Bunyi sirene yang membangunkannya pagi ini terdengar begitu nyaring dan berdengung. Ia merasa pusing. Ingin sekali ia menyumbat kedua lubang telinganya dan kembali memejamkan mata dan terus berbaring di tempat tidur. Namun, itu bukan pilihan yang baik. Lebih tepatnya, bukan pilihan yang bijak. Ia tahu sesuatu yang buruk akan menimpa bukan saja dirinya, tetapi juga ayah dan ibunya serta adik-adiknya jika ia malah bermalas-malasan usai mendengar bunyi sirene dan teriakan itu. Banyak kasus bisa dijadikan contoh. Bahkan, rumor yang beredar mengatakan: hukuman bagi mereka yang malas dan tak patuh itu bukan main menyakitkannya.
Ia bisa mendengar orang-orang di rumahnya telah bangkit dan mulai beraktivitas. Ibunya, tak lama lagi akan memasak di dapur, sementara ayahnya akan membersihkan garasi, dan adik-adiknya akan merapikan ruang tamu dan menyapu teras. Ia sendiri, seperti yang sudah-sudah, akan diminta ibunya membersihkan kamar mandi dan mengisi bak hingga penuh. Menyusahkan saja, pikirnya. Sementara ia masih terus mengeluh sambil mengumpulkan kesadarannya, teriakan itu terus terdengar dan terdengar, seperti semakin nyaring dan semakin berdengung saja setiap detiknya, membuatnya tambah pusing dan tambah enggan beranjak. Suatu hari nanti aku akan meninggalkan kota ini. Aku akan meninggalkan kota ini dan tak pernah kembali lagi ke sini, pikirnya. Dengan gerakan yang teramat malas, ia bangkit dari tempat tidur dan menuju pintu.
Suatu kali di sekolah ia pernah mengutarakan keinginannya itu kepada teman-temannya. “Hidup selamanya di kota ini, harus mematuhi aturan-aturan tak masuk akal yang berulang kali disampaikan para guru? Yang benar saja!” ujarnya. Teman-temannya memandanginya dengan sorot mata penuh kecemasan, dan mungkin juga ketakutan. Mereka mungkin teringat pada kisah-kisah yang kerap diceritakan para guru tentang orang-orang yang menolak mematuhi aturan dan akhirnya harus menjalani hukuman bukan saja dari pemerintah kota, tetapi juga dari para penghuni kota: dikucilkan, diabaikan, dianggap tak ada.
“Banyak bertanya itu salah satu tanda bahwa seseorang penuh keraguan, dan penuh keraguan adalah salah satu tanda bahwa seseorang akan senantiasa menderita.” Begitulah salah seorang guru di sekolahnya pernah berkata. Mengunyah pernyataan seperti itu, ia merasa gendang telinganya menggeliat-geliat gatal, dan ia pun mengorek-ngoreknya dengan telunjuk.
Beberapa kali ibunya pernah memintanya untuk memperbaiki sikapnya ini, untuk berhenti menjadi seorang pembangkang. Perempuan itu cemas, bahwa kendatipun sampai detik itu nasib baik masih berpihak pada anaknya, tetapi suatu hari bisa saja anaknya itu bernasib sial dan hukuman-hukuman itu pun menimpanya. Ia selalu mengangguk-angguk saja di hadapan ibunya, tetapi setibanya di kamar ia akan bersungut-sungut dan mencemooh ketidakberdayaan ibunya. “Sudah dewasa, tetapi kok tidak berani mempertanyakan yang sudah semestinya dipertanyakan.” Begitu ia bergumam. Kepada adik-adiknya ia kerap diam-diam membiasakan mereka untuk bersikap skeptis dan terus bertanya. Kepada ayahnya, ia pernah berkata bahwa para guru di sekolah adalah orang-orang dungu.
Sebenarnya, sampai dua tahun yang lalu, ia memiliki seorang kakak. Perempuan. Sama sepertinya, kakaknya itu anak yang penuh rasa ingin tahu dan gemar bertanya. Di rumah, setiap kali mereka bercakap-cakap, ia akan dibawa kakaknya itu menyelami satu demi satu misteri, mengungkap satu demi satu kejanggalan, menerobos batas-batas yang ditetapkan suci dan tabu oleh para guru di sekolah. “Kau dan aku, kita semua yang ada di kota ini, sebenarnya tak punya alasan untuk hidup dengan cara mematuhi perintah orang lain, sebab kita manusia sejatinya adalah makhluk bebas: kita sendiri yang menentukan jalan hidup seperti apa yang kita pilih. Mengikuti perintah, menjadi bagian dari kerumunan, hanya akan membuat kita kehilangan diri kita sendiri. Dan, ketika kita telah kehilangan diri kita sendiri, yang tersisa hanyalah kerumunan itu.”
Begitulah suatu hari kakaknya pernah berkata. Ia membenarkannya. Ia bahkan selalu ingat sorot mata kakaknya yang begitu tajam dan penuh sinar saat mengatakannya. Ketika akhirnya kakaknya itu pergi dan tak kembali lagi, ia masih sesekali membayangkan percakapan mereka itu. Ia merasa kakaknya itu selalu hadir di sampingnya menemaninya, meskipun sosoknya kini entah di mana.
Tentang kepergian kakaknya itu, ayahnya berkata bahwa pihak sekolah memutuskan untuk mengirimnya ke sebuah sekolah di luar kota, dalam rangka pertukaran pelajar. Ia tak memercayainya. Rumor-rumor beredar liar di sekolah. Bahkan teman-teman sekelasnya sendiri ada yang memberitahunya beberapa berita miring yang konon mereka dapatkan dari orang tua mereka. Misalnya: kakaknya itu meludahi muka seorang guru dan menendang kemaluannya dan akibatnya ia dihukum berat, dibawa ke sebuah tempat semacam penjara dan ditahan di sana. Atau: kakaknya itu tertangkap basah tengah melakukan tindakan asusila dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya—mungkin salah satu guru?—dan ia pun dikenai hukuman yang teramat berat sampai-sampai ia mati. Tak ada yang mendingan. Ia sendiri sesungguhnya sulit memercayai kabar-kabar tersebut mengingat di matanya kakaknya adalah sosok yang positif dan nyaris sempurna. Ia pun akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan, yang sebenarnya hanyalah dugaannya saja, kakaknya itu, suatu hari, pernah berusaha disetubuhi oleh salah seorang guru, tetapi ia melawan dan guru tersebut terluka, dan begitulah guru tersebut mengarang cerita bahwa kakaknya itu melakukan tindakan asusila dengan seseorang dan untuk itu ia dikenai hukuman yang benar-benar berat, seperti ditahan bertahun-tahun atau ditembak mati.
Sejak kepergian kakaknya, yang agaknya akan selamanya menjadi misteri itu, ia semakin membenci sistem kehidupan yang dijalankan di kota ini, dan semakin berniat untuk meninggalkan kota ini suatu hari nanti. Jika memungkinkan, pada saat ia pergi itu ia ingin membawa serta kedua adiknya, juga ayahnya, juga ibunya. Dari salah seorang teman sekolahnya ia pernah mendengar cerita tentang sebuah keluarga yang tiba-tiba lenyap di suatu pagi: rumah mereka kosong dan sampai bertahun-tahun kemudian pun rumah itu tetap kosong. Menurut cerita itu, peristiwa aneh tersebut terjadi berbelas-belas tahun lalu. Konon, keluarga itu berhasil keluar meninggalkan kota lewat sebuah jalan rahasia, yang mungkin hanya diketahui oleh sedikit orang saja. Ia sungguh senang jika jalan rahasia itu memang ada.
___
Ia telah selesai membersihkan kamar mandi dan kini tengah mengisi bak. Ia menyimak bunyi yang dihasilkan air yang meluncur deras dari keran, yang dengan cepat membentur dasar bak mandi dan menghasilkan buih-buih putih yang seperti hidup. Kurasa, seperti inilah aku ini, pikirnya. Di dalam benaknya ia membayangkan di dalam dirinya ada sebuah keran yang selalu terbuka dan mengalirkan air dengan deras dan tak henti-henti, yang kemudian membuatnya tak bisa diam saja dan menerima, tetapi justru terus mempertanyakan dan mencari tahu. Sesuatu di dalam diriku terus mengalir. Sesuatu di dalam diriku terus terisi dan terus mengalir. Begitu ia berpikir. Ketika akhirnya bak mandi penuh, ia menutup keran dan meninggalkan kamar mandi dan menuju dapur.
Ibunya telah selesai memasak dan ia melihat perempuan itu tengah menatap hidangan di meja makan. Tak lama lagi, ayah dan adik-adiknya akan berkumpul di meja makan itu, dan mereka akan bersama-sama memanjatkan doa-doa dan puja-puji sebelum akhirnya melahap apa-apa yang ada. Dan seperti biasa, akan ada sebuah kursi yang dibiarkan kosong, juga sebuah piring dengan sendok-garpu dan sebuah gelas yang dibiarkan kosong, tepat di hadapan kursi tersebut. Mereka melakukannya untuk mengenang kepergian kakaknya. Ia tahu itu. Di tengah-tengah melahap hidangan, ibunya akan sesekali menoleh ke arah kursi kosong itu, dan sepasang matanya akan tampak sayu. Ia sendiri suka menoleh ke arah kursi itu dan mengamatinya beberapa lama. Ia membayangkan sosok kakaknya itu ada di sana, dan melahap hidangan yang ada, dan sesekali balas menatapnya dengan sorot mata penuh cahaya.
Terakhir kali kakaknya berada di kursi itu, dua tahun yang lalu, sebuah bunyi sirene tiba-tiba terdengar. Bunyi sirene pagi itu sedikit lebih nyaring dari biasanya, dan durasinya pun sedikit lebih lama; seperti ada ancaman atau peringatan yang menyertainya. Mereka, di meja makan itu, langsung menghentikan aktivitas makannya. Ayahnya dan ibunya saling menoleh dan tampak ketakutan. Adik-adiknya, yang tentulah masih kecil-kecil dan tak tahu apa-apa, hanya menoleh ke sana kemari, mengharapkan seseorang bicara. Sementara kakaknya, yang saat itu berada persis di sebelah kanannya, hanya menunduk. Ia tidak terlihat cemas atau takut. Namun, ia pun tidak terlihat rileks. Dengan kata lain bunyi sirene itu mengusiknya, mengganggunya, bahkan mungkin menghantamnya. Tak lama kemudian kakaknya itu menatapnya dan tersenyum, dan mengatakan sesuatu tanpa menyuarakannya. Gerakan bibir kakaknya itu ia pahami sebagai ini: “Ingat, kita tidak hidup untuk sekadar menjadi bagian dari kerumunan.”
Jadi, rupanya itulah kata-kata terakhir kakaknya. Ia merasa aneh baru menyadarinya sekarang, seolah-olah pagi kemarin dan pagi kemarinnya lagi dan pagi-pagi sebelumnya tak pernah ada. Apakah ini firasat? Hmm… Ia tersenyum pahit. Jika memang pagi ini ia akan mendengar bunyi sirene yang sama dengan dua tahun lalu, ia berharap, saat itu ia bisa menunjukkan reaksi yang sama dengan reaksi kakaknya.
___
Sekitar seminggu sebelumnya, di sekolah, ia melakukan sesuatu yang membuatnya menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya. Saat itu seorang guru sedang mengajar, dan ia mengangkat tangan lantas mempertanyakan apa yang tengah dilakukan sang guru tersebut. Apa yang dilakukan sang guru saat itu adalah menjelaskan kepada para siswa tentang kondisi memprihatinkan tempat-tempat di luar kota ini, lebih tepatnya orang-orangnya. Misalnya, guru itu bilang bahwa orang-orang di Kota A membiarkan diri mereka terpengaruh oleh hal-hal yang datang dari luar dan itu membuat kehidupan yang mereka jalani di kota tersebut tak kondusif dan penuh masalah. Atau, guru itu mengatakan bahwa orang-orang di Kota B terlalu memberi ruang tampil kepada kelompok-kelompok minoritas yang menurutnya mengusung ideologi yang berbahaya, sehingga sedikit demi sedikit kota tersebut mulai hancur dan rusak dihantam bencana. Ia benar-benar gerah. Ia lantas dengan lantangnya meminta sang guru menjelaskan apa yang menurutnya membuat orang-orang (dan situasi) di kota ini jauh lebih baik daripada orang-orang di kota-kota itu sehingga sang guru merasa ringan-ringan saja menilai dan menghakimi orang-orang di sana. Sang guru, usai mendengar permintaan yang serupa tantangan ini, menatapnya benci. Raut mukanya yang semula santai seketika menjadi tegang, dan itu rupanya memberikan dampak yang berarti pada suasana kelas. Nyaris tak seorang pun dari para siswa berani menatap ke depan. Hanya ia yang melakukannya. Ia balas menatap sang guru, tanpa sekali pun berkedip, seolah-olah tengah berkata bahwa ia sama sekali tidak takut dan kali itu tak akan menahan diri atau mengalah.
Sepulang sekolah ia diminta menghadap Ketua Guru—semacam kepala sekolah. Di ruang Ketua Guru ia duduk dan merasakan perlahan-lahan bulu kuduknya mulai berdiri, dan tangan dan kakinya sedikit-sedikit gemetar. Ketika sang Ketua Guru duduk di hadapannya, dan memberinya senyum-yang-telah-diukur-sedemikian-rupa, ia merasa gugup. Entah kenapa ia merasa seseorang di hadapannya bukanlah seseorang yang kepadanya ia bisa mengucapkan apa saja sesuka hatinya.
Sekeluarnya dari ruang sang Ketua Guru, ia merasakan sesuatu di dalam dirinya bergejolak. Keran, yang terbuka itu, mengalirkan bukan lagi air biasa, melainkan air mendidih. Air yang benar-benar mendidih. Ia mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Gigi-giginya bergemeletuk. Kedua tinjunya mengepal dan langkah-langkahnya terasa berat. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu untuk meluapkan kemarahanku ini. Begitu ia terus bergumam. Dan, yang kemudian dilakukannya adalah ini: pergi ke kamar mandi dan mengumpulkan air kencingnya di gayung dan membawa gayung itu ke depan ruang Ketua Guru lantas menyiramkannya begitu saja. Cairan kekuning-kuningan itu membasahi pintu dan sebagian jendela. Ia cepat-cepat kembali ke kamar mandi dan tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum dan sedikit tertawa.
Mengapa ia sampai merasa semarah itu, ia sendiri tak tahu. Mungkin itu dikarenakan sang Ketua Guru menyebut-nyebut kakaknya, dan apa-apa yang dikatakan sang Ketua Guru tentang kakaknya seperti menegaskan bahwa pihak sekolah memang melakukan sesuatu yang buruk terhadap kakaknya itu, sebagai hukuman atas sikap kakaknya yang bertentangan dan dianggap tidak baik bagi sistem yang berlaku. Rupanya, menyimpulkannya sendiri dengan mengetahui kebenarannya adalah dua hal yang berbeda. Begitu ia berpikir. Barangkali selama ini ia menyimpan harapan bahwa hal buruk yang menimpa kakaknya itu, yang terus hidup dalam benaknya itu, tak benar-benar terjadi.
Hari-hari setelahnya ia merasa suasana di sekolah sedikit berbeda. Kegiatan belajar mengajar memang masih berlangsung normal, begitu juga kegiatan-kegiatan lain. Namun, beberapa kali ia menangkap dengan ujung matanya, orang-orang yang tidak ia kenali berkeliaran di koridor. Lelaki-lelaki. Lelaki-lelaki dengan sorot mata penuh ancaman dan penghakiman. Lama-lama ia menduga lelaki-lelaki itu tengah berusaha menyudutkannya dan menunggu ia melakukan sebuah kesalahan, sesuatu yang bisa memberi mereka alasan untuk menangkapnya dan membawanya ke sebuah tempat yang teramat gelap, di mana di sana mereka akan menanyainya segala macam hal dan ia akan terpaksa menerima hukuman demi hukuman. Ia menduga, lelaki-lelaki itu adalah suruhan sang Ketua Guru.
Sampai kemarin, suasana seperti itulah yang ia rasakan di sekolah. Ia tak tahu apakah hari ini pun ia masih akan merasakan suasana yang sama.
___
Ibunya mengatakan kepadanya bahwa hidangan sudah siap dan perempuan itu memintanya memanggil ayahnya dan kedua adiknya. Ia pun melakukannya. Ia bergerak menuju ruang tamu dan ia melihat adik bungsunya hampir selesai merapikan sofa. Ia lanjut bergerak menuju teras depan dan ia menemukan adik pertamanya sedang akan membakar sampah. Kemudian ia lanjut bergerak menuju garasi dan menemukan ayahnya sedang membasuh mobilnya yang dipenuhi busa sabun. Lalu, entah kenapa, ia merasa semua itu begitu semu. Semua hal yang telah dialaminya pagi ini sejauh ini, entah kenapa, begitu semu. Seakan-akan tak benar-benar terjadi. Seakan-akan … tak pernah ada.
Sambil melangkah menuju ruang makan ia membayangkan bunyi sirene yang nyaring itu tiba-tiba diperdengarkan saat mereka tengah menyantap hidangan yang ada, dan ia bisa melihat kakaknya, tengah duduk di kursi yang kosong itu, dan tersenyum padanya, dan berkata: “Ingat, kita tidak hidup untuk patuh dan menerima begitu saja.”[]
—Cianjur-Bogor, 2015-2019