edisi Kota Lama

Soerakarta Walking Tour mengajak awam mengecup sejarah Solo hampir di tiap akhir pekan. Mereka memilih satu bangunan atau satu kawasan khusus untuk dirasai bersama. Satu dua punggawa komunitas bertindak sebagai juru dongeng melisankan cerita masa silam dari sekian literatur yang terbaca. Peserta berhenti di sekian titik dan masyuk mendengar cerita yang disampaikan. Tak jarang pula sekian peserta yang berlatar belakang sejarah turut menyumbang atau bahkan merevisi cerita yang dituturkan si juru dongeng utama. Di sinilah terjadi diskursus. Menghadapi cerita-cerita pelbagai rupa, awam tak lekas percaya. Rupa ragam cerita itu memantik keingintahuan awam yang paling ingin. Menggali sekian sumber secara mandiri sebagai pengajuan banding, penguatan, atau justru bahan untuk melemahkan salah satu versi cerita yang dituturkan para sejarawan komunitas.

Mengalami Sejarah

Bekas Penyimpanan Senjata Milik Mangkunegaran

Penuturan cerita-cerita di tempat terjadinya cerita di masa silam itu persetubuhan yang dinikmati awam pengagum sejarah. Aktivitas yang sungguh membuat riang alih-alih menjemukan dipaksa mengingat sekian nama dan tanggal seperti yang diamini pelajaran sejarah di sekolah yang kelewat Orbais itu. Sekian nama dan tanggal lekas moksa usai mengalami ulangan harian dan ujian akhir semester.

Awam pengagum sejarah tak cuma mengingat tokoh, nama tempat, dan tanggal-tanggal keramat. Lebih inti daripada itu, awam merasai dan tersulut menggelar imajinasi bertaut dengan rangka pemikiran sekian tokoh, latar belakang sosial-budaya-religius, gengsi melawan kolonialisme, pengelolaan ekonomi, dasar-dasar pendidikan, penguatan pertahanan militer, dan lain sebagainya.

Bangunan-bangunan bercap cagar budaya atau bertaburan sejarah tak cuma diingat nama dan tanggal pembangunannya. Ia mengandung pengetahuan bertaut pertahanan militer, pendudukan wilayah, pemberontakan kaum nasionalis, pangan, ekonomi, pembagian kekuasaan, dakwah keagamaan, penyadaran kesehatan, derma sosial, sampai arsitektur. Di Solo, kita menjumpai kemegahan masa lalu itu di kawasan Kota Lama.

Kota Lama Solo di antaranya meliputi kawasan Gereja Protestan Indonesia (GPI) Penabur, Benteng Vastenburg yang hanya tersisa tembok-temboknya, kawasan Loji Wetan, Bank Indonesia, Balai Kota Surakarta, dan lain sebagainya. Awam diajak merasai aroma kedigdayaan pemerintah tradisional yang dijalankan Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, strategi pemerintah kolonial mempertahankan wilayah kekuasaan, sampai pada fragmen-fragmen pesta pora bangsa kulit putih di societeit, bioskop, dan gelaran karnaval.

Jalin Menjalin

Masjid Al-Wustho Mangkunegaran

Selain Laku Lampah, awam pengagum sejarah Solo juga mendapati Solo Societeit dan Solo Heritage sebagai dua komunitas sejarah yang di dalamnya sekian intelektual-praktisi sejarah terlibat. Menariknya, masing-masing komunitas sejarah di Solo memilih pendekatan yang berlainan satu sama lain dalam upayanya menginklusifkan sejarah Solo. Bila Laku Lampah lekat dengan Soerakarta Walking Tour, Solo Societeit memilih dakwah media baik melalui artikel-artikel di sejumlah media atau siaran di radio dan televisi. Heri Priyatmoko, sejarawan kuliner dan salah satu penggagas Solo Societeit itu paling sering mengalami pemuatan tulisan sejarah berbumbu sastrawi di pelbagai media.

Lain Solo Societeit, lain pula dengan Solo Heritage. Solo Heritage di bawah pantauan sekian intelektual sejarah senior lebih konsen pada kajian dan diskusi. Diskusi rutin setiap bulan yang diadakan di ruang-ruang publik seperti Rumah Banjarsari dan Rumah Budaya Kratonan itu selalu terbuka untuk awam. Di pelbagai tema diskusi yang digagas Solo Heritage, awam lebih fokus dan jenak menyimak kisah-kisah sejarah. Termasuk untuk menautkan puspa ragam cerita saling taut yang telah lebih dulu mampir di gerbang informasi dan pengetahuan diri.

Solo Heritage juga mencari jalur penghubung merawat sejarah kota dengan otoritas pemangku kebijakan. Bagaimanapun, begitu vital kelindan antara Solo Heritage sebagai komuni masyarakat yang peduli sejarah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kota di bidang yang sama. Edisi Kota Lama Solo yang digelar di Rumah Banjarsari (22/2) misalnya menghadirkan Kepala Bidang Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, Sungkono.

Dalam diskusi itu, Sungkono menolak disebut narasumber dengan penjelasan ia belum banyak memiliki pengetahuan tentang sejarah Solo dan khususnya Kota Lama Solo yang dikehendaki jadi bahasan malam itu. Tegukan-tegukan teh kental-wangi khas wedangan Solo mengamini khidmat Sungkono berbagi kisah atas pekerjaan dan ragam kendalanya mengamankan sejarah Solo yang agung.

Malam itu, Sungkono membawa hasil kajian kawasan Kota Lama Solo yang sudah dicetak jadi bendel laporan khas pemerintah. Cetakan yang susah berterima sebagai buku. Peserta diskusi bergiliran memberi komentar terhadap hasil kerja pemkot itu. Mulai dari masukan substansial sampai teknis penyetakan buku. Sungkono tampak antusias mencatat dan berulangkali mengapresiasi dan memberi penjelasan sebagai arus balik atas apa-apa yang disampaikan para peserta diskusi. Awam pengagum sejarah mengamini langkah Solo Heritage yang berkemauan menjajal upaya demi adanya kebijakan-kebijakan pemerintah kota yang ramah sejarah.

Akhirnya, sekian komunitas sejarah di Solo kendati menapaki biduk kesejarahan melalui puspa ragam pendekatan, kesemuanya tetap jalin-menjalin. Memintal kemolekan sejarah kota untuk tetap eksis di pelbagai zaman. Mengukuhkan sebuah kota yang adigang-adigung-adiguna. Tsah!