Terdengar sangat apokaliptik, seperti memasuki era baru. Kita bisa lihat pemerintahan otoriter sedang muncul dan mereka menggunakan politik kebencian dan ketakutan ini di Facebook. Lihat Brazil, ada ekstrimis sayap kanan yang terpilih. Dan kita tahu bahwa Whatsapp, yang merupakan bagian dari Facebook, jelas terlibat dalam penyebaran berita palsu di sana. Dan lihat apa yang terjadi di Myanmar. Ada bukti bahwa Facebook digunakan untuk menghasut kebencian rasial yang menyebabkan genosida.
.Ini tentang membangkitkan rasa takut dan kebencian untuk mengubah negara melawan dirinya sendiri. Politik adu domba. Platform yang dibuat untuk menghubungkan kita kini telah berubah menjadi senjata. Tidak mungkin mengetahui fakta sebenarnya, karena itu terjadi di platform yang sama di mana kita mengobrol dengan teman atau berbagi foto bayi kita. Tak ada yang seperti kelihatannya.
(Carole Cadwalladr, jurnalis The Guardian dalam wawancaranya di The Great Hack)
Film, seperti buku, adalah realitas lain yang asyik untuk diselami. Sebuah film tidak cuma menyajikan sinematografi yang apik, alur cerita yang baik, tapi ada nilai-nilai yang bisa disemai di sana. Kali ini saya tertarik membahas film The Great Hack yang rilis resmi di Netflix pada 24 Juli 2019 lalu. Film bergenre dokumenter ini di awal adegan menggambarkan keresahan David Carroll, profesor dan pengacara hak-hak digital, setelah mengetahui bahwa data pribadinya disalahgunakan untuk kepentingan kampanye salah satu kandidat pada pemilu Amerika 2016 lalu. Investigasi independen mendalam yang dilakukan David mengantarkannya pada kesadaran akan pentingnya perlindungan data pribadi di dunia maya.
Pada perjalanan menggugat Cambridge Analytica/SCL (selanjutnya disingkat CA) dan meminta kembali data pribadinya, David tidak sendirian. Ada nama-nama lain, seperti Carole Cadwalladr, jurnalis The Guardian yang mengungkap skandal CA; Britany Kaiser, dan Christopher Wylie, duo mantan pembesar CA yang kemudian Insyaf dan berusaha menebus dosanya dengan mengungkapkan sepak terjang perusahaan firma analis data Amerika itu di berbagai belahan dunia dalam merancang skenario manipulasi sosial. Salah satunya diterangkan dalam film ini bagaimana CA berhasil merekayasa pemilu di Trinidad & Tobago pada 2009 lalu, dengan membuat sebuah gerakan bernama “DO-SO” untuk pemilih muda di sana agar bersikap apatis dan tidak memilih pada pemilu. Pada akhirnya gerakan itu membuat Kamla, kandidat yang memakai jasa CA keluar sebagai pemenang pemilu di sana.
Saya memberi highlight pada dua paragraf awal di atas karena sepanjang dua jam lebih durasi film dokumenter yang disutradarai Karim Amer dan Jehane Noujaim ini, kata-kata dari Carole Cadwalladr di atas sangat menghentak kesadaran saya sebagai generasi yang tumbuh besar di tengah era Facebook sebagai kenyataan tak terelakan. Untuk ukuran film dokumenter, film ini rasanya terlalu berat. Minimal saat sedang menonton kita bisa sambil googling nama-nama dan isu-isu yang film ini bicarakan agar paham runut alurnya. Misalnya tentang skandal Cambridge Analityca, kasus kebocoran data puluhan juta pengguna Facebook dan kaitannya dengan pemilu Amerika 2016 lalu.
Ribet, memang. Itu juga yang saya lakukan saat menonton film tersebut. Tapi, di sini saya tidak akan mengulas rinci alur dan cerita filmnya karena sudah bisa kita tonton di Netflix dan situs-situs nonton film lainnya. Nanti dibilang spoiler oleh yang belum nonton. Sekadar menawarkan pembacaan lain atas film dokumenter keren ini.
Peradaban informasi: Sebuah kemajuan atau sekadar prelude menuju kehancuran?
Hari ini arus kemajuan teknologi mewujud realitas yang mendarah daging dengan kehidupan kita dan perubahan yang dibawanya sangat tidak terbendung. Koneksi internet, ponsel pintar, bahkan aktivitas googling seperti sudah jadi kebutuhan banyak orang. Perubahan terasa kian menderas kencang setelah teknologi dan informasi ikut ambil peranan. Lalu ‘keterhubungan jadi kebutuhan baru yang amat candu. Ya, selamat datang di dunia yang selalu terhubung! Namun kenyataannya, anugerah hiperkonektivitas yang kita nikmati sekarang memiliki sisi lain diselubungi kegelapan pekat. Kegelapan yang sukar kita sadari namun berdenyut dalam ruah aliran darah kemajuan kita. Kegelapan yang beririsan dengan pengalaman hidup terhubung saat ini.
Penyalahgunaan data pengguna untuk keperluan kampanye, penargetan individu untuk kepentingan iklan, merebaknya hoaks di mana-mana, provokasi sentimen rasisme melalui perangkat media digital, perpecahan yang disebabkan isu politik di internet, serta serba-serbi lain yang berkelindan erat dengan masalah privasi. Karena itu, dampak terburuk yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi dan informasi adalah serpihan-serpihan dari kegelapan tersebut. Semua itu dibahas dalam The Great Hack. Film dokumenter ini berusaha membangunkan penontonnya dan menghempaskan kesadaran ke benak kita akan maujud-nya sebuah era baru. Shoshana Zuboff, penulis buku The Age of Surveillence Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019), menyebut era saat ini sebagai peradaban informasi. Era yang mendapuk kapitalisme sebagai The Big Others yang mengawasi, mengolah, dan memprediksi perilaku (profiling) pengguna kemudian menambangnya mewujud profit belaka.
Pengalaman dunia terhubung dan digitalisasi segala aspek kehidupan saat ini membawa kapitalisme pada bentuk barunya. Dia tidak mati, hanya berganti baju saja. Citra lama (old image) kapitalisme yang Karl Marx sebut sebagai vampir penghisap tenaga kerja, kembali hidup dalam bentuknya yang jauh lebih anyar dan halus, tapi dengan daya rusak lebih dahsyat! Teknologi dan informasi menjadi kekuatan produktif terampuh dan terdepan bagi kapitalisme kini. Shoshana Zuboff menyebutnya kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism). Zuboff menulis dalam bukunya itu:
Digital connection is now a means to others commercial ends. At its core, surveillance capitalism is parasitic and self-referential. It revives Karl Marxs old image of capitalism as a vampire that feeds on labor, but with an unexpected turn. Instead of labor, surveillance capitalism feeds on every aspect of every humans experience. (TASC. 2019)
Kapitalisme pengawasan telah jauh menyelusup ke tiap-tiap inci pengalaman manusia modern. Setelah mengetahui fakta di atas, lalu apa kita pikir remah-remah digital kita menguap lenyap begitu saja? Patut disayangkan karena jawabannya adalah TIDAK! Ada nilai ekonomis di sana yang nominalnya superfantastis. Rekam jejak digital individu dikumpulkan; dari satu individu ke individu lain dan individu lainnya. Begitu seterusnya. Kecemasan, ketakutan, mimpi-mimpi, hingga makanan favorit, kesukaan, dan hobi bahkan tombol like, browsing history, berita yang dibaca, gesekan kartu kredit dan segala aktivitas lainnya, semuanya diawasi, terekam. Tidak menguap hilang begitu saja ke langit.
Kumpulan data individu itu pun kemudian menjelma sebuah komoditas bernilai triliunan dolar per tahun, mengalahkan nilai komoditas minyak. Para pengiklan bisa mendapatkan akses ke sana untuk membaca perilaku kita, memprediksinya dengan akurat, kemudian menjejalkan iklan-iklan sesuai dengan karakter kita dan bisa kita lihat di tiap sudut tampilan media sosial. Dengan kata lain, sebuah lingkaran setan baru yang lebih mutakhir dan modern telah tercipta.
Semua berawal dari mimpi indah tentang dunia terhubung. Lingkaran setan itu berdiri kokoh di atas pijakan dasar: akumulasi modal! Bayangkan, dari kegiatan seseorang di dunia maya berbekal jari, kuota dan ponsel pintar, ada pihak lain yang meraup keuntungan luar biasa. Di Facebook, Twitter, dan platform digital lainnya, orang-orang berapi-api mengumbar kebencian. Menghabiskan energinya untuk menghasut, memprovokasi. Sebagian tersulut, turun ke jalan-jalan. Orang yang lain sampai adu jotos karena beda pilihan, yang lain dipersekusi, yang lain lagi rusak hubungan pertemanannya, bahkan rusak hubungan keluarganya. Dahsyat sekali!
Sementara nun jauh di sana, segelintir manusia meraup keuntungan luar biasa dari kesia-siaan atau bahkan dari kerugian kita! Perpecahan di masa pra-pilpres 2019 adalah contoh nyata bagaimana manusia Indonesia, secara sadar dan gegap gempita, mempertontonkan kualitasnya di beragam platform digital. Masyarakat terbelah. Terpecah. Kebencian mengemuka dan seolah jadi gaya hidup baru. Semua berawal dari jempol kita. Dari like, komen, dan share yang kita lakukan di Facebook; dari tweet, retweet, mensyen di Twitter; dari like, komen, dan subscribe di Youtube; dari aktivitas broadcast di WhatsApp. Siapa sangka dari serangkaian aktivitas yang tampaknya sepele itu akan membawa masalah serius pada kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini?
Data sebagai jenis kekayaan baru
Hari ini perlindungan data pribadi agaknya menjadi masalah serius dan mendesak untuk dicarikan betul-l solusinya. Masalahnya, seperti yang diungkapkan Jenny Silvia Sari dari LBH Jakarta, kesadaran masyarakat untuk melindungi data pribadinya masih sangat rendah.
Kesadaran yang rendah itu diperparah dengan kecenderungan narsistik berlebihan dalam bermedia sosial. Sedikit-dikit update, sedikit-dikit upload. Putus cinta, unggah quote-quote bijak, curhat sampe berbusa-busa, sampai berdoa saja di media sosial. Emang Tuhan main medsos, neng? Upload-update-upload-update, like-komen-like-komen. Seolah siklus hidup berputar di sekitar itu-itu saja. Bagaimana penargetan individu dan prediksi perilaku/profiling yang pihak ketiga lakukan nggak berhasil kalau sudah seintim itu dengan realitas maya?
Presiden Joko Widodo pada kesempatannya dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPD dan DPR RI mengatakan bahwa data merupakan jenis kekayaan baru.
“Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak,” kata Jokowi di Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2019.
Data lebih berharga daripada minyak? Kenapa persis banget sama penjelasan di The Great Hack? Apa presiden kita sudah nonton The Great Hack? Bisa jadi. Mungkin. Biar saya kutipkan penjelasan Britany Kaiser, mantan Direktur Pengembangan Bisnis Cambridge Analytica, yang mendapat scene paling banyak di The Great Hack setelah David Carroll.
“Perusahaan paling kaya kebanyakan (adalah) perusahaan teknologi. Google, Facebook, Amazon, Tesla. Alasan mereka menjadi perusahaan paling kuat di dunia karena nilai sebuah data melebihi harga minyak. Data adalah aset paling berharga di dunia.”
Sebagai penutup, saya ingin berbagi sebuah refleksi. Di sudut-sudut jalan kita biasa temukan para sales menawarkan produk jualannya dengan bahasa yang fungsional, gaya komunikasi yang kaku, dan senyum yang dipaksakan. Mereka tidak mau peduli kondisi kantong kita atau butuh tidaknya kita dengan produk yang mereka jual. Hal mereka tahu, barang laku, memenuhi target penjualan, dan dapat komisi. That’s it! Rasionalitas tujuan (Zwekrationalitaet) yang bersifat mekanistik, mempersetankan rasionalitas nilai (Wetrationalitaet). Nilai kearifan serta norma-norma agama, budaya, tradisi, adat istiadat, dan lainnya, tak berarti di mata kapitalisme. Kalaupun ada slogan atau ungkapan terlihat humanis, bijak, dan sejenisnya dalam iklan-iklan yang biasa kita dapati, ujung-ujungnya cuma buat narik duit. Sebab rasionalitas tujuan (akumulasi modal) adalah yang utama.
Sebagai pribadi yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agung itu dan kerap mengutip ayat-ayat kitab suci dalam segala kondisi, pasti kontradiktif saat mendapati bahwa diam-diam, kemajuan zaman sudah membuat kita menanggalkan nilai-nilai itu secara sadar atau tidak, secara sukarela atau kelepasan belaka. Jauh, selangkah demi selangkah, nilai-nilai itu kita tinggalkan, berbekal jari, kuota, dan ponsel pintar, yang mungkin kepintarannya sudah melampaui kita.