Pada suatu malam, Sang Kiai bermimpi seorang anak kecil menyumpahinya dengan perkataan yang buruk. Wajah anak itu persis wajah anjing yang ia tabrak tempo hari dalam perjalanan menuju majelis pengajian. Dalam mimpinya, Sang Kiai tak bisa bergerak maupun bersuara. Anak berkepala anjing itu datang mendekatinya, jari-jarinya yang panjang ikut mendekati leher Sang Kiai. Sebelum anak itu benar-benar mencekiknya, seseorang mengguncang tubuh Sang Kiai.
“Kiai, bangun!” Sang Kyai tersentak, hawa dingin menusuk kulitnya. Ia lihat jam dinding sudah menunjukkan sekitar pukul lima pagi. Alida, istrinya, mengomel dengan suara lemah karena Sang Kiai susah dibangunkan akhir-akhir ini.
“Salat, Kiai. Saya sudah duluan tadi, Kiai susah sekali dibangunkan. Malu sama santri sendiri,” ucap Alida dari dapur.
Selesai salat, Sang Kiai duduk di meja makan, memperhatikan Alida yang bergerak lincah. Tangan kecil Alida mengiris bawang dan menggiling cabai. Melihat Alida Sang Kiai teringat masa awal pernikahan mereka.
Sejak awal, pernikahannya dengan Alida tidak berjalan mudah. Saat akad nikah istri kedua Sang Kiai mengamuk dan berusaha mencengkeram leher Alida. Sedang istri pertamanya hanya menangis tersedu-sedu melihat santrinya telah dijadikan istri ketiga. Sementara tak ada satu pun santri Sang Kiai yang tahu pernikahannya dengan Alida. Sang Kiai memang sengaja merahasiakan pernikahannya yang ketiga itu. Alida masih di bawah umur, tetapi Sang Kiai beriskeras memperistrinya. Alida telah membuat Sang Kiai jatuh hati untuk yang kesekain kalinya. Saat Sang Kiai datang melamar, orangtua Alida tak bisa menolak pinangan seorang kiai dan Alida juga tidak menolak.
Sang Kiai sering membawa Alida jalan-jalan, dan Alida kelihatan senang diajak ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, atau diajak makan kue manis dan minuman yang sedikit mahal.
Pernah suatu hari seorang pelayan kedai berkata, “Wah, cantik ya anaknya” kepada Sang Kiai. Kerongkongan Sang Kiai seperti menelan bongkahan batu besar. Apakah aku setua itu sehingga ia menganggap aku sedang menggandeng anakku? pikir Sang Kiai. Paras Alida tak kalah terkejutnya. Sang Kiai ingin sekali berteriak bahwa perempuan muda di sampingnya itu adalah istrinya.
Sang Kiai tinggal di kediamannya di dekat kawasan pondok pesantren yang didirikan oleh mendiang kakeknya. Setelah ayahnya meninggal, Sang Kiai yang mengurus pondok pesantren itu. Ada sekitar tujuh ratus santri yang belajar di sana. Mereka semua menghormati Sang Kiai dan kadang-kadang melirik Alida saat Sang Kiai berjalan bersamanya. Mereka tak menduga bahwa Sang Kiai telah menikah dengan Alida. Suatu Ketika seorang santri bertanya, “Itu anak Kiai? Saya tak pernah tahu sebelumnya.” Sang Kiai berdehem, santri itu memperhatikan Alida yang sedang menyapu di halaman rumah menggunakan mukenah merah muda.
“Kan saya tak pernah memberitahumu, makanya kamu tidak tahu,” sahut Sang Kiai dengan ketus. Santri itu menyadari kekesalan Sang Kiai atas sikap tidak sopannya menanyakan siapa Alida. Ia buru-buru mencium tangan Sang Kiai lalu beranjak dari sana.
Alida tak pernah berseteru dengan kedua istri Sang Kiai. Alida bahkan tak pernah menanyakan kabar mereka. Sementara kedua istri Sang Kiai juga tak pernah membahas soal Alida saat Sang Kiai datang berkunjung. Sang Kiai tak mendapat anak dari kedua istrinya, dan ia berharap akan mendapat anak dari Alida. Akan tetapi, sepertinya harapan itu akan pupus karena usia Sang Kiai sudah lebih dari setengah abad. Tubuh Sang Kiai mulai renta. Seorang dokter telah memvonis bahwa Sang Kiailah yang bermasalah sehingga tak bisa menghasilkan keturunan. Semua istri Sang Kiai sehat dan tak ada kurang suatu apa.
“Saya ingin kuliah,” ucap Alida suatu malam saat ia dan Sang Kiai berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit rumah. Sang Kiai tak menjawab. Sang Kiai pernah berkuliah dan melewati masa-masa muda di kampus.
“Boleh saja, saya kenal beberapa rektor kampus. Biar saya beri tahu mereka bahwa kamu istri saya. Itu bisa memperlancar urusan masuk kampus.”
“Jangan.”
“Kenapa? Kamu malu mengakui suamimu yang sudah tua ini?” Alida menggeleng, ia membelakangi Sang Kiai. Tak ada ada lagi pembicaraan setelah itu. Sang Kiai merasa gusar, dipeluknya Alida dari belakang.
Pada suatu ketika, kesehatan Sang Kiai memburuk. Alida sering mengomel karena kebisaan merokok Sang Kiai. Namun, Alida tetap merawat Sang Kiai seperti seorang anak terhadap ayahnya. Sang Kiai sungguh terharu. Ia semakin jarang mengunjungi kedua istrinya, mereka juga berusaha mengerti kondisi kesehatan Sang Kiai. Kadang, kedua istrinya datang membantu Alida merawat Sang Kiai terutama pada masa Sang Kiai tak sanggup berjalan, bahkan untuk sekadar ke kamar mandi.
“Kamu boleh berkuliah. Saya izinkan,” ucap Sang Kiai suatu malam.
“Tidak, saya mau merawat suami saya. Berdosa meninggalkan suami yang telah menafkahi dan merawat saya,” jawab Alida.
Sang Kiai terharu, Alida berkata seperti itu sembari membersihkan karpet yang terkena muntahan Sang Kiai.
Banyak dokter sudah didatangkan tapi Sang Kiai tak menunjukan tanda-tanda akan sembuh. Istri pertama dan keduanya sudah tak mau berkunjung. Alida mulai kerepotan. Sang Kiai mengutus beberapa ustaz di pondok untuk memanggil kedua istrinya, dan mereka kembali sambil menggeleng-geleng. Kedua istri Sang Kiai tampak mulai durhaka. Sementara Alida masih setia membersihkan lantai yang terkena muntahan dan kotoran. Sang Kiai merasa usianya tak setua itu, tetapi saat melihat pantulannya sendiri di cermin ia melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berwajah muram. Penyakit sudah merenggut hidupnya.
“Kamu boleh menikah lagi, kalau saya sudah meninggal,” ucap Sang Kiai kepada Alida suatu hari. Napasnya tersengal-sengal.
Alida bilang Sang Kiai mulai melantur tak jelas. Kadang-kadang Sang Kiai marah-marah tanpa sebab yang jelas, misalnya saat melihat seorang santri membantu Alida membawa perabotan untuk diletakkan di dapur. Sang Kiai mulai menuduh Alida telah berbuat yang tidak-tidak. Kadang di tengah malam Sang Kiai melihat Alida menangis diam-diam. Bahunya bergetar, suaranya terisak-isak. Mungkinkah Alida sudah lelah merawatku? batin Sang Kiai.
“Kamu boleh menikahi laki-laki lain. Saya tak keberatan, sebentar lagi saya akan mati.” Sebenarnya Sang Kiai tahu bahwa ucapan itu sungguh-sungguh omong-kosong yang keluar begitu saja dari mulutnya. Sang Kiai tak akan rela Alida menikah dengan siapa pun bahkan setelah ia meninggal.
“Saya akan beri kamu separuh harta saya, kamu bebas menikahi siapa pun,” ucap Sang Kiai lagi. Alida menggeleng, ia tak bersuara. Tangan kecilnya sibuk membersihkan tubuh Sang Kiai dangan lap basah. Diam-diam Sang Kiai menyesali perkataannya sendiri.
Berbulan-bulan Alida merawat Sang Kiai dengan sabar hingga kesehatan laki-laki itu membaik. Namun, sebaliknya dengan Alida. Hampir setiap hari ia merengek seperti anak kecil, saat tidur ia kelihatan gelisah dan tak nyenyak. Kalau Sang Kiai bertanya, Alida akan menggeleng-geleng lalu pergi dengan kaki yang dihentak-hentakkan.
“Saya mau berkunjung ke rumah orangtua saya, sendirian,” ucap Alida suatu hari. Sang Kiai sedikit lega, terjawab sudah penyebab sikap Alida. Sang Kiai sempat berpikir bahwa Alida menagih perkataan yang mengizinkannya menikah lagi.
“Salam saya pada kedua orangtuamu. Telepon saja kalau mau dijemput.”
Setelah mengantar Alida sampai pekarangan rumah, Sang Kiai tiba-tiba merasa kesepian. Ia putuskan mengunjungi istri pertamanya. Kedatangannya disambut baik. Istri pertama menanyakan kabar Alida dan kabar istri kedua Sang Kiai. Pada hari berikutnya Sang Kiai berkunjung ke kediaman istri keduanya. Kedatangannya juga disambut baik, meskipun istri kedua tak menanyakan kabar Alida atau kabar istri pertama. Sang Kiai juga mengunjungi para santri dan para ustad pengajar di pondok pesantren. Mereka menyambut Sang Kiai dengan suka cita. Mereka berebut mencium tangan dan memeluk Sang Kiai.
Seorang santri kemudian memberanikan diri bertanya kepada Sang Kiai, “Mohon maaf, Kiai. Bila Kiai berkenan, sudikah Kiai menemani saya datang melamar?” Sang Kiai teringat masa-masa yang lalu saat ia sering diminta menemani santri untuk melamar perempuan yang mereka pilih dan urusannya selalu lancar.
“Alhamdulillah. Kabar baik bagi saya. Kapan? Biar saya bersiap-siap.” Santri itu dengan malu-malu mengatakan bahwa ia berniat datang melamar besok sore.
“Orangtuanya sudah setuju?”
“Saya belum tahu, tetapi perempuan yang saya maksud sudah mengiyakan.”
“Kalian kenal di mana?”
“Di sekitar sini juga, Kiai.” Saat Kiai bertanya nama perempuan yang hendak dilamarnya, santri itu tak mau memberi tahu. Sebetulnya itu perilaku yang tak sopan, tapi karena Sang Kiai sedang senang hati akibat kondisi kesehatannya yang kian membaik, ia tak mempermasalahkan sikap santri itu.
Sekembalinya ke rumah, Sang Kiai semakin kesepian tanpa kehadiran Alida. Biasanya Alida akan memasakkan makanan dan membuatkan secangkir kopi untuknya. Harusnya kuterima saja tawaran istri keduaku untuk menginap di rumahnya, kupikir Alida akan pulang hari ini, pikir Sang Kiai.
Malam harinya, Sang Kiai menelepon Alida dan istri ketiganya itu hanya menjawab seperlunya. Ia bilang tak bisa pulang dalam waktu dekat, tapi ia tak bisa menyebutkan alasannya. Apakah Alida marah kepadaku? pikir Sang Kiai.
Keesokan harinya seseorang mengetuk pintu rumah Sang Kiai. Dia adalah santri yang kemarin minta diantar melamar. Senyumnya tampak berseri-seri. Ia mengenakan pakaian yang ditetesi pewangi, harum sekali. Setelah Sang Kiai mengambil tongkat yang tersandar di dekat pot bunga, mereka segera naik mobil. Di dalam mobil sudah ada paman si santri. Rupanya santri itu yatim piatu.
Perjalanan memakan waktu cukup lama, sekitar tiga setengah jam. Punggung Sang Kiai terasa pegal sekali. Sesampai di tempat tujuan, santri itu membukakan pintu mobil untuk Sang Kiai. Di luar, Sang Kiai memperhatikan sekeliling, alisnya berkerut seakan sedang berusaha mengingat-ingat apakah ia pernah mengunjungi tempat itu. Namun, ia merasa tak ingat sama sekali.
“Yang mana rumahnya?” tanya Sang Kiai. Santri itu segera menunjuk sebuah rumah tak jauh dari sana. Rumah dengan tembok kuning pucat yang tampak semakin pucat karena pudar diterpa panas dan hujan; bunga-bunga tersusun dengan rapi di dalam pot-pot besar dan kecil. Tiba-tiba Sang Kiai merasa mengetahui nama bunga-bunga itu. Tiba-tiba pula ia merasa tahu siapa yang tinggal rumah itu. Di rumah itu tinggal seorang perempuan muda bersama kedua orang tuanya.
Santri itu memantapkan langkah kakinya, kedua tangannya membawa kotak hadiah berwarna cokelat muda. Ia tak henti-hentinya melafalkan doa-doa agar urusannya diperlancar, sementara jantung Sang Kiai berdebar kian kencang seiring langkah yang kian mendekat ke pekarangan rumah itu. Kini bahkan keringat dingin mulai mengembun di dahinya. Tubuh Sang Kiai perlahan-lahan lemas sampai ia tak menyadari bahwa ia sudah terjatuh bersama tongkatnya. Kesadarannya hampir hilang saat samar-samar matanya menangkap sosok perempuan yang dikenalnya membuka pintu rumah dan menghambur ke arahnya.
“Kiai!” seru perempuan itu. Dan sebelum Sang Kiai pingsan, ia melihat lagi anak berwajah anjing yang pernah menyumpahinya dengan perkataan yang buruk di dalam mimpinya tempo hari.
*) Image by istockphoto.com
Usia 50 tahun rasanya belum terlalu tua sih kayaknya, beberapa orang bahkan masih terlihat masih muda, bahkan 80-an sekarang masih ada yang masih kuat. Kalau berkisar umur 70-an masih masuk akal juga masuk akal jika Alida disangka anak.