Dua ekor ular seukuran lengan orang dewasa melingkari pohon besar tepi danau yang dipercaya warga sebagai pohon keramat. Katanya, bila ada binatang menempel di batangnya sampai lebih dari empat puluh hari, akan ada malapetaka datang. Sesepuh desa datang. Komunikasi terjadi antara dirinya dan ular itu. Ia berdiri sebentar, lalu diam agak lama. Seluruh penduduk menunggu apa yang akan ia ucapkan.

“Dia sedang berada di dalam kandungan salah satu perempuan desa ini.”

Seluruh penduduk diam. Para lelaki memastikan tak ada wanita hamil di rumahnya. Pagi harinya, ular itu menghilang.

***

Kehamilan Marini memang tak wajar, begitulah bisik-bisik yang sedang berkembang dari mulut ke mulut. Perut Marini lebih besar dari usia kandungan yang sewajarnya. Ditambah lagi, menjelang malam hingga matahari akan terbit, perutnya rata. Benar-benar seperti tak ada kehamilan di dalamnya.

Perhatian penduduk desa tertuju kepadanya.  Beberapa sesepuh sudah membicarakan tentang hal ini, akan ada sesuatu yang buruk. Marini dan bayinya akan membawa petaka. Tidak hanya untuk kampung mereka saja, tetapi ke banyak kampung di sekitarnya.

Salah satu sesepuh datang kepada suami Marini, Kariman. Lelaki itu tak tahu menahu perihal keanehan ini. Namun tentang desas-desus ular di pohon tempo hari, telah sampai kepadanya. Selepas adzan Maghrib, perut Marini tiba-tiba mengisut, mirip balon gas yang dikempiskan. Lama-lama hilang. Dan setelah matahari terbit, perutnya membesar kembali.

“Ini akan jadi bencana,” ucap sesepuh. Kariman pun tak dapat berkata apa-apa ketika disampaikan bahwa Kariman harus rela berpisah dengan istri dan anaknya, bila dugaan para sesepuh itu benar. Artinya, Marini dan bayinya harus pergi dari kampung sejauh mungkin guna menghindari petaka.

Bahkan ada yang berkata, bahwa janin yang dikandung Marini itu bukan anak Kariman, tapi anak jin. Tak ada yang bisa menyanggah, mengingat Kariman sering bepergian ke luar daerah untuk berdagang. Kariman adalah tengkulak kaya raya di kampung. Semua hasil bumi ia tampung dengan harga murah, dan ia jual kembali ke kota dengan harga berlipat-lipat. Keuntungan dalam sekali perjalanan dagang memang banyak sekali. Selain itu, sawah Kariman terbentang dari ujung timur sampai ujung barat kampung. Sangat luas. Hasil panen pun selalu berlimpah.

Hari yang ditunggu pun tiba. Ketika tengah menjemur pakaian di halaman belakang, Marini merasakan mulas di perutnya. Ia melihat sebercak darah terlihat di celana dalam. Marini segera masuk kamar ketika rasa sakit kian dahsyat. Kemudian, seorang perempuan setengah tua masuk dengan baskom berisi air hangat. Kariman menunggu di luar dengan cemas. Keringat membasahi seluruh tubuh Marini ketika suara tangis bayi itu pecah.

Bukannya gembira, Kariman justru diserang ketakutan. Bagaimana wujud bayi itu? Tanyanya dalam hati. Kariman membayangkan kepala bayinya berbentuk kepala ular, kulit lembut tapi bersisik, dan lidah bayinya bercabang. Belum tuntas ketakutan memenuhi kepalanya, muncul hal lain yang lebih menakutkan. Ia membayangkan Marini, istri yang sangat dicintainya, harus pergi bersama bayi itu. Oh, tidak. Tangis Kariman dalam hati.

Suara tangis bayi tak terdengar lagi di telinga Kariman. Pintu dibuka, dan Kariman dipersilakan masuk. Kariman melihat bayi kecil di atas tempat tidur. Istrinya tak ada.

“Di mana istriku?” tanya Kariman kepada dukun beranak.

Kariman menuju ke arah jendela. Mungkin Marini melompat lewat jendela, pikirnya. Namun jendela tertutup rapat dan masih dalam keadaan terkunci dari dalam.

Kariman lalu menuju kepada bayinya. Dia tersenyum ketika melihat wajah bayi kecil itu. Ia buka jarik pembungkusnya. Hatinya begitu lega ketika mengetahui tak ada yang kurang dari bayinya. Semua normal seperti bayi pada umumnya. Ketakutan Kariman tiba-tiba sirna. Tapi hanya sebentar. Sedetik kemudian, muncul ketakukan lainnya ketika ia menemukan kulit ular di lantai kamarnya.

***

Dukun beranak itu sering dipanggil Mbah Tumbas. Tentang nama aslinya, tak ada yang tahu. Mbah Tumbas tinggal di ujung desa, di sebuah pondok kecil dari papan kayu. Sudah puluhan tahun ia di sana. Dan selama itu pula, Mbah Tumbas selalu membantu persalinan bayi-bayi di kampung, termasuk bayi Marini hari itu.

“Jadi di mana istri saya, Mbah?” tanya Kariman berkali-kali. Mbah Tumbas tetap diam. Kariman nyaris putus asa. Hilangnya Marini secara misterius di malam persalinan itu nyaris membuatnya gila.

Tak ada yang tahu. Banyak sesepuh desa yang dianggap sakti didatangi Kariman untuk sebuah penerawangan, barangkali mereka tahu apa yang terjadi hari itu. Kariman juga mendatangi dukun-dukun. Tak ada yang bisa memberinya jawaban.

Di tengah keputusasaan Kariman, ia teringat sesuatu, bayinya. Ya, bayi itu pasti tahu di mana ibunya, pikir Kariman. Tapi bagaimana bertanya kepada bayi sekecil itu?

Semenjak lahir, bayi itu tak ada dalam pengasuhan Kariman. Ia diserahkan kepada salah satu kerabat istrinya, Utari untuk diasuh. Tak mungkin bagi Kariman untk menjadi bapak sekaligus ibu bagi bayinya. Tak ada pilihan lain kecuali menyerahkannya kepada Utari. Untunglah, Utari menerima bayi Marini dengan tangan terbuka. Kepada Kariman, ia berjanji akan menyayangi bayi itu seperti anaknya sendiri.

Berbekal keyakinan bahwa bayi itu adalah kunci dari hilangnya Marini, Kariman pun berangkat menuju ke rumah Utari yang memakan perjalanan hingga berhari-hari. Ia tinggalkan segala perniagaannya. Kariman sudah tak peduli dengan segala bentuk kerugian. Saat ini bagi Kariman uang tidak penting sama sekali. Yang ia inginkan hanyalah Marini.

Tiga hari Kariman menempuh perjalanan. Pikirannya terus tertuju kepada Marini di beberapa tahun silam. Masih segar di ingatannya tentang Marini yang menjajakan jamu tradisional di pasar tempat Kariman pun menjual dagangannya.  Permpuan muda itu punya sepasang lesung pipi yang cantik. Wajahnya bulat. Dan senyumnya membuat dada Kariman bergemuruh sejak pertama melihatnya. Ditambah lagi, Marini punya mata yang selalu bercahaya. 

Semua tentang Marini membuat Kariman jatuh cinta. Tak ada penolakan dari gadis itu meski usia Kariman hampir sepuluh tahun di atasnya. Bagi Marini yang paling penting adalah keluar dari kemiskinan. Menikahi Kariman adalah satu-satunya jalan. Tujuannya juga  untuk mengangkat derajat keluarganya. Bapaknya hanya buruh di sawah milik pak lurah. Panen tak seberapa. Itu pun masih saja dicuri kawanan tikus. Uang Kariman akan menyelamatkannya dan adik-adik dari kelaparan. Ia pun tak harus bangun di pagi buta lagi untuk meracik jamu.

Lamunan Kariman pecah. Seorang lelaki menyuruhnya turun dari bus. Hari sudah hampir petang, dan ia sudah sampai di pemberhentian terakhir. Kariman turun dan berjalan kaki. Tak ada tujuan. Ia justru merasa asing dengan tempat itu. Namun langkah tetap ia ayun sembari merajut lagi kenangan tentang Marini di dalam pikirannya.

Kariman duduk di sebuah batu besar di pinggir jalan. Ia tak tahu sedang berada di mana. Ada sebuah pohon besar di sana. Anehnya, Kariman tak melihat orang berlalu-lalang lagi. Satu per satu, mereka semua hilang. Kariman pun sudah tak melihat bus yang tadi ditumpanginya.

Kariman mulai kelelahan. Lelah raganya. Lelah hatinya. Lelah pula pikirannya.

***

Setiap malam, penduduk kampung berkumpul di rumah Kariman secara bergiliran. Sudah sebulan ini ia tak pulang. Sanak saudara telah ditanya. Tak ada yang tahu kemana perginya. Kepada salah satu tetangga, ia hanya berpamitan untuk menjenguk bayinya.

Sementara itu, Utari tengah menimang bayi Kariman. Di dalam buaian Utari, sorot mata bayi itu bercerita:

Ibuku dan bapakku sedang tersesat.

Tatapan Utari pun menjawab: Mereka sedang menjalani takdir mereka. Perjanjian dengan iblis tak bisa dibatalkan.

Bayi itu menangis. Utari terus menimangnya tanpa menyadari sisik-sisik kecil mulai tumbuh di kaki kecil yang mungil itu. Lidahnya terbelah dua. Dan kepalanya mulai berubah bentuk.

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<