Sadness of the earth

Penyesalan terpampang di marka jalan, trotoar membatasi bunyi dan suara
sunyi lampu jalan terduduk murung di bawah menara, kemacetan meleleh
seperti peluh yang mendidih dengan bara api.

Dirahasiakannya suara angin, diam lalu menyentuh kewaspadaan pejalan kaki
saat waktu menunjuk pukul 2 dini hari, aroma embun menempel di sela-sela pertemuan
seperti jam yang menanti waktu.

Di mana pun, hampir setiap manusia belajar merangkai ulang kota,
mengikat masa depan di udara, menjahit pohon dan hutan dengan benang-benang baja,
tetapi juga mereka sengaja merobohkan keyakinan sebelum rencana tumbuh mendiaminya.

Tanah yang magis ini memendam berbagai tangis yang tidak mampu kauhitung
merekam berbagai isakan yang tidak bisa kaudengar, lewat baris-baris debu mengudara
mencari kau dan kewarasanmu untuk kemudian kau dengar,
bagaimana kesedihan
merangkai struktur air mata.

***

Nature of identity

Perjumpaan siang dan malam
temui kami terpenggal dan tenggelam
di perut bumi
tak apa.

Kami mandi dari air
yang tumbuh dari tanah
minum dari sisa tanah yang tumpah
dari langit

Pohon adalah nisan kami
agar tak seorang pun datang menaburkan doa
tapi mengapa orang-orang tetap datang
membawa berikat-ikat tragedi
berharap kami mengubahnya
jadi elegi   

Perjumpaan terang dan gelap
aku temui kaujadi angin
Sendirian berjalan di udara
antroponsetris yang kukenal
di kanal daring

Kau di kejauhan terlihat seperti purnama
membayangkan romantisme
malam yang gulita dan siang
yang masih balita

Tapi tak apa.
Dengan luka di batas aku dan kebencian
diriku yang lain rela menjadi ego
bagi kesadaranmu
memeluk dengan katarsis
sebagai penyucian atas maaf
yang sungkan kepada bahasa

Aku pergi sebagai kenyataan
meniru kesadaranmu
tapi kau kembali menjadi imitasi
dari ritus di dalam puisi
yang tidak bisa aku resepsi

***

Ode against pain

Bila dusta dapat kau sentuh, adakah cara mengingatkannya meski
sedikit saja atau barangkali kauakui kebenarannya
—kepercayaan bisa dibangun sebab isi kepala bisa saja meruntuhkannya

Akuilah tentang datangnya badai bukan gerimis
tentang bencana bukan rencana, kesesatan bukan kepesatan
atau kesepakatan yang melipat-lipat ingatan kemudian menimpalinya
dengan dentuman nada tabuhan gendang

–dimulainya pertikaian antar kerabat  
dari masa silam, pelan tapi tajam di atas dada prajurit besutan ayah

kiranya bagaimana cara mengenang kekalahan sejarah walau setelahnya
ditulislah perjanjian demi keturunannya di atas lontara yang kemudian menghapus
bekas anak panah dan badik di punggung waktu

–memeluk kau seumpama menjerat perasaan
itu luruh bersama hujan di tengah badai, kilat, dan angin

Kenanglah kematian ini dengan wujud kekalahan sekaligus kekekalan
di atas makam raja-raja Tanete sebagai ayah dan ibu kandungku yang berbaring
di atas batu purba

atau sekadar membenarkannya hinggap di kepala orang-orang silam
yang percaya kekalahan moyang dalam menjaga tanah lahirmu dibayar penghianatan
kerabat dengan kelebat kawali menghunjam dada kirinya

***

River Wound up

Terbuat dari apa luka itu
dari apa muasal kata selain hulu atau hilir lembah nil,
barangkali isi kepala menes atau sungai tigris di teluk persia

Alkisah tersusun dari keras batu bata yang tabah, basah pada hujan,
membentuk tanda segitiga di tengah arus pertunjukan kekuasaan,
adakah penerimaan berdiri tegak memberi tepuk tangan tiada lara

kerelaan lalu ia susun jadi sejarah di atas punggung, bergerak terus 
menyusup dalam sintaksis yang diproduksi tangan di dalam teks bergambar
kita membelinya sebagai salah satu kisah naguib mahfouz, kau barulah terbangun
dengan imaji berserakan 

seperti tembok monumen kaubaca, luka hanyalah kesesatan jalan pulang alih-alih
kembali atau kepergian lain bermotif hieroglif, terkubur alkisah mengukir ego
dari dan dengan kepala batu, teks kian terbaca sebagai hegemoni menyusup diam-diam,
makna bergerak lamban serupa salju di tengah gurun

*) Image by istockphoto.com