IMPERIALISME
1/
Ada yang lebih asing dari sebuah tanah air kehilangan jati dirinya. Seperti pikiranku yang tiba-tiba terlempar ke 35 tahun lalu. Tak ada kecemasan dalam telepon yang berdering karena sebuah notifikasi tagar(#). Semua wajah ditekuk dengan kepala menunduk. Menyembunyikan rasa gentar. Mereka berjalan di trotoar itu dengan pohon-pohon beringin yang rindang.
2/
Lagu-lagu perjuangan berputar di stasiun radio di antara suara orang menawarkan perubahan. Orang-orang saling memandang; membisikkan kegelisahan. Di situ aku mendengar suara-suara nyaring tentang reformasi. Tapi masih tetap aku tak pahami. Seperti juga aku tak paham tentang senyum & kerling wanita. Pisau ataukah cinta?
3/
Aku terlempar kembali pada tahun 2024, sebuah pom bensin dengan deretan menu harian. Hanya untuk mengasapi paru-paru agar cepat rontok & berlubang. Udara hitam, sehitam arang. Karena hanya waktu yang kuasa berbicara. Selebihnya imperialisme yang kita beri tiang & bendera.
2024
***
NEGERI JANJI
Semua menjadi samar-samar, juga suara pidato yang keluar dari speaker televisi itu. Mungkin kami perlu penerjemah bahasa. Bahasa yang tidak membuat dada ini bertanya. Diiringi backsound lagu Indonesia Raya. Ketika hidung ini mencium bau tubuh anak-anak yang terlahir hari ini gosong. Sebelum ibunya menyusui dengan susu kaleng impor berlabel halal. Sedangkan bapak sibuk merapal doa, agar anaknya sehat wal afiat sampai tua. Walau penuh tambalan luka.
2024
***
KE MANA PERGINYA BAPAK
Mau pergi ke mana bapak? Apakah ingin lagi menjenguk anak-anakmu yang tercebur ke gorong-gorong. Tapi apakah kamera tustel masih menyala merah & engkau masih ingin menjepret mata kami dengan cahaya gelisah.
Engkau pergi ketika mata & tubuh kami masih basah. Kami tak ingin pulang ketika ibu tak lagi piawai mendongeng kisah-kisah. Hati butuh lelap. Menidurkan sekaleng gundah.
Mau pergi ke mana bapak?
Sejarah belum genap merenda kisahmu & ibu belum sempat bercerita padaku. Ada apa dengan hari ini, di tempat kita lahir, merangkak & berdiri.
2024
***
BENDERA PENINGGALAN MOYANG
Dengan bahasa kemelaratan izinkan kami bersuara. Cukup sambut gelisah ini dengan cinta. Jangan kau tikam punggung ini dengan janji. Dulu, bapak kami setiap pagi selalu mencium dahi ini & berkata, “bapak akan pulang segera. “ Tapi sampai hari ini kami tak tahu rimbanya.
Kami termangu ketika ibu memasak nasi tak matang-matang hingga kami tua. Hanya sebuah bendera kusam yang masih setia kami simpan & sebuah tiang yang hampir-hampir roboh di dada kami nan lapang. Betapa sabar ini telah menggenang seluas & sedalam lautan.
2024
***
NEGERI INI
Bibir ini hanya ingin bertanya tentang masa depan. Membuat taman di dadanya hingga teduh & penuh kesejukan. Ingin sekali melompati waktu. Menghapus gambar-gambar di tembok-tembok itu. Tembok yang mengungkung jiwa menjadi tak berdaya.
Tapi waktu tetaplah melaju ke depan. Meninggalkan kecewa sedalam ceruk lautan. Di suara notif handphone yang gelisah entah sampai kapan. Tetap saja hati ini ingin kepastian.
Cinta hanya sebuah lagu kebangsaan. Sedang keadilan masih memilih-milih kekasihnya. Hati ini merintih mengabari Tuhan dengan tembang cinta. Yang paling ranum kelopaknya. Ingin mengatakan negeri ini sedang tak baik-baik saja.
2024
*) Image by istockphoto.com