Aktivitas yang padat dan melelahkan selama beberapa bulan, memaksa saya dan dua teman lainnya merencanakan liburan sebagai ajang pelepas penat. Kami sepakat bahwa bekerja adalah kewajiban, namun liburan adalah hal yang perlu diagendakan agar manusia dan robot tetap memiliki perbedaan. Satu di antara kami bertiga adalah pemuda asli Banyuwangi (sebut saja Iga). Ia mengusulkan Pulau Tabuhan sebagai destinasi liburan yang paling cocok untuk mengistirahatkan pikiran. Saya (pemuda yang tidak terlalu tampan dan asli Arek Suroboyo) dan teman saya lainnya (sebut saja Imam, pemuda asli Mojokerto) langsung menyetujui usulnya, sebab saya dan Imam juga tidak punya ide yang lebih baik selain Pulau Tabuhan. Setelah perundingan tentang tanggal keberangkatan yang cukup alot (maklum, dua teman saya tersebut adalah sekelompok manusia mbulet yang ada di Bumi), diputuskan kami akan berangkat ke Pulau Tabuhan pada Kamis, 31 Oktober 2019.
Skema perjalanan dimulai pada Rabu, 30 Oktober 2019, dengan pemberangkatan dari Stasiun Surabaya Gubeng menuju Stasiun Rogojampi Banyuwangi. Pemberangkatan ini dilakukan oleh saya dan Imam, sedangkan Iga sudah stand by di Banyuwangi untuk menyambut “tamu agung” dari Surabaya. Waktu tempuh dari Sgu (Surabaya Gubeng) menuju Rgj (Rogojampi) memakan waktu antara 5 hingga 6 jam. Untuk biaya tiket kereta bervariasi (bergantung kelas kereta yang dipilih) dan bisa dicek di situs resmi Kereta Api Indonesia. Sesampainya di Rogojampi, Iga telat menjemput kami. Memang sudah kebiasaan, Iga tidurnya suka kebablasan. Setelah Iga datang, kami “diangkut” dan dibawa menuju ke kediaman Iga di daerah Muncar. Di rumah Iga, kami bertiga melakukan hal yang biasa dilakukan oleh sekolompok sahabat yang berpuluh-puluh tahun tidak bersua. Tidak bisa diceritakan secara rinci, sebab fokus tulisan ini bercerita tentang Pulau Tabuhan, bukan tentang curhatan Iga yang berkali-kali membuali para wanita.
Esoknya, kami bertiga berangkat menuju Pulau Tabuhan pada pukul 14.30 (rencananya berangkat pukul 14.00 namun karena menggunakan jam karet, keberangkatan jadi mundur). Kami menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam dari Muncar ke Pantai Kampe. Pulau Tabuhan terletak di tengah-tengah Selat Bali, tetapi pulau ini masih termasuk wilayah Kabupaten Banyuwangi. Pulau ini dapat ditempuh menggunakan kapal dari beberapa titik seperti Grand Watudodol, Kampe, atau Bunder Bangsring. Tempat yang kami pilih adalah Pantai Kampe, sebab memiliki jarak tempuh yang paling dekat dengan Pulau Tabuhan dan sekaligus memiliki biaya sewa perahu yang paling murah (harap dimaklumi karena kantong kering). Sesampainya di Pantai Kampe, kami langsung menuju loket yang tersedia. Selain sebagai terminal untuk tujuan ke Pulau Tabuhan, Pantai Kampe juga dijadikan terminal untuk tujuan ke Pulau Menjangan.
Hal yang perlu diperhatikan ketika berlibur di Pulau Tabuhan adalah penentuan model menginap (model ini yang kami pilih) atau model langsung pulang. Jika model menginap, maka perlu membawa perlengkapan camping. Jika model yang ke-dua, maka persiapan kondisi tubuh dan hati yang damai saja sudah cukup. Biaya sewa perahu untuk pulang-pergi berkisar di angka Rp 500.000 dengan kapasitas penumpang maksimal 10 orang. Kami mendapatkan harga Rp 400.000 dengan jurus wajah melas. Penyewaan alat snorkeling berkisar di angka Rp 30.000 perorang, tetapi berkat jurus wajah melas juga, kami mendapatkan harga Rp 25.000 perorang. Dari Pantai Kampe ke Pulau Tabuhan dapat ditempuh dalam waktu 20 hingga 30 menit. Momen ini menjadi salah satu momen indah dalam agenda liburan ke Pulau Tabuhan. Perjalanan perahu sambil menyapa jingganya senja Selat Bali sekaligus ditemani suara burung-burung camar, deru mesin perahu, dan sepoi angin lautan; menyadarkan saya bahwa ciptaan Tuhan adalah sebaik-baiknya keindahan.
Pulau Tabuhan memiliki luas antara 5 hingga 6 ha, jadi mengelilingi pulau ini dengan kaki berjalan tidak akan membutuhkan waktu lama. Jika ternyata membutuhkan waktu yang lama, maka yakinilah hobi selfie, foto jelek dihapus, melamun cinta yang kandas, dan hal-hal lain itulahyang membuatnya lama. Kami mengunjungi pulau ini di hari aktif (Senin-Jumat), sehingga hanya kami bertiga penghuni pulau ini pada waktu itu. Jika dikunjungi pada hari Sabtu-Minggu, menurut beberapa nelayan Pantai Kampe, Pulau Tabuhan lumayan ramai pengunjung. Selain itu, di Pulau Tabuhan juga terdapat beberapa warung yang hanya buka di hari Sabtu-Minggu. Kondisi ini membuat Pulau Tabuhan serasa milik kami bertiga.
Berbagi Cerita dari Hati ke Hati pada Malam Hari
Karena hanya dihuni oleh kami bertiga pada waktu itu, suasana malam hari di Pulau Tabuhan benar-benar alami (alami banget atau sangat alami). Gemeletak suara kayu yang dibakar api dalam balutan api unggun semakin menyihir kami bertiga untuk saling bercerita tentang carut-marut kehidupan perkotaan tanpa beban. Sesekali Iga mengeluh tentang gadis yang dicintainya, tetapi gadis itu mencintai orang lain. Gelap malam mampu menyamarkan air mata yang diam-diam turun dengan lembut dari sela matanya, hingga terjatuh ke pasir-pasir pantai lalu menyatu ke dalam lautan Selat Bali. Saya jadi berpikir, mungkin air laut sebenarnya adalah kumpulan air mata jutaan manusia dari mulai Nabi Adam hingga si Iga saat itu.
Malam itu kami tutup dengan memasak mi instant. Suara debur ombak dan sepoi halus angin mengiringi gemeletuk gigi kami karena menggigil kedinginan, namun rasa dingin itu sedikit terobati lewat kehangatan mi instant yang kami nikmati dengan takzim. Entahlah, mi instant malam itu terasa lebih enak dari mi-mi instan yang pernah kami nikmati di hari-hari yang lain. Sepertinya Pulau Tabuhan mengajari kami banyak hal, satu di antaranya rasa syukur yang sering dilalaikan karena terlalu sibuk mengeluh dengan kegelisahan hidup.
Cahaya Fajar yang Sangat Memesona
Satu hal indah lainnya di Pulau Tabuhan adalah ketika matahari terbit. Jumat pagi (1 November 2019) kala itu, saya adalah orang yang bangun kali pertama. Dua teman saya mungkin masih sibuk bermimpi mengejar bidadari di ujung Kota Manokwari. Tumpahan warna jingga di langit dan deretan warna hitam beberapa tumbuhan pantai menjadi kombinasi terindah dan ternyaman yang pernah saya lihat. Matahari memang telah terbit berkali-kali, tetapi menikmati keindahan matahari terbit adalah hal yang sering tidak disadari. Selang beberapa lama, dua teman saya menyusul dan segera minta difoto. Ya, zaman telah berubah, foto adalah hal yang paling wajib dalam segala aktivitas, hinggaurusan bersedekah saja sekarang harus difoto. Si Imam berhasil saya foto dengan gaya seperti dewa yang sedang mempersembahkan hadiah matahari pada dewi, sedangkan si Ega berhasil saya jepret dengan gaya siluet lelaki yang sedang menanti seorang bidadari.
Mencari Karang untuk Dibentuk Menjadi Sebuah Nama
Bagi para pembaca yang ingin disebut sebagai lelaki romantis, Pulau Tabuhan sangat cocok untuk membuktikannya. Di sekeliling Pulau Tabuhan, terdapat banyak karang dengan bentuk yang bervariasi. Jika diamati dengan saksama, bentuk-bentuk karang tersebut menyerupai huruf abjad mulai dari A sampai Z. Dengan bentuk karang yang menyerupai huruf tersebut, dapat dirangkai sebuah nama orang-orang terkasih, sebuah ungkapan sayang untuk yang tersayang, atau sekadar untuk hiasan di rumah sebagai bukti pernah menjejakkan kaki di Pulau Tabuhan. Si Iga menjadi penghuni Pulau Tabuhan kala itu yang paling bersemangat mencari karang. Ia rela mengelilingi Pulau Tabuhan demi mendapatkan rangkaian karang yang menyerupai huruf yang diinginkan. Si Iga membutuhkan banyak huruf, sebab gadis yang digombali tidak cukup dihitung dengan jari.
Akhir kata, saya ingin berpesan kepada para pembaca yang budiman; Berliburlah di antara hiruk-pikuk keramaikan kota yang kian rapat, sebab tubuh juga butuh istirahat.