Sore itu, aku baru saja pulang salat dari masjid, banyak orang hilir mudik menggunakan kendaran roda dua, mereka hendak ngabuburit ramadan. Jalan-jalan sore di bulan puasa memang mengasyikan, apalagi saat mengunjungi keramaian kota, ada banyak hal yang kita jumpai, seperti aneka kuliner takjil dan jajanan lainnya. Tapi kali ini aku berisap-siap menuju tempat wisata bersejarah yang ada di Banten. Aku ditemani si Ucup, motor Astrea Prima kesayanganku.
Sebelum berangkat, tentu tak lupa kubawa beberapa peralatan untuk membuat konten video di channel YouTubeku Sejo Qulhu. Kuambil kamera GoPro Hero 9 di dalam lemari, ia bertugas mengabadikan momen-momen indah dalam setiap perjalananku. Juga mounting dan microphone kumasukkan ke dalam tas kanderon-ku.
Entah mengapa, mengunjungi tempat-tempat bersejarah adalah hal paling mengasyikkan, selain menikmati bangunannya yang begitu estetik, sisi lain juga ada cerita menarik yang melatarbelakanginya. Aku pernah mendengar kisah-kisah heroik dari kakek, bahwa di masa kejayaan Kesultanan Banten, dahulu Kesultanan Banten pernah menguasai perdagangan internasional. Sehingga tidak heran, bangsa asing seperti China dan Belanda bisa menginjakkan kaki di Banten.
Perjalanan menuju Masjid Pecinan pun dimulai. Saat kulewati jalan Lopang menuju arah Banten Lama, perjalananku terhambat oleh kemacetan, sepanjang jalan raya di kiri dan kananya banyak sekali warga yang berdagang, menjual aneka takjil menu berbuka puasa.
Aku menikmati perjalanan sore itu dengan santai. Oh iya, dari tempat tinggalku di Rumah Dunia Sumur Pecung ke Masjid Pecinan jarak yang harus aku tempuh sekitar 14 kilometer atau 25 menit perjalanan.
Sesampainya di Masjid Pecinan, aku melihat tempat itu tampak sepi pengunjung. Di dalamnya hanya ada dua orang bapak-bapak yang sedang beraktivitas. Menara Masjid berbentuk kotak persegi empat terlihat tinggi dari luar gerbang, ketika aku melihat menara itu kurasakan seperti bukan berada di Banten.
Akan tetapi mirip sekali seperti masjid yang ada di Negeri China sana. Semoga suatu saat aku bisa ke negeri tirai bambu itu, Aamiin. Andai saja masjid itu masih bisa digunakan untuk tempat beribadah, pasti akan menarik sekali. Kini masjid itu bagian dari sejarah dan cagar budaya.

Aku memasuki gerbang Masjid Pecinan, daun-daun tanaman melambaikan tanda menyambut kedatanganku. Semilir angin menyegarkan dan menyejukan badanku yang berkeringat. Dari kejauhan terdengar lantunan salawat syair dalail Khairat dari corong speaker, hal itu sudah membudaya dalam masyarakat Islam di Banten. Saat berada di dalam Masjid Pecinan, kudekati seorang bapak-bapak yang sedang mengarit ilalang di bawah landmark tulisan Masjid Pecinan Tinggi.
Aku izin melewatinya, “punten,” kataku. Ia mengangguk dan tersenyum. Aku berjalan menyusuri bebatuan kerikil, melihat keindahan bangunan yang ada di masjid Pecinan. Sayangnya aku tak berkenalan dengan bapak yang sedang mengarit itu, aku khawatir mengganggu waktu kerjanya.
Kudekati seorang bapak lain yang sedang duduk di pendopo Masjid Pecinan. Tampaknya ia petugas keamanan di masjid ini, aku mengulurkan tangan dan berkenalan dengannya. Sardi namanya. Kujelaskan maksud dan tujuanku datang ke tempat ini.
“Di sana ada tempat mimbar imam salat yang masih utuh, di dekat itu juga ada sumur yang dikeramatkan,” kata Pak Sardi. Aku begitu antusias saat ia menceritakan sejarah Masjid Pecinan ini.
Pak Sardi menambahkan, “Sumur tersebut belum pernah kekeringan meski cuaca sedang kemarau.” Saat kudekati sumur keramat itu, airnya begitu jernih, batu batanya besar sekali, khas bangunan kuno. Di pinggir sumur, ada bekas kembang tujuh rupa berserakan, sepertinya sumur ini juga digunakan orang-orang untuk melaksanakan ritual tertentu. Wallahualam.
Di sisi utara masjid, tepat di dekat rel kereta Merak – Rangkasbitung juga ada makam mualaf asal China. Makam itu ditumpuki oleh pasir dan batu kerikil membentuk gunung pasir, di batu nisannya bertuliskan aksara China, aku sempat menanyakan kepada Pak Sardi, tetapi ia tak mengetahui siapa yang dimakamkan di situ.
Saat aku melihat makam tersebut, aku merenung dan berkhayal, bagaimana jika aku hidup di masa kesultanan Banten. Pasti aku bisa salat jumat berjamaah di sini bersama orang-orang muslim China. Aku tersadar saat klakson kereta begitu nyaring terdengar.
Suara deru mesin kereta begitu menggelegar. Saat kereta melintas, tanah di Masjid Pecinan ini bergetar. Kalau saja aku sedikit memundurkan langkah kaki, akan aku foto kereta api yang melintas di depanku. Foto yang dihasilkan akan kontras sekali, dalam bingkai foto itu akan ada panorama tanaman, gebang masjid dan Menara masjid yang kuno dan juga kereta api modern yang sedang melintas.
Saat aku kembali ke Pendopo Masjid Pecinan, Pak Sardi menceritakan bahwa, “Gerbang Masjid Pecinan ini, yang aslinya ada di depan pemukiman rumah warga, dekat dari sini sekitar 500 meter dari sini,” katanya.
Saat Pak Sardi menceritakan seputar masjid ini, aku begitu tertarik untuk melangkahkan kaki untuk melihat seperti apa gerbang asli masjid Pecinan itu. Saat sampai di lokasi yang aku tuju, gerbang itu sangat unik sekali, bagaimana tidak? Di depan rumah warga bernama Ibu Nining ada peninggalan bersejarah masa kesultanan Banten.
“Gimana perasaan ibu ada gerbang masjid pecinan di depan rumah?”
“Sejak kecil saya senang sekali melihat peninggalan bersejarah ini, bagus banget! Cuma dua bulan kemarin pohon di sini pada layu karena banjir bandang,” tuturnya.
Setelah mengunjungi Masjid Pecinan Tinggi, aku semakin penasaran ingin melihat tempat bersejarah lain yang ada di Banten. Sepertinya, perjalanan berikutnya aku akan mengunjungi Vihara Avalokitesvara, suatu tempat ibadah yang menandakan kerukunan beragama di Banten. Wassalam.