Lelah.
Satu kata yang tepat mewakili tiga puluh hari ke depan. Pesimis sudah siaga mengkontaminasi pikiran yang penuh ekspektasi, membuat semuanya ingin segera diakhiri saja dengan helaan putus asa. Memfokuskan dua jalan yang berbeda telak secara bersamaan sungguh menguras habis tenaga, antara kuliah dan bekerja.
Kini langkahku sudah hampir di ujung garis finis setelah sebelumnya mati gaya dan memilih terlunta-lunta dengan amat susah payah. Berusaha menikmati dengan setulus hati tanpa rantai keluh yang melilit, merusak makna perjalanan. Dan aku tengah puas menatap atap bumi dengan mata telanjang. Benar-benar luas membentang tanpa ragu. Aku suka hiasannya, terkadang setiap malam berganti formasi. Di sini aku belajar banyak hal.
Aku menyebutnya negeri antah-berantah, berada di pelosok kecil kota Indramayu, jauh dari hedonism ibu kota. Pemilik langit jernih dan karakteristik kehidupan yang unik. Aku belajar dari mereka.
Untuk terus tumbuh, perlu banyak hal yang harus dipersiapkan serta dikorbankan. Untuk terus berkembang, harus berani mengambil langkah, dan untuk terus belajar, lapangkanlah hatimu seluas-luasnya.
***
Semua orang memiliki hak untuk merdeka. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan dan segala bentuk penjajahan lainnya. Di negeri yang belum terjamah ini, negeri dengan semua hal yang serba minim, negeri asing di pinggir kota terpelosok, aku menemukan ketidakadilan itu.
Mereka sama, memiliki bagian hak dan kewajiban ketika napas pertama berembus di muka sang dukun beranak. Mereka sama, pemilik banyaknya kepentingan yang biasa kita sebut kebutuhan dan keinginan. Sekali lagi, mereka sama.
Lantas, apa yang berbeda dari mereka?
Eksistensi mereka dibekap oleh kuasa berwujud “wajah terdidik”. Kepercayaan mereka ditelan habis oleh janji-janji palsu. Bicara tentang hak? Bullshit!
Padahal cukup sederhana, selayak hakikat manusia terkait sandang, pangan dan papan. Dan, siapakah yang peduli pada mereka? Siapa di antara milyaran manusia muka bumi yang siap mendengar keluh kesah mereka?
Meski tidak mengatakan, sorot mata mungil mereka mengungkapkan isi hati. Mereka ingin belajar, bermain, bernyanyi, menari, pun mendongeng. Mereka tak pantas diputuskan dari rantai masa depan cerah, lantas kemudian berjibaku di dapur membantu orang tua mereka yang bahkan morat-marit cari akal agar malam nanti keluarganya tidak kelaparan.
Di negeri ini hampir penduduknya pengangguran musiman. Rata-rata petani, bekerja jika musim tani tiba. Dan ketika musim tiada, apa yang mereka kerjakan? Bertopang dagu di teras rumah mereka. Bagi yang beruntung, memiliki warung sebagai penghasilan tambahan. Karena rumitnya masalah biaya hidup mempengaruhi pandangan berpikir mereka tentang pendidikan. Bagi mereka, bisa baca dan hitung saja sudah cukup. Lulus SMP pun menjadi hal yang lebih, namun lulusan SD adalah kebanyakan, itupun tak sampai tamat.
Uniknya, negeri ini hampir rata-rata jumlah penduduknya berjenis kelamin laki-laki yang memiliki pendamping lebih dari satu, maksudnya punya banyak istri. Dampak dari pekerja musiman membuat negeri ini terpaksa menyumbangkan wanitanya untuk terbang ke luar negara menjadi TKW. Ya, negeri ini terkenal akan sebutan itu.
Semangatku tumbuh kala dua anak cantik di depanku bernyanyi dengan amat riang. Nama mereka Juliya dan Anis. Mereka murid baruku dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) kami, yakni bimbingan belajar. Lainnya, ada Laila, Windi, tiga remaja SMP dan satu anak spesial, namanya Lin.
Untuk Juliya dan Anis, sudah dua hari aku mengajarinya. Anak kelas satu dengan kepolosan yang masih terpoles tebal dalam raut wajah mereka. Dari keriangan melantunkan lagu Kebunku, aku dapat membaca mereka sangat suka bernyanyi.
“Ih, itu Barbie,” celetuk kecil Juliya ketika menyaksikan video Aladin dan Jasmine yang kami tunjukkan.
“Juliya tahu cerita Aladin?” tanyaku. Gadis kecil itu menggeleng. Hatiku ternyuh. Di tahun ketika masa Princess Elsa sudah hampir pensiun, masih saja ada yang tidak tahu Aladin.
“Kenalkan, ini namanya Princess Jasmine dan itu Aladin, mereka sedang terbang pakai karpet merah ajaib” jelasku penuh ekspresi.
“Wah, berarti besok kita nonton cerita Aladin dan Jasmine, ya!” ucapku lagi. Juliya mengangguk pelan.
“Kalau Cinderella?” tanyaku, memastikan.
“Weruh, tapi ndeleng ning gambar,” giliran Anis yang menjawab. Aku bengong. Memandang Laila, meminta bantuan jasa penerjemah suka-suka.
“Tahu, tapi lihatnya di gambar.”
Aku ber-oh ramai.
“Berarti kita nonton Cinderella juga, ya!” Kataku riang.
Kenalkan, mereka para bidadari kecil yang tersangkut oleh kondisi hidup yang tidak dipahami. Bahkan mungkin, mereka tidak bisa hanya sekadar membayangkan bagaimana cerahnya masa depan dalam sorot mata mereka.
Ada satu yang paling kusuka dari tempat ini pula, ialah langit. Aku juga menyebutnya Negeri Bintang Tumpah Ruah. Karena, acapkali kau menegok ke atas, maka kau akan dapati penghuninya tengah bersuka cita, menyapa ramah lewat gemintang yang memesona. Setidaknya penduduk di sini tidak membunuh suasana syahdu malam yang pasti dirindukan orang-orang di luar sana. Ya, di negeri inilah aku berada.
***
Bukan tentang Juliya dan Anis yang ingin kuceritakan, tetapi Lin. Anaknya lincah, suka berlari dan sangat bersemangat. Ia selalu datang ke posko kami dalam keadaan napas yang terengah-engah sambil menenteng buku bacaan lusuh yang kuyakini sebagai bacaan favoritnya.
“Dari mana kamu dapatkan buku ini?” tanyaku suatu hari.
“Dikasih tamu kepala sekolah saat kunjungan dua tahun lalu,” jawabnya dengan logat Jawa kental, berusaha menyeimbangkan penggunaan bahasa Indonesia tanpa dibumbui bahasa ibunya.
“Dan kamu suka?”
“hapal aku setiap dialognya. Aku juga merasa seperti dirasuki.”
Chairil Anwar, Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta.
Kenapa Lin suka berlari? Karena dia memilih kabur ke tempat kami untuk belajar saat mboknya menyuruh dia membantu bapak bekerja di sawah. Kenapa Lin begitu bersemangat? Aku melihat rainkarnasi sang Penyair ada dalam dirinya; keras kepala, teguh terhadap apa yang diyakini dirinya, tahu apa yang dia suka maupun tidak, pecinta seni terutama puisi.
Lin membuka halaman buku Chairil Anwar dengan tergesah, mencari satu bagian yang sangat ingin ia tunjukkan pada kami. Matanya berbinar ketika menemukan. Berlari menuju gundukan gabah, menaikinya. Berdeham.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.[1]
Lin memasang mimik sesuai dengan larik puisi yang ia bacakan. Intonasi suaranya naik turun, atau berkobar pada salah satu bagian kata. Kami menyaksikan aksinya tanpa menghilangkan senyum yang terlampir barang sedetik pun dari wajah.
Aku takjub pada anak itu. Semangatnya menggapai apa yang dia inginkan patut diacungi dua jempol, meskipun dia tahu akan sangat sukar jika dilihat dari keadaan ekonomi kedua orang tuanya yang jauh dari kata pas-pasan. Terlebih, Lin suka menari.
***
Selalu, Lin selalu datang ke posko tanpa napas yang normal, keringat bercucur dan kausnya yang basah.
“Lin, ada apa?” tanyaku, kegiatan menari sore ini terhenti sejenak.
“Lin mau ikut menari, Mbak,” jawab Lin disela tarikan napasnya.
“Serius?” aku melirik bergantian antara matanya dengan teman-temannya yang lain, berharap dia paham akan keputusannya. Lin tetap mengangguk.
“Di rumah mbok mengomel terus, bilang aku ora teruk belajar. Omelan mbok juga tambah kenceng kayak petasan pas tahu Lin mau menari,” ceritanya, tak bisa menyembunyikan beberapa kosakata bahasa ibu.
“Lagian kamu kenapa mau ikut nari, geh?” tanya Laila.
“Lah, aku suka menari. Menari itu kan bagian dari seni, aku suka seni. Chairil Anwar bilang seni itu perjuangan. Dengan seni, kita menyatakan siapa diri kita,” Lin mengutip salah satu dialog dalam buku favoritnya itu.
Aku pelatih tari tradisional. Di sini, aku membagi ilmu serta keterampilanku kepada mereka sembari mengenalkan betapa beragam dan indahnya tarian Nusantara. Bagi mereka, hal ini masih terbilang baru dan tabu, apalagi di mata orang tua Lin.
“Lin! Arep lunga mendikaken si?[2] Ora usah ke sana! Belajar? Opo iku belajar? Makan saja susah, mau belajar?”
“Lin mau menari, Mbok!”
“Nari? Ora waras kamu! Sana, susul bapak ke sawah, bawa makan siang untuk bapak!”
Lin malah bergegas meraih buku lusuhnya dan langsung berlari kencang dengan kaki telanjang, kabur. Mbok Lin semakin menjadi-jadi, mengacung-acungkan satu tangannya di ambang pintu sambil tak berhenti menceracau.
Aku selalu mengatakan kepada mereka, bahwa seni bisa memperhalus jiwa dan budi pekerti kita. Seni bukan sesuatu hal yang tabu. Seni bisa dinikmati oleh siapa saja yang memang mencintainya.
“Tapi kamu harus berlatih lebih giat karena kamu baru pemula. Kalau malas-malasan sementara tarian ini terbilang cukup rumit, hasilnya malah jelek. Kamu mau ditimpuk botol sama penonton karena menari jelek?”
“Emoh. Nanti malah Mbok yang lempar sandal dari bawah panggung!” Aku tergelak diikuti yang lainnya.
Saat sesi latihan, memang Lin yang terlihat sangat antusias meski gerakannya balapan dengan musik. Malah tak jarang ia suka main senggol, menginjak kaki, menubruk kawan-kawan yang berbaris di dekatnya.
“Ih, Lin!” Anis mengomel. Anaknya hanya menyeringai polos, namun kembali lagi bersemangat.
“Kamu nggak malu, Lin?” tanyaku ketika sesi istirahat.
“Malu untuk apa, Mbak?”
“Menari? Dulu, Mbak ogah banget ikut-ikut les menari. Menurut Mbak, menari itu lembek.”
“Kenapa musti malu tah, Mbak? Kita, kan, nggak berbuat salah. Kita, kan, bukan maling sendal,” jawaban polos Lin sedikit membuatku terhenyak. Belum selesai obrolan ringan kami, suara menggelegar mbok Lin terdengar dari arah luar, memanggil anaknya.
“LIN!”
Langsung dijawir telinga Lin begitu melihat sang anak duduk di pojokan bersamaku.
“Mbok suruh kamu bantu bapak di sawah! Ora teruk belajar belajar!”
“Lin nggak belajar, Mbok, Lin cuma latihan menari.”
“Itu apa lagi!”
“Kenapa, sih, mbok, Lin nggak boleh ikut menari? Lin, kan, suka!”
“Kamu itu anak lanang, Lin! Menari itu buat wedok kabeh!”
“Mbaak… anak lanang bisa menari juga, kan, ya?” teriak Lin kepadaku dengan tubuh yang semakin menjauh diseret mboknya, meninggalkan juga buku bacaan lusuh yang digeletakkan di lantai bertanah.
Aku belum sempat membela Lin di hadapan mboknya. Itu yang kusesalkan bahkan sampai masa bakti kami di negeri antah berantah ini selesai. Sebab, sejak saat itu, Lin tidak lagi terlihat. Tidak ada lagi sosok Chairil Anwar cilik yang datang bersamaan dengan deru napasnya yang tak habis-habis.
Aku menatap buku lusuh milik Lin. Bahkan Lin tidak juga kembali hanya untuk sekadar mengambil buku bacaan favoritnya ini. Laila bilang, Lin dibawa lari mboknya, ikut bekerja menjadi TKI ke Taiwan.
Napasku agak sesak memikirkan sosok Lin. Apakah di sana, Lin tetap terus menarikan mimpi dan tekadnya yang tak pernah surut bergejolak?
***
[1] Sajak Hampa, Chairil Anwar, 1943.
[2] Lin! Mau pergi ke mana?
menakjubkan hasil dari jari jemari dan penuaian kata-kata indah….
semangats miss haibelle …..