KURUNGBUKA.com – Pertengahan ramadhan, tepatnya 31 Maret 2024, komunitas Jagat Sastra Milenia menggelar buka bersama dan soft launching dua buku karya Sofyan RH. Zaid – sehari-hari saya panggil Syekh Sofyan- di restoran Sate & Food Senayan, Jakarta Pusat. Dua buku tersebut adalah Khalwat; Sepilihan Sajak dan Goethe: Kajian Sastra Sufistik. Sofyan RH. Zaid merupakan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Gulukguluk Sumenep, dan Filsafat Agama, Universitas Paramadina, Jakarta. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, salah satunya dimuat dalam buku Oikos Poeti Per Il Futuro (Mimesis Classici Contro, Milano, Italia, 2020).
Di acara soft launching tersebut, saya membacakan puisi berjudul “Bunda Doa” dengan bibir gemetar dan menahan “mewek”. Entahlah, setiap bersinggungan dengan kata “ibu” atau “bunda” angan saya melesat pada ibu saya di kampung, sehingga menimbulkan perasaan yang mengharu biru di dada saya:
BUNDA DOA
sebab sibuk mendoakan anak cucu
ia lupa berdoa bagi dirinya sendiri
tetapi doa diam-diam
senantiasa mendoakannya
Kota Padang, 2022-2023
Puisi tersebut, berdasarkan obrolan dengan penyairnya, terinspirasi dari Ibunda Bang Riri Satria sewaktu berkunjung ke rumahnya di kota Padang dalam rangka Temu Penyair Asia Tenggara tahun 2022. Puisi ini seakan melukiskan bagaimana seorang ibu yang setia medoakan anak cucunya setiap saat atau ingat, sehingga dia bahkan lupa berdoa untuk dirinya sendiri. Benar adanya bahwa kasih sayang ibu sepanjang masa, dan kasih sayang seorang anak terkadang hanya sepanjang gala.
Dalam doa ibu terletak rida Allah yang begitu besar. Bagaimana doa bekerja, doa-doa yang ibu panjatkan barangkali menyerupai kinerja dari cermin yang memantulkan cahaya doa-doa kebaikan pula untuk ibu yang memanjatkan: “tetapi doa diam-diam / senantiasa mendoakannya”. Dalam puisi “Bunda Doa” ini seolah-olah doa menjadi subjek (makhluk) yang senantiasa mendoakan seorang ibu yang rajin mendoakan anak cucunya itu. Dengan kata lain, puisi ini menunjukkan saat doa menjadi pendoa bagi yang berdoa.
Kebetulan, di libur lebaran, saya punya waktu luang untuk ‘berkhalwat dengan Khalwat’ karya Sofyan tersebut. Buku Khalwat berisi tiga bagian yang terdiri dari Khalwat Satu, Khalwat Dua dan Khalwat Tiga. Berbeda dengan buku puisi pertamanya Pagar Kenabian, buku ini benar-benar terasa lebih bebas, terutama dari segi bentuknya, tetapi tetap terlihat terikat isinya. Bisa dikatakan buku Khalwat adalah buku yang “di luar pagar”. Jika menganalogikan “pagar” dengan suatu yang membatasi, maka sajak-sajak pada buku Khalwat ini hendak keluar dari batas-batas itu atau lebih tepatnya sajak yang semula memang “di luar batas”. Walaupun pada sajak-sajak Pagar Kenabian larik-larik yang dibatasi pagar itu senantiasa tetap berpadu seolah tak membutuhkan pagar, tetapi simbol pagar itu seakan menunjukkan adanya “batasan”.
Dalam pengantarnya, Sofyan mengatakan bahwa puisi-puisi dalam buku Khalwat ini adalah puisi-puisi yang pernah dimuat di beberapa media yang kemudian dikumpulkan dan mengalami revisi. Sementara itu, sajak-sajak pada Pagar Kenabian dibuat khusus untuk sebuah buku dengan corak “nadham”, puisi yang biasanya ada di kitab-kitab klasik pesantren. Kalau mengikuti tahun-tahun yang tertera di bawah judul puisi pada buku Khalwat agaknya ada beberapa puisi yang memang adalah sajak-sajak awal penyairnya. Awal dia bersentuhan dengan tasawuf, filsafat, dan puisi itu sendiri.
Membaca sajak-sajak Khalwat saya merasa lebih bebas mengalir mengikuti ke mana puisi-puisi Sofyan mengarah, yang seringkali kepada sunyi yang menyala. Walaupun judul buku ini menggunakan kosakata jadul “khalwat”, tetapi sajak-sajaknya banyak mengusung kosakata kekinian, seperti gawai, simulakrum, dan lainnya. Ada juga kosakata yang terkesan lokal semisal songkem (Madura), Kawula (Jawa) dan lain-lain.
Terasa benar, bahwa Sofyan adalah penyair yang amat memperhatikan rima dalam buku ini, sebagaimana Pagar Kenabian. Terlihat juga kehati-hatian penyair dalam memilih kata secara pas. Bahkan bila salah membaca satu huruf, bisa berubah artinya, misal pada puisi “Bismillah!” ada kata ‘segera’ dan ‘segara’ dalam satu bait: aku hanya mau segera / kau jadikan segara!, atau pada puisi “Selat Tirakat” ada kata ‘mengobarkan’ dan ‘mengabarkan’ dalam satu bait: mengobarkan ha / mengabarkan hu. Penataan rima dan pemilihan kata yang nyaris serupa itulah yang menjadi salah satu kekuatan puisi-puisi dalam buku ini.
Buku ini membicarakan banyak hal, tidak hanya soal kesendirian, menyepi, sunyi, kenangan, kerinduan, penghambaan, tetapi juga tentang ibu, teknologi, tasawuf, filsafat, tokoh-tokoh, dan film. Selain itu, bukan hanya nama tokoh Timur yang tercatut dalampuisi-puisi Sofyan, tokoh Barat juga ada, misalnya nama penyair Amerika yang pernah menjadi inspirasi Chairil Anwar; Aiken (Conrad Aiken):
BANGKU NISAN AIKEN
akhirnya
aku teriakkan larik sajak
di bangku nisanmu:
“give my love to the world!”
lalu aku duduk
menatap jauh madeira
serta berbagai bencana
sebagai kejahatan yang terencana
di tepi sungai wilmington ini
suara air mata terdengar
lebih lantang dari tiap dentuman
di bumi
air mata orang-orang terluka
yang darahnya dipaksa jadi permata
dan rintihnya seolah
tak pernah didengar surga!
2011/2024
Sajak tentang Aiken ini menunjukkan bahwa Sofyan membaca juga puisi Aiken, dan mencoba melakukan semacam “percakapan sunyi” dengan sosok penyair yang telah lama terbaring itu. Meskipun mungkin Syekh Sofyan tidak benar-benar pernah mengunjungi makam penyair Amerika yang cukup ternama itu. Puisi di atas menggambarkan suatu lanskap yang asing, tetapi mengisahkan tentang suatu tragedi kemanusiaan yang menggetarkan, walaupun ‘seolah tak pernah didengar surga’.
Kemudian, terdapat juga sajak yang agaknya mirip dengan pemikiran dalam salah satu sajak terkenal penyair Subagio Sastrowardojo, yang intinya mengatakan bahwa puisi membuatnya lupa pada pisau dan tali. Hanya saja, Sofyan menggarapnya dengan cara yang berbeda:
AKU KINI MENGERTI
setelah lama mencari
kini aku mengerti:
kenapa adolf merkle menabrakkan diri
pada kereta suatu pagi
dengan cek kosong di tangannya
bersama sekuntum bunga
thierry costa menyuntikkan pentotal
pada lengannya di kamar mandi
setelah onani berkali-kali
dengan selembar foto binal
james whale menenggelamkan diri
di kolam dini hari
selepas bercinta dengan tujuh wanita
dalam perayaan ulang tahunnya
sebastian camfort mengunci diri
di ruang kerja hingga mati
dengan lampu yang terus menyala
sebagai isyarat pada kekasihnya
wendy williams meneguk efedrin
di bawah bulan dingin
saat film terakhirnya
diputar di sejumlah kota
christine chubbuk, adolf hitler, dan getulio vargas
menembak diri sambil tertawa
sesudah menulis surat pada dunia:
kekuasaan menjadikan kita begitu ganas
sara teasdale, michael jackson, clara blandik,
dan marlin monroe akhirnya overdosis
di kamar remang yang mendesis
lalu kenyataan diputar balik
ya, kini aku mengerti:
kenapa masih menulis puisi
Bekasi, 2016/2024
Sajak ini membicarakan tokoh-tokoh yang mengalami tragedi kehidupan dan nasib malang, seolah penyair ingin mengatakan bahwa menulis puisi dapat menjadi “jimat” agar kita tetap optimis hidup walaupun nasib begitu getir dan kenyataan begitu buruk. Sebagaimana puisi di atas yang bait awal dan akhirnya dibuat italic, banyak puisi dalam buku ini yang sebagian larik atau baitnya dibuat demikian, mungkin sebagai bentuk penekanan.
Hal lain yang menjadi perhatian saya pada buku ini, adanya dua sajak ‘pendek’ yang saya tidak mengerti, yakni:
TUHAN
tahan!
2023
Sajak “Tuhan” ini penuh tekateki yang menimbulkan banyak penafsiran, tidak pasti yang ingin disampaikan apa, tetapi kata-katanya cukup menahan kita untuk merenung lebih dalam. Mungkin saja penyair ingin menyebut kepada Tuhan; dengan satu kata tahan! atau bisa jadi yang dimaksud adalah kita harus tetap “tahan” dengan adanya Tuhan yang kita yakini. Entahlah gelap. Sajak lainnya adalah yang menjadi tekateki bagi saya adalah:
TASAWUF III
sungai terpanjang setelah nil
adalah rinduku
Annuqayah, 2007
Sajak ini hanya ada satu, dan anehnya sajak ini bernomor tiga. Tidak ada sajak yang bernomor 1 dan 2 yang mendahului sajak ini. Sajak yang mengutarakan kerinduan si “aku” mungkin kepada Tuhan, yang digambarkan seperti sungai yang lebih panjang setelah sungai Nil. Sajak ini kemungkinan besar adalah termasuk sajak awal penyair, karena titimangsanya menunjukkan tahun yang cukup lama, ditambah tanpa ada perubahan sebagaimana titimangsa sajak-sajak lainnya.
Terakhir, terdapat sajak yang berjudul “Manakiban”, saya kembali tersentuh karena satu pembahasan tentang kerinduan dan doa:
MANAKIBAN
ketika bumi tidur
aku terjaga
meratap harap
pada alif putih penyangga langit
menunggu:
datang menyulap nasib
yang garib
sudah terlalu lama
aku jalani hari dengan tanya
mencari jawab dari tanda
hingga hidupku
kenyang oleh lapar!
kini aku angkat kedua tangan
biarlah engkau
yang turun tangan
Mampang, 2010/2024
Pada puisi ini saya menghayati pentingnya “pasrah” kepada yang Maha Esa dan kerinduan pada kekasih-Nya; Nabi Muhammad Saw. Manakib, jika menilik KBBI berarti kisah kekeramatan para wali. Manakib(-an), mungkin istilah dalam tradisi pesantren, semacam pembacaan doa-doa yang biasanya dilakukan tengah malam secara bersama atau sendiri. Di mana kita telah ‘putus asa’ dan menyerahkan rasa itu kepada Tuhan yang kuasa menciptakan, memiliki, dan mengurusnya juga.
Setelah berkhalwat dengan Khalwat, saya merasa lebih tenang menjalani hidup, lebih optimis karena memiliki Tuhan, ibu, dan masih bisa menulis puisi.
Ruang Sunyi, Cengkareng, 2024
Image by istockphoto.com