Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun tengah duduk di kursi taman bersama seorang temannya. Mereka sedang asyik berbincang tentang acara pentas seni siswa yang akan dilaksanakan besok di sekolah. Akan ada banyak kegiatan dalam acara tersebut. Mulai dari lomba menari, lomba menyanyi, juga lomba membaca puisi.

Sebagai siswa, Reno dan Bimo juga turut ambil bagian dalam acara tersebut. Keduanya adalah anak-anak yang cerdas dan berbakat. Semua guru di sekolah menyenangi mereka karena prestasinya sangat baik.

“Ren, kamu ikut lomba apa besok?” tanya Bimo.

“Aku ikut lomba membaca puisi, Bim. Kamu sendiri ikut lomba apa?” Reno balik bertanya.

“Tentu saja aku ikut lomba menyanyi. Kamu kan tahu, aku berbakat menyanyi,” ucap Bimo.

“Wah, hebat kamu, Bim. Semoga besok kita bisa menjadi juara, ya!”

“Ya, Ren, semoga saja.” Bimo tersenyum.

“Oh, ya, Bim, aku hampir lupa. Besok kita pakai seragam apa, ya?”

“Besok pakaian bebas, Ren. Kata Bu Tuti, sih, yang mengikuti lomba pakai baju dengan warna yang berbeda. Kalau tidak salah, Bu Tuti bilang untuk lomba membaca puisi pakai kaos biru dan celana hitam.”

“Oh, begitu, ya. Makasih, ya, Bim.”

“Ya, Ren, sama-sama. Oh, ya, Ren, sudah sore, nih. Kita pulang, yuk, aku mau latihan dulu di rumah!”

“Baiklah, ayok!”

Keduanya pulang ke rumah masing-masing. Rumah mereka tidak terlalu jauh dari taman, sehingga tidak butuh waktu lama bagi Reno dan Bimo untuk bisa sampai di rumah.

Begitu sampai rumah, Reno merapikan pakaian yang akan ia kenakan besok pada acara pentas seni siswa di sekolah. Namun, saat mengambil sepatu, ia melihat sepatunya sudah rusak. Telapak sepatu itu sudah berlubang.

Memang sudah waktunya sepatu itu diganti. Sepatu itu dibeli dua tahun yang lalu saat ulang tahun Reno. Tepat pada hari ini, Reno genap berusia delapan tahun. Namun, ia tak menuntut apa-apa dari orang tuanya. Ia sadar kondisi orang tuanya yang bekerja sebagai pemulung. Setiap tahunnya, Reno menghabiskan hari ulang tahunnya dengan belajar di rumah.

Suryono, Ayah Reno, merasa sedih saat Reno memegangi sepatunya yang sudah rusak. Ia ingin sekali bisa membelikan sepatu baru untuk Reno. Namun, ia tidak punya uang untuk membeli sepatu. Suryono hanya mengelus dada melihat anaknya itu.

“Ayah! Ayah kenapa melamun?” tanya Reno.

“Tidak apa-apa, Nak. Kamu sedang apa?” tanya Suryono.

“Reno tadi mau beresin pakaian buat acara besok. Waktu Reno mau ambil sepatu, ternyata sepatu Reno sudah rusak.”

“Maafkan Ayah, Nak. Ayah belum bisa membelikanmu sepatu baru,” ucap Suryono.

“Tidak apa-apa, Ayah. Besok Reno pakai sepatu ini saja,” ucap Reno penuh bangga.

Suryono tak kuat menahan kesedihanya. Ia pergi ke kamar dan memecahkan celengannya. Ia mengumpulkan beberapa uang kertas dan uang logam yang berserakan di lantai. Kemudian ia mengajak Reno ke toko sepatu untuk membelikannya sepatu baru. Awalnya Reno menolak. Ia tidak mau menyusahkan ayahnya. Namun, Suryono tetap ingin membelikan Reno sepatu baru.

Reno dan ayahnya berkeliling ke beberapa toko mencari sepatu yang disukai oleh Reno. Setelah beberapa saat mencari dan melakukan tawar-menawar dengan penjual, akhirnya sepasang sepatu berwarna hitam dengan garis putih menjadi milik Reno. Wajahnya begitu berseri-seri karena di hari ulang tahunnya ia mendapatkan sepatu baru dari ayahnya. Reno menjadi semakin bersemangat untuk megikuti lomba besok di sekolah.[]