Minggu lalu saat berkunjung ke rumah mertua di Padarincang, pulangnya kami dicegat ibu-ibu yang tengah mesek (mengupas) tangkil. Kami dioleholehi kulit tangkil setengah kresek besar. Kata ibu-ibu di kampung istri, tangkil di sana kerap nggak diapa-apain hingga kadang terbuang begitu saja.

Alhasil sesampainya di rumah saya dan istri disibukkan mengolah kulit tangkil tersebut agar tak terbuang. Kami terus bereksperimen menyeimbangkan rasa yang menurut selera kami pas. Kadang keasinan, kepedasan, kurang manis, dsb. Yang menurut kami pas, belum tentu menurut selera orang lain. Berkali-kali nyoba dan dikomentari oleh beragam yang nyicip, kami pun sadar, tak mungkin rasanya ada satu racikan yang sesuai bagi beragam selera manusia.

Berangkat dari pengalaman itu, saya pribadi menobati beberapa kesalahan saya yang mungkin dirasakan juga oleh yang lain. Betapa hanya karena perbedaan selera dan kecenderungan, kita kerap terbiasa bertengkar satu sama lain. Tak ayal asyik saling mem-bully satu sama lain. Contoh terbaru adalah terbelahnya pandangan umat Islam mengenai perilaku keagamaan pasca kepulangan imam besar the panas dalam, eh imam besar Front Pembela Islam maksud saya, maaf ralat.

Ada penilaian dan pemilahan dari masyarakat mengenai habib mana saja yang menurut masing-masing selera baik dan yang lain kurang baik untuk diteladani. Hal itu kadang dibedakan melalui gestur, tutur kata (intonasi), hingga model pakaian. Lantas mencari rujukan pembenaran dari perikehidupan nabi. Ulama kok gitu, habib kok gitu, masa kyai kasar, harusnya kan lembut, tutur katanya santun, dst. Di medsos akhirnya perang meme, foto, video “sop buntut” pernyataan ulama, habib, atau kyai sesuai selera pilihan masing-masing tak terelakkan. Seakan yang sesuai selera kita itu yang benar, itu yang sejati. Tak jarang pula hal ini dimanfaatkan oleh para YouTuber untuk meraup keuntungan viewer dan pundi-pundi uang semata.

Jika kita ibaratkan selera makanan, perilaku di atas sesungguhnya konyol. Bagaimana bisa yang doyan jengkol meledek penggila pete, atau sebaliknya. Bukankah kedua-duanya sama-sama fanatik makanan sesuai selera masing-masing?

Sama halnya dengan makanan atau musik. Makanan kesukaan saya belum tentu disukai yang lain, pun dengan musik. Jika saya menyukai genre musik rock tak bisa saya memaksa orang lain yang penggila dangdut atau pop yang telinganya tak nyaman dengan musik rock. Tetapi kita tahu berbagai aliran itu punya dimensi kecerdasan masing-masing dan tetap dianggap bagian dari genre musik yang diakui.

Jadi beragama dengan pelbagai prakteknya itu hanya soal selera, kita tidak bisa saling klaim merasa paling benar sendiri, lantas merendahkan atau menyepelekan yang berbeda selera dengan kita, itu unfaedah atau nirguna. Rumus Allah jelas dalam Alquran yang saya nggak tahu surat dan ayat apa yang intinya boleh jadi kita menyukai sesuatu yang sesungguhnya tidak baik bagi kita, atau sebaliknya. Nabi sendiri mencontohkan proporsi sikap sesuai situasi dan keadaan. Beliau bisa lembut dan kelembutannya tiada tanding. Beliau bisa tegas dan sangat disegani musuh.

Nabi orator ulung, ahli pedang, panglima perang. Pernah merobohkan pegulat tangguh, dst. Yang ingin saya tekankan adalah kita jangan sampai menilai baik dan buruk berdasarkan like atau dislike, dan jadi tengkar karenanya. Jangan sampai negeri ini ikut hancur sebagaimana Suriah karena ulah sesama kita sendiri. Mari saling menyayangi saling mengerti demi NKRI dan kedaulatan negeri. Hihi…

Saya ini ngomong apa ya, pokoknya gitu aja. Entah tiba-tiba saya pengen nulis begitu, kalau tak terima, berarti kita beda selera… 🙂