KURUNGBUKA.com – (16/02/2024) Takdir dimiliki sejak kecil. Yang dialami adalah keajaiban sekaligus “keangkuhan”. Ia yang mengerti kata dan membuat orang-orang di sekitarnya dipermainkan kalimat-kalimat buatannya. Bahasa yang membuat ia dewasa, mendahului umurnya.
Takdir itulah yang membuatnya bisa menghadapi keluarga dan siapa saja asal mahir dalam berkata. Ia yang bernama Jean-Paul Sartre telanjur mencipta surga-nerakanya dengan kata-kata.
Keberuntungan miliknya yang hidup di Eropa. Benua yang memiliki kelimpahan buku, pemujaan bahasa, dan kegirangan bersastra. Dunianya sudah dibentuk duluan, sebelum pengembaraannya dalam kata. Susah-payahnya tidak seperti anak-anak di benua-benua lainnya.
Maka, kita jangan heran dengan pengakuannya: “Kehidupanku telah kuawali seperti rupanya aku akan menutupnya: di tengah buku-buku.” Ia bukan anak yang bermain di sawah atau sungai yang alamatnya di Jawa. Sartre berada di pusat filsafat dan sastra, yang bertumbuh “menguasai” dunia.
Ibadah terlalu dini sudah dilaksanakan. Ibadah penuh ketakjuban dan kebingungan yang indah. Anak itu belum bisa membaca. Namun, hidupnya untuk buku-buku. Yang teringat oleh Sartre: “Buku-buku itu kusentuh dengan sembunyi-sembunyi agar memberkati tangan-tanganku dengan debunya…” Ia yang memiliki keluarga bersama buku-buku.
Ia bukan anak berlumpur di sawah tapi anak yang “berlumpur” buku di ruang-ruang yang beradab. Matanya untuk buku-buku. Pengabdian dimulai dengan segala keberuntungan dan permainan-permainan yang seru. Ia memberikan dirinya sepenuhnya kepada buku-buku.
Sartre yang dewasa akhirnya “memenuhi” dunia dengan buku-bukunya. Ia yang membalik masa lalunya menjadi masa depan mentereng.
(Jean-Paul Sartre, 2009, Kata-Kata, Kepustakaan Populer Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<