Matahari telah bergeser inci demi inci ke arah barat. Mengubah wajah langit kala itu jadi tembaga. Sedang di halaman rumah, anak-anak angin masih asyik bermain. Berlarian ke arah teduhnya bayang-bayang pohon jambu dan rambutan. Menggoyang ranting dan pucuk daun sebelum mereka lenyap ke angkasa. Di teras rumah, lelaki itu tengah khusyuk bercerita seraya menikmati secangkir teh. Matanya bersinar, penuh semangat. Senyumnya seketika mekar saat ia mengingat lagi pesan dari almarhum ayahnya. ”Bapak pernah bilang, kalau saya harus bisa baca. Kalau bisa baca, ke manapun saya pergi tidak akan nyasar. Pesannya sederhana. Setelah dewasa, barulah sadar bahwa pesan tersebut begitu dalam maknanya. Membaca di sini, bukan sekadar membaca arah atau membaca rambu yang berserak di jalan, tapi membaca segala hal yang ada di kehidupan agar selamat di dunia dan akhirat. Serupa perintah Allah SWT di wahyu pertama (iqra),” tutur lelaki yang mendapat anugerah sebagai Duta Baca Provinsi Banten 2018 itu.
Rahmat Heldy HS atau lebih akrab disapa Rahel, adalah seorang dosen dan penulis produktif. Terhitung sudah 39 buku telah ditulisnya, entah dalam antologi bersama maupun perorangan. Novel terbarunya yang bertajuk Ada Surga di Kerudung Ibu, mendapat penghargaan sebagai novel bestseller versi Gong Publishing Award 2018. Rahel mengatakan bahwa setiap tulisannya akan selalu berbau pendidikan dan bernuansa pedesaaan. ”Hampir setiap puisi atau cerita yang saya tulis bernuansa lokal kultur. Hal itu tidak bisa saya lepaskan dari empirisme kehidupan sehari-hari saya di kampung. Karena sedari kecil yang namanya mengembalakan kambing, memandikan kerbau, berrmain di sawah, mencari rumput sehabis pulang sekolah adalah bagian dari rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Dari situlah kemudian banyak ide-ide lahir dan saya kembangkan menjadi tulisan,” jelas Rahel dengan penuh kesungguhan.
Lelaki yang lahir di Serang pada 12 Juli 1981 lalu mengaku, sewaktu kecil persinggungannya dengan bacaan sangatlah terbatas. Malah bisa dibilang sulit mendapatkannya. Sebagai anak dari Ayah yang berprofesi menjual kerbau dan Ibu seorang petani, menyediakan buku bacaan untuk anak bukanlah hal pokok di dalam keluarga. ”Bapak kan penjual kebo dan tidak bisa baca sama sekali, sedangkan Ibu sehari-hari ngurus sawah dan ladang. Buku bacaan sama sekali nggak ada di rumah. Tapi waktu itu, anak-anak di kampung punya kebiasaan ngeruntuk atau mengambil rongsokan rumah tangga untuk ditukar ke Mamang Brondong. Saya pun ikut. Waktu itu saya sudah kelas 4 sekolah dasar. Hasil ngerongsok tadi, ada yang ditukar dengan berondong jagung, minyak dan komik. Dan saya memilih ditukar dengan komik. Saya masih ingat judulnya ”Lutung Kasarung” itu adalah bacaan pertama saya, barulah setelah kuliah saya mengenal Kahlil Gibran, Multatuli, Cecep Syamsul Hari, Joko Pinurbo dan yang lainnya,” ungkap Rahel seraya mengenang masa lalunya.
Setelah menjabat Duta Baca, Rahel mengaku hari-harinya jadi tambah sibuk. Jadwal mengajar di sekolah dan di kampus mesti ia sesuaikan dengan banyaknya undangan di luar agar tidak bentrok dan saling memberatkan. ”Hari-hari ini saya kewalahan mengatur jadwal. Sebagai seorang pengajar, sebagai duta baca, dan sekaligus sebagai penulis. Bisa dibilang, setiap hari nggak ada waktu kosong buat saya. Maka saya harus pintar mengolah waktu agar semuanya nggak bentrok. Hal ini juga penting untuk menjaga kesehatan saya. Karena kalau aktivitas padat dan manajemen waktunya buruk, bisa berantakan,” ungkap Rahel sambil menyilakan saya untuk meminum kopi yang sudah ia sediakan.
Menjadi Duta Baca adalah tugas yang berat. Apalagi setiap aktivitasnya dilakukan mandiri tanpa pendanaan. Ya, gerakan sosial. Hal ini yang kemudian menuntut Rahel untuk kreatif membagikan inspirasi dan budaya literasi di tengah masyarakat. ”Menjadi duta baca bagi saya bukan persoalan mudah. Ini adalah gerakan sosial, apalagi mengajak masyarakat untuk gemar membaca, nggak bisa instan. Kita harus berpikir kreatif agar ajakan kita bisa diterima baik di masyarakat. Nah, itu kenapa kita harus bisa memanfaatkan zaman.
Di zaman kemajuan teknologi internet seperti sekarang, kita harus bisa memanfaatkan media semaksimal mungkin. Maka penggunaan media sosial bisa kita isi dengan konten tentang pentingnya sadar literasi. Seperti posting karya, quotes, dan gerakan literasi langsung, kayak bedah buku atau gelaran buku. Hal ini dimaksudkan untuk membangun iklim literasi agar bisa viral dan dilakukan banyak orang. “Karena kalau bisa bersama-sama kenapa nggak, bukankah akan jadi lebih ringan?” jelas Rahel. Gerakan semacam ini salah satunya berguna untuk menangkal tersebarnya berita hoax (kabar bohong). Karena semakin banyak orang kritis membaca dan diskusi pasti tidak akan sembarang menyebar informasi.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa penggerak literasi juga mesti sadar kalau penyediaan bacaan juga harus sesuai dengan potensi masyarakat yang ada. Agar dampak literasi lebih terasa dan konkret. ”Banyak dari kita, penggerak literasi, sembarangan dalam penyediaan bahan bacaan di masyarakat. Mereka tidak sadar bahwa bacaan juga harus bisa membangun potensi ekonomi di masyarakat tersebut. Sebab, kemampuan membaca akan menentukan kemampuan ekonomi, dan kemampuan ekonomi masyarakat yang baik, akan menentukan kemajuan sebuah bangsa,” tutup penulis yang tengah mempersiapkan novel terbarunya di 2019 ini yang bertajuk, Raisa Gadis Selat Sunda. (Bhq/red).
Nah postingan kali ini sangat bermanfaat, saya sering berkunjung dan membaca postingan disini.
Emang keren-keren kontennya. Salah satu blog yang recommended deh.