Bagaimana seorang pengarang tak dikenal dan dikenang tatkala sepanjang hidupnya telah melahirkan 600 judul buku. Tulisan-tulisan berumur lebih panjang daripada raga pengarang. Setiap kisahnya dirayakan oleh para pembaca dan mengalami cetak ulang selalu untuk menemukan pembaca yang baru. Enid Blyton (1897-1968) telah terpajang dalam perigi ingatan membaca masa kecil kita, bersandar di rak-rak kegembiraan melahap petualangan, dan memasukkan kita ke dalam semesta imajinatif anak-anak. Enid Blyton, seorang pengarang perempuan, mengizinkan kita memasuki petualangan Sapta Siaga atau Lima Sekawan dengan mendebarkan. Banyak anak Indonesia yang telah dewasa membaca Enid Blyton. Mereka tetap menjadi pembaca setia sekaligus mewariskan pada anak-anak di masa kini.

Majalah remaja Hai edisi 26 Juni-2 Juli 1984 pernah memuat ketokohan Enid Blyton dengan “keterlaluan” panjang. Biografi kepengarangan Enid lebih dibentuk oleh ayahnya, Thomas Carey Junior, meski sejak belia Enid lebih didamba menjadi pemusik. Ada peristiwa bersahaja sebagai bentuk pengasuhan intelektual yang dilakukan sang ayah, jalan-jalan menikmati alam sembari membacakan sajak-sajak. Ketika memasuki bangku sekolah sekitar umur 6 tahun, mulailah tampak kebiasaan Enid bersentuhan dengan buku-buku, “Buku ayahnya di rak selalu direcoki dan buku seri encyclopedia himpunan Arthur Mee adalah buku yang sangat disenanginya. Ia selalu mencari keterangan-keterangan yang ingin diketahuinya di buku tersebut dan selalu mengingat-ingatnya, untuk kemudian dicocokkan dengan keadaan sehari-hari yang ditemuinya. Bila ada suatu perbedaan, maka Enid tak segan menambahi catatan-catatan dengan pinsil di pinggir lembarannya yang kosong.”

Namun, sering seorang tokoh memang tidak ditakdirkan lahir dari keluarga yang sempurna. Enid harus menghadapi pertengkaran orangtuanya pada usia 13 tahun. Saat ayahnya meninggalkan rumah, inilah masa-masa kejatuhan seorang anak yang tengah bersemangat belajar dan meramu kebebasan oleh asupan bacaan. Ibu Enid percaya bahwa takdir anak perempuan cuma menjadi “nyonya rumah” yang baik. Meski ayah Enid masih melanjutkan pengasuhan intelektual dari jauh, ingatan perpisahan itu terasa mengoyak batin. 40 tahun kemudian, Enid melahirkan novel Six Bad Boys sebagai perwakilan pertumbuhan anak-anak yang terkoyak oleh ketidakberesan keluarga.  

Membuka halaman-halaman Enid, kita memang cenderung dihadapkan pada kehidupan anak-anak dari keluarga nan harmonis dengan kemapanan ekonomi, sosial, dan kasih sayang. Konflik justru tidak datang dari internal keluarga, tapi pada masalah-masalah di sekitarnya. Dengan daya pertemanan dan empati khas anak-anak, Enid ingin memusatkan kehidupan yang baik dan lebih baik ada di tangan anak-anak. Ia ingin mengabarkan anak-anak yang bertumbuh dengan sehat, gembira, riang, penuh daya penasaran, mandiri, dan penuh petualangan. Anak-anak di Sapta Siaga atau Lima Sekawan bukan anak-anak yang selalu disetir atau dikontrol orang dewasa dalam mengambil keputusan atau menentukan tindakan.

Pinjaman dan Belanjaan

Pengabaran ketokohan Enid tentu bukan sekadar karena ketenaran atau jumlah judul yang fantastis. Tulisan-tulisan Enid tidak hanya berpengaruh pada anak-anak yang bertumbuh sebelum Perang Dunia II di Eropa, tapi juga anak-anak di Indonesia. Salah satu alih bahasa nan rajin menerjemahkan buku-buku Enid tidak lain Agus Setiadi, ayah dari Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan RI. Di buku pengisahan biografis orangtua berjudul Berkah Kehidupan, 32 Kisah Inspiratif tentang Orangtua (2011), Hilmar mengatakan, “Dari Ayah, saya belajar segala yang berurusan dengan pengetahuan, mulai dari bahasa sampai cara berpikir.”

Selain mempersembahkan terjemahan Lima Sekawan, Sapta Siaga, Trio Detektif untuk bacaan anak-anak Indonesia, Agus Setiadi juga menularkan etos berbahasa dan membaca kepada Hilmar. Pernah dalam suatu perjalanan dari Jerman ke Indonesia, Hilmar memilih bekal Enid Blyton sebagai bekal bacaan. Kegagalan masuk universitas yang sempat dirasakan Hilmar, ditebus dengan menerjemahkan cerita anak-anak yang ditawarkan Agus Setiadi. Enid Blyton satu dari sekian buku anak yang menempati biografi intelektual Hilmar.

Kesuksesan Enid membentuk biografi membaca anak-anak Indonesia juga tampak dari keberhasilan promosi penerbit di lembaran-lembaran majalah anak, terutama Bobo. Masa 80-an, majalah menjadi media amat potensial mengabarkan bacaan baru bagi anak-anak Indonesia meski sasaran utama pengiklanan cenderung anak-anak dari kalangan menengah ke atas dari keluarga yang terdidik. Bagi generasi 80-90an yang tidak terlalu bisa mengudap buku baru sebagai asupan gizi, mendapatkan berkah membaca Enid dari persewaan buku. Anak-anak rela menyisihkan uang saku bukan untuk jajan, tapi mengikuti petualangan mendebarkan Peter, Skippy, Julian, Anne, Timmy, dan kawan-kawan. Memang hampir dipastikan, buku Enid menempati rak-rak bersamaan dengan novel seram garapan R.L. Stine dan aneka komik Jepang yang melimpah.

Pengakuan para pembelanja buku di Atas Nama Buku, Memoar Teladan Para Pembelanja Buku (2017) pun tidak meluputkan Enid Blyton dari daftar bacaan, pinjaman, dan belanjaan. Salah satu pengisahan datang dari Hafizh Syariefuddin Musthofa yang masih duduk di bangku SMP di Pontianak. Hafizh mengaku membaca Enid Blyton sejak kelas 4 SD. Toko buku favoritnya adalah Toko Buku MPH di Malaysia yang kebanyakan menjual buku-buku Enid Blyton dalam edisi bahasa Inggris. Pengakuan Hafizh membuktikan generasi kekinian, yang sekalipun sempat dipesona oleh komik daring ala Line dan cerita-cerita di Wattpad, masih gandrung dengan buku dan cara membaca buku  konvensional. Enid Blyton akan terus diingat dalam biografi membaca awal sebelum bertemu lebih banyak buku.

Buku-buku berumur panjang tidak sungkan memasuki biografi pembaca kanak dan yang tidak lagi kanak dengan pukau petualangan. Cerita justru tidak mengandung ajaran moral nan gamblang  bisa digali oleh anak-anak sekaligus memberi efek sekejap. Kuasa percetakan membawa cerita-cerita berkelana dan terawetkan dalam lembaran-lembaran terbaca. Cerita melewati masa demi masa, beralih dari satu bahasa ke bahasa lain, dan menemukan pembaca aneka rupa.***