Judul Buku   : Sebelum Lampu Padam
Penulis         : Abdul Aziz Rasjid
Penerbit       : Pelangi Sastra
Cetakan        : Mei 2020
Tebal             : xviii + 166 Halaman
ISBN              : 978-623-7283-52-2

Sastra, di satu sisi, menjadi alat bagiku untuk mengekspresikan perasaan. Sedang di sisi lain, pertemuan dengan teks sastra yang bertitik sentral pada cinta menertawakan cinta sebagai fenomena universal yang bersinggungan dengan fenomena-fenomena universal—mulai dari situasi politik, keadaan ekonomi, juga budaya.

Berbicara tentang sastra, tak ada yang lebih konkret kecuali pengalaman membaca itu sendiri. Dengan membaca pada akhirnya seseorang dapat melahirkan cerita (baru) kembali—entah ia akan diceritakan kembali kepada teman, pacar, keluarga, laporan penelitian ilmiah, bahkan esai. Upaya mengartikulasikan pengalaman seorang pembaca sastra tentu sedemikian acak—barangkali itu yang membuatnya tetap hidup, posisinya selalu tarik ulur soal ‘kebenaran tafsir’ dan internalitas teksnya—tidak heran jika pemaknaan (signification) jamak. Tapi, yang jelas (bacaan) sastra selalu tumbuh sebangun dalam sirkuit bolak-balik antara eksternalitas dan internalitas, dari paling dasar tentang mengapa sastra ditulis hingga bagaimana dan untuk siapa sastra diproduksi, didistribusikan, diresensi, dikontrol, diperdebatkan di sebuah arena yang dinamis. Barangkali, di sanalah letak kritik sastra.

Seperti kutipan di atas, sengaja saya nukilkan dari pengantar sehimpun esai dalam buku Sebelum Lampu Padam karya Abdul Aziz Rasjid terbitan Pelangi Sastra Malang tahun 2020, berisi 23 esai. Buku ini dibagi menjadi empat fragmen yang sengaja disusun untuk merentang fase perkembangan pribadi si penulis sebagai usaha; “bercakap-cakap dengan diri sendiri, memaknai masa silam, konflik batin, serta kepentingan untuk mengontrol pengalaman”. Si penulis seperti hendak menjangkarkan sastra semesta yang ia jejaki, tinggali, dan mengerti untuk mengidentifikasi diri maupun dunia di sekelilingnya.

Hari Rabu Paket Datang

Sekitar pukul tiga sore, paket mendarat di rumah berkat keringat jasa ekspedisi. Saya membuka paketan dan sengaja tidak membacanya sebelum jelang tidur. Kali ini saya tidak mau taat aturan main pengatar, membaca sesuka dan sesuai suasana hati (selektif). Saya benar-benar ingin membaca sebelum tidur. Esai pertama, Kisah Silat dan Riwayat Kesunyian hendak membingkai tokoh Pendekar Tanpa Nama di novel Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma, dengan meneropong potensi paling radikal kesunyian seorang pendekar sebagai upaya subversif rakyat jelata terhadap upaya eksklusi pihak lain, yaitu persaingan antar para pendekar, penepian di gua, sampai kontrol kerajaan Mataram. Dan itulah kiranya mengapa tokoh Pendekar Tanpa Nama menyembunyikan identitasnya, selain bertahan hidup juga menarasikan sejarah di luar tembok keraton. Meski sebagai gantinya, sejarah dirinya tidak dikenali siapapun. Persis di titik ini, jalan asketik seseorang pendekar dalam kesunyian yang radikal dan subversif. Atau jika premis tersebut dibalik: perlawanan adalah sunyian!

Lagi, kamis dini hari, saya membuka halaman 52 berjudul Puisi, Perempuan, dan Kekuasaan, sebuah judul lazim dipakai penulis yaitu men-juxtapose-kan antara biografi asmara penyair Amir Hamzah dan Lilik Sundari kala bermain drama Siti Nurbaya disutradarai Armin Pane semasa sekolah di jurusan Sastra Timur, Middelbare School (AMS) Sala. Panggung drama (fiksi) memiliki potensi ‘merapal’ masa depan asmara mereka (fakta). Jika Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, takdir cinta Amir dan Lilik pun pupus, bukan karena terlilit hutang seperti Datuk Maringgih, melainkan hutang lain yaitu politik balas budi—ayah Kamelia si Sultan Langkat yang berjasa menyekolahkannya ke Batavia—dan (hutang) tanggung jawab putra daerah—menyelamatkan Kerajaan Langkat dari ancaman penghisapan minyak bumi oleh kolonial Belanda. Rasjid seperti ingin mengatakan, meski malu-malu, bahwa fiksi dapat menjadi ruang simbolik bagi pembaca, tersugesti, atau terarsipkan di alam bawah sadar seseorang, atau fiksi dan fakta adalah simptom zaman, seperti kedua pasangan itu tinggal—era feodalisme dan kolonialisme. Maka di sanalah, potensi fiksi menjadi fakta.

Namun saya atau pembaca lainnya, esai ini cukup problematis atau bias merakit perspektif perempuan. Kita tidak mendapatkan perspektif perempuan (it self) secara lebih kritis—bagaimana perempuan memandang dirinya, cinta, pasangan, dan realitas dunia waktu itu, baik Lilik atau Siti diam dipandangi laki-laki, misalnya “Bagi Amir, Lilik Sundari adalah perempuan menginspirasinya”, “Amir kerap menyebut Lilik sebagai Teja dalam puisinya-puisinya”, “Amir lebih memilih adat-istiadat hutang budi”, dan seterunya. Alih-alih mengetengahkan perempuan dan kekuasaan, bisa jadi sebaliknya membentuk kuasa atas perempuan (objektifikasi).

Terlepas dari itu, perlu diakui kepiawaiannya menarik keluar objek formal, dikait dengan teks-teks lain (asosiatif)—tidak melulu menjalankan kutub kritik sastra besar close reading—sebagai moda pembacaan sekaligus kritik sastra menarik, menampik jargon vulgar macam new historcism, literally criticism, postructuralism, dan sebagainya. Alih-alih nyrempet menggunakan pendekatan tersebut, Rasjid menduduk posisikan retorika sebagai tulang punggung esai-esainya menjelaskan satu topik dan isu secara kritis. Kritis yang saya maksud, membuat bingkai dari teks dan konteks. Baiklah, kelopak mata mulai terasa berat terkatup-katup. Pengalaman ini akan jadi bekal membaca di malam berikutnya.

Malam Minggu dan Kisah di Sekitar Sastra

Empat hari lalu badan rasanya capek sekali, tak sempat membaca esai ini lagi. Tapi malam minggu Pak Mustakim, seorang guru bahasa di Sekolah Menengah menahkodai hasrat para siswa di kota Malang memasuki dunia sastra, meminta untuk dibaca. Guru berpeci hitam mirip Soekarno digambarkan bagai paus kecil sastra Indonesia bagi mereka para siswa di kota itu. Kelas sekejap terhenyak ketika bapak berpeci membaca puisi, menulis beberapa majas di papan tulis, mengisahkan pengarang, memberi tugas membaca sastra, di lain pihak para siswa sibuk mencari bahan bacaan ke perpus, dan seterusnya. Buat Rasjid, sebagai sosok atau fungsi penopang sastra Indonesia sering diabsenkan di percakapan sastra secara umum.

Diungkap dengan gaya cukup romantis—tanpa kelihangan bobotnya—esai menjadi satu situs sejarah; bagaiamana sastra Indonesia dibumikan melalui lembaga pendidikan! Ironisnya, profesi guru sastra kurang mentereng dari profesi kebanyakan. Di satu sisi, lembaga pendidikan sastra menyimpan problematikanya, soal kuasa-kepentingan kurikulum, materi ajar, dan tersturktur dan sistemik. Jika sejarah adalah soal produksi dan reproduksi, Pak Mustakim adalah produk sejarah yang dibentuk melalui kurikulum sebelumnya, bacaan sastra, sejarah sastra, dan seterusnya. Sebenarnya, Pak Mustakim seperti guru pada umumnya, bahan (bacaan sastra) atau metode ajarnya kovensional (sentralitas pengetahuan guru), akan tetapi komando guru kepada siswa justru membuat curious penulis menjelajahi semesta bacaan sastra lainnya.

Seperti malam sebelumnya, ketika beradapan-hadapan dengan sastra, Rasjid selalu mencari titik intip, masuk perlahan, sembari mengambil jarak (distance) dan menekan narasi di sekitarnya. Pengambilan jarak ini bukan berarti mencari satu kata (O)bjektif melainkan (o)bjektif—yaitu proses ia memberikan jangkar pada penglaman-pengalaman pribadinya, baik bersifat kolektif maupun individu. Sebab, pengalamannya subjektifnya tidak pernah tunggal namun terbatas, misal siswa, pembaca sastra, jurnalis, dan bapak rumah tangga. Kerena ia sadar dirinya terbatas, ia seolah ingin keluar-masuk bermain-main dengan doktrin besar sejarah pemikiran tentang, objektif-subjektif, internal-eksternal, singular-plural, universal-partikular, dan sebagai gantinya identitas adalah basis pembacaannya.

Strategi tersebut kembali saya dapati usai membaca esai sentimental bercampur heroik tentang 10 buku dan gejolak kehidupan rumah tangganya, selepas ia keluar dari dunia jurnalis berjudul yaitu Buku dan Cermin Keluarga: Surat Buat Ann (bisa jadi seluruh esainya). Eksplisit, ia hendak menyitir buku adalah kehadiran lain yang bersama membangun sebuah keluarga, demikian pandanganya: “Begitulah sepuluh buku yang kuhamprakan sebagai bayangan cermin kealurga kita. Tentu tak ada kebahagiaan paling sempurna, selain kita berdua menjadi tua bersama dan menatap anak-anak tumbuh dewasa menguasai banyak hal yang bermanfaat bagi banyak orang”.

Jika kita melihat, dari beberapa esai, di sudut ini penulis mempercayai pengalaman dan dirinya (evidence, reality, data, atau emosi) dalam keterikatannya yang temporal, tidak dapat diulang, dan spontan, menentukan seluruh pemaknaan terhadap sastra—sepertinya dengan demikian ia punya mata pisau analisis yang nyaris baru dalam membaca sesuatu yang baru. Sementara kita sebut saja penulis menjadikan identitas sebagai jangkar atas sastra atau mencari konteks. Kejamakan identitasnya sebagai bapak rumah tangga, jurnalis, siswa, pembaca sastra lama, dan seterunya, cukup menentukan ke mana arah tulisan dimulai. Malam itu, rasanya buku-buku di rak berkelebat, terbuka satu persatu.

Semenit Sebelum Minggu Pagi Usai

Tapi btw, setelah dari dua malam membaca esai Rasjid saya akhirnya bertanya-tanya; Apakah ada satu metode(logi) atau konsep teoretis yang dapat menampung dan menjelaskan fenomena sastra secara menyeluruh; tidak hanya objek sebagai bacaan itu sendiri melainkan juga pembaca, penerbit, toko buku, guru, perpustkaan, buku loak, kurikulum, profesi, pengalaman keseharian, pecinta buku, pengirim paket, dan sebagainya. Tentu ini mustahill. Barangkali keleluasaan esai—subjektif, artikulatif, dan segmentatif topik—meski tidak selalu tuntas namun mengajak kita untuk bercerita kembali. Tapi, sastra di mata Rasjid adalah upaya dialektis antara identitas dirinya dan dunia luar (sastra).