Seorang penulis, disadari atau tidak akan membawa serta kediriannya, pengetahuannya dan nilai-nilai yang dia yakini dalam buah karyanya. Tentu saja yang demikian pun dapat kita temukan dalam novel Saipeh Baper karya Yuni Astuti ini.
Di novel yang nampaknya diniatkan sebagai novel komedi cinta tapi sekaligus media dakwah ini, Yuni terjebak dalam dilema keinginannya untuk menghibur dan kepentingan ideologisnya untuk berdakwah.
Menulis novel adalah seni bercerita. Seharusnya itulah yang menjadi kepentingan dan fokus utama kita, sebisa mungkin tanpa diberati hasrat kita untuk mendakwahi pembaca. Kalaupun ada dari kedirian dan nilai-nilai yang kita yakini, masuk dalam kisah yang kita tulis, biarlah itu terikutkan secara tidak sengaja. Atau jikapun disengaja namun kita mampu membuatnya tak kentara.
Saya mendapati Sosok Saipeh yang tersesat di antara labirin kepentingan pengarang, yang hendak menampilkan sosok Saipeh yang absurd dan menghibur tapi juga pada saat yang sama sosok ideal seorang perempuan muslimah.
Saipeh diwartakan kepada saya sebagai sosok yang absurd, dekil, malas mandi, tukang ngupil dan tukang ngutil momogi (Oke, yang terakhir ini hanya imajinasi liar saya). Tapi di sepanjang cerita saya tidak menemui adegan di mana Saipeh ngupil sembarangan dan memeperkan upilnya tersebut ke janggut Ustadz Hanan Attaki ketika berceramah, misalnya (Oke, imajinasi saya makin tak terkendali). Saya seperti kehilangan sosok Saipeh dan baru sedikit menemukannya kembali di bagian-bagian akhir cerita ketika Saipeh sudah “dihalalaken” (mohon dibaca dengan logat Jawa Serang) oleh Satria.
Justru saya menemukan sosok Saipeh pada diri Si Sapi, panggilan cayang untuk Safira (kebetulan sekali saya memiliki seorang adik perempuan yang kelakuannya tak kalah absurd dengan Si Sapi dalam novel ini. Bahkan di keluarga kami memanggilnya Fira Al-Bakoroh. Wkwkwk.) Setahu saya, watak dasar seseorang itu sangat sulit diubah, kecuali dia mengalami stress, trauma atau cuci otak yang luar biasa. Jadi walaupun sosok Ipeh digambarkan perlahan sudah hijrah, semestinya tidak melunturkan warna karakter dasar Si Ipeh, yang menurut imajinasi saya—berdasarkan informasi awal tentang sosok Ipeh—malah terwakili pada sosok Si Sapi.
Namun saya juga dibuat bertanya-tanya dan kurang terpuaskan dalam mencari jawabannya sepanjang novel ini, apa yang menyebabkan seorang perempuan yang suka ngupil, malas mandi dan ceroboh seperti Ipeh (meskipun sayangnya sifat-sifat khas ini pun hanya sebatas informasi tempelan yang kurang tergambarkan dalam cerita) bisa menjadi dambaan tiga orang cowok yang almost perfect? Ganteng, kaya, pintar, populer, soleh. Bahkan salah seorang di antaranya seorang penulis terkenal yang merangkap sebagai bangsawan kaya raya (well, ini yang kita sebut mimpi-mimpi ala Cinderella dan Putri Salju).
Sebagai pembaca cowok saya malah lebih tertarik dengan sosok Kayla dan Safira. Sepembacaan saya, Kayla ini digambarkan sebagai sosok yang cantik, pintar dan cool. Bahkan dengan berhijab pun tidak dapat mencegah perhatian cowok-cowok pada seorang Kayla. Cowok normal tentu saja akan lebih tertarik pada Kayla yang sempurna ini. Sementara cowok-cowok yang agak nyentrik biasanya akan suka pada cewek-cewek unik, misalnya cewek-cewek yang bisa manjat pohon, benerin genteng dan mengangkat Aqua Galon seperti karakter Si Sapi…ra. Sementara Ipeh? Karakter yang serba nanggung, dia digambarkan tidak cantik-cantik amat dan tidak nyentrik-nyetrik amat (kecuali kegemaran memakai sendal jepit Cinderela-nya). Buat saya pribadi tokoh Ipeh dalam novel ini kurang loveable.
Inkonsistensi dan kelemahan karakter juga saya temui pada sosok Satria. Baru pada bagian akhir cerita (setelah 300an halaman) saya diberitahu kalau Satria ini suka membaca karya sastra! Tidak tanggung-tanggung, dia menyukai novel dan PUISI! Lha kok, selama tiga ratus halaman itu saya sama sekali tidak menangkap bocoran-bocoran informasi kalau Satria ini seorang pembaca sastra? Justru sebaliknya, Satria bahkan menyebut tokoh Alvin (Raden Mas Arya) sebagai sosok lebay yang suka update status romantis. Pembaca sastra macam apa Si Bangsat, eh Bang Satria Baja Hitam ini?! Sepanjang cerita saya justru mendapati sosok Satria sebagai seorang dokter yang garing. Sok jaim, tidak romantis dan jauh dari basuhan air wudu, eh, sastra.
Dari sisi komedi, Teh Yuni sebagai pengarang Saipeh Baper sudah cukup memiliki sense of comedy yang baik. Diksi dan dialog yang terbangun antara Saipeh, Laila dan Sapi sukses membuat saya senyum-senyum mesum sambil menyabuti bulu hidung.
Dari sisi riset, saya mendapati banyak informasi dan scene tindakan medis. Sebuah nilai plus. Ada kemungkinan sang pengarang memiliki keluarga yang berprofesi di bidang jasa kesehatan. Mengingat di bagian biodata pengarang saya hanya mendapati informasi sang penulis adalah seorang guru, ibu rumah tangga dan penjinak komodo (maaf, saya mulai lelah).
Sebuah karya fiksi sekalipun memerlukan kepercayaan dari pembaca. Terutama terkait dengan pengetahuan umum. Saya mendapati kesalahan informasi di novel Saipeh Baper ini dalam scene kunjungan Saipeh dan peserta workshop penulisan sejarah ke Museum Fatahillah. Yakni, ketika sang guide berkata “Batavia adalah kota impian yang diharapkan bisa sama seperti Belanda. Kota dengan benteng yang kuat dan dikelilingi sungai-sungai. Sayangnya, Batavia berbeda dengan Belanda. Lokasinya berada di dataran rendah, sehingga saat musim penghujan air sungainya meluap ditambah curah hujan yang cukup tinggi. Karena itulah sejak dahulu pun Batavia sudah sering kena banjir.” Silakan cek di buku geografi SMA atau di Wikipedia, bagaimana topografi wilayah Belanda? Yup, 50% wilayah Belanda kurang dari satu meter di atas permukaan laut! Dan sekira 20% wilayahnya bahkan lebih rendah dari permukaan laut! Bukan tanpa sebab Belanda (Hollanda) dinamai sebagai Netherland (negeri berdaratan rendah). Jadi, Batavia dan Belanda memiliki topografi yang sama-sama berada di dataran rendah yang rawan banjir.
Tapi kenapa Belanda tidak dihebohkan dengan berita bencana banjir, padahal daratannya juga rendah seperti Jakarta dan di negara tersebut sangat “adzab-able” (Belanda melegalkan industri drugs, prostitusi serta mengakui, melindungi dan melegalkan pernikahan LGBT)? Jawabannya karena mereka memiliki teknologi dan sistem pompa air terbaik di dunia. Sementara Jakarta menangani banjir hanya dengan karung pasir, doa-doa dan sibuk mencari kambing hitam siapa pendosa penyebab Tuhan murka dan menurunkan adzab-Nya? (Baiklah, saya mulai lapar).
Kelemahan lain dari novel ini saya dapati pada bagian kunjungan Saipeh ke Kota Tua, Jakarta. Pada bagian ini terdapat scene di mana Ipeh nyaris membeli Siomay B2. Menurut saya ini salah satu pemaksaan situasi yang dilakukan pengarang demi menyampaikan hasrat atau kepentingannya menceramahi pembaca. Tokoh Saipeh dikondisikan sedemikian naifnya sehingga dengan segala informasi yang ada (pembaca pun sudah diberikan informasi dan deskripsi bahwa Saipeh sedang berada di daerah Pecinan) dia tidak tahu bahwa di daerah tersebut banyak makanan berbahan daging babi. Bahkan tidak perlu menjadi seorang mahasiswa dengan IPK yang bagus untuk mengetahui informasi yang sangat common bahwa etnis Tionghoa sangat akrab dengan daging babi (di negara China babi adalah daging nasional, setara dengan daging ayam bagi mayoritas orang Indonesia).
Ketakutan kita pada daging babi itu sudah sangat terkenal bahkan kerap dijadikan lelucon hingga sarkasme. Setiap muslim pasti memiliki pengetahuan dan kewaspadaan yang tinggi pada daging babi. Jadi, scene Ipeh nyaris mengonsumsi siomay B2 ini merupakan scene yang terlalu dipaksakan untuk hadir dalam cerita ini. Please deh, Ipeh, ngupil sembarangan nggak akan bikin kamu jadi sekuper dan senaif itu kok. 😌
Menulis fiksi itu adalah seni how to describe, bukan sekadar to tell. Bagaimana caranya mendeskripsikan cinta, tanpa perlu bilang i love you. Bagaimana caranya menceritakan kondisi rumah tanpa penghuni tanpa perlu menulis rumah kosong. Bagaimana menghadirkan situasi orang yang sedang marah tanpa perlu membentak, menggebrak atau melempar handphone.
Salah satu bagian deskripsi yang cukup berhasil dalam novel Saipeh Baper ini adalah ketika Sang Ratu mengundang Ipeh ke rumahnya. Yuni Astuti menyajikan scene usaha pamer Sang Ratu lewat perlakuan tak wajarnya menjamu Ipeh dengan makanan mewah yang memenuhi meja, menghadiahi si dekil Ipeh banyak pakaian dan sepatu mahal, serta memberikannya pelayanan paling mahal di salon milik Sang Ratu. Salon yang disebut menjadi langganan para selebritis.
Tetapi di banyak bagian lain, Saipeh Baper bukanlah novel yang memiliki kekuatan dalam deskripsi. Meski tebalnya mencapai lebih dari tiga ratus halaman, saya mendapati banyak bagian deskripsi yang kering, tergesa-gesa dan alakadarnya.
Kekuatan utama Saipeh Baper ada pada narasi dan dialog jenaka antara Saipeh, Kayla dan Si Sapi (Safira).
Semangat dakwah dalam novel ini sangat kuat, bahkan di sejumlah bagian (seperti pada kasus daging babi yang saya ulas di atas) nampak sangat vulgar dan dipaksakan.
Kelemahan lain ada pada detail latar belakang tokoh Arya dan Ayasha. Bagaimana sosok yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa macam Arya dan Ayasha tetiba menjelma sosok yang sangat Soleh dan Soleha level aktivis ormas keagamaan? Lazimnya, mereka adalah penganut Islam Kejawen atau bisa juga Islam KTP. Seharusnya pengarang bisa memberikan informasi tambahan latar belakang muasal kereligiusan mereka, misalnya mereka punya guru ngaji keluarga atau saat sekolah dan kuliah mereka adalah aktivis berbasis agama.
Selain dari topik percintaan, novel ini minim konflik dan kritik sosial, terutama sekali otokritik pada komunitas religius itu sendiri.
Saya nyaris tidak menemukan tokoh antagonis lain selain sosok Sang Ratu yang sangat mementingkan bibit, bebet dan bobot dalam memilih menantu. Tokoh-tokohnya cenderung homogen, baik lelaki dan perempuan, hampir semuanya gambaran ideal seorang muslim dan muslimah, tanpa merasa perlu menghadirkan fakta-fakta dan masalah yang ada dalam kehidupan dan praktik beragama di Indonesia.
Padahal realitasnya banyak problem dan paradoks yang bisa diangkat. Semisal ibu-ibu pengajian yang rajin bergunjing, ibu haji yang dikenal sebagai guru ngaji tapi pelit dan julid, ikhwan yang mata keranjang, ikhwan yang bermulut lancang merendahkan perempuan. Guru-guru ngaji yang minim pengetahuan dan kemampuan bernalar sehingga mudah dihasut dan percaya hoax. Orang-orang yang terpapar paham radikal sehingga bersikap intoleran, baik pada non muslim maupun kepada saudara muslimnya yang berbeda pemikiran.
Fakta-fakta dan problematika praktik beragama di Indonesia itu sangat layak, bahkan urgent untuk diangkat, baik sebagai bahasan serius maupun dalam kemasan komedi.
Akhirul kalam, ladies, saya merasa perlu menegaskan, bahwa memeperkan upil sembarangan, mengumbar bau napas seperti seekor naga dan sengaja bersendawa dengan biadab seperti habis menelan bulat-bulat seekor unta itu sama sekali tidak kiyut! Itu tindakan barbarik dan kriminal setara dengan mengaduk-aduk bubur ayam sebelum dimakan, mengoplos semangkuk Indomie dengan dua piring nasi dan martabak manis atau mendadak kesurupan saat kelupaan membawa dompet di depan Mbak Kasir Indomaret! Itu sungguh laknad sekali! 😌
Ulasan laknad, tapi kusuka. 😂