Pekan lalu saya tak menulis esai untuk rubrik ini. Alasannya adalah karena saya sedang sibuk. Itulah yang saya katakan pada pemimpin redaksi media ini. Dan jujur saja, tidak menulis karena alasan sibuk ataupun alasan yang lain, bukanlah hal baik bagi penulis. Tidak menulis, ya, berarti tidak menulis. Tidak menulis berarti bukan penulis.
Apa yang saya lakukan selama sepekan lebih terakhir, dan menyebabkan saya tak menulis? Saya, katakanlah, menyiapkan (karena disuruh kepala sekolah) laporan penelitian “dadakan” untuk mengikuti lomba inovasi pembelajaran yang diadakan oleh Dinas Pendidikan setempat, selain masih ada beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan tugas sekolah.
Sebenarnya penelitian itu tidaklah dadakan, karena memang saya telah melakukannya selama dua semester di tahun pelajaran ini yang dalam hitungan hari akan segera berakhir dan berganti dengan tahun ajaran baru. Saya hanya perlu menuliskannya. Tapi, ya, itu: menulis laporan penelitian tidak bisa dilakukan dalam sekali duduk seperti membaca sebuah cerpen.
Sebenarnya saya bisa mengelak dari tugas itu dan bisa saja tugas itu dibebankan kepada guru yang lain. Atau bisa jadi dari sekolah tempat saya mengajar tidak ikut salah satu “cabang” atau kelompok mata pelajaran dari lomba tahunan tersebut. Tapi, kata kepala sekolah, jika hal terakhir yang saya sebut terjadi, (guru-guru di) sekolah kami mungkin akan dicap tidak punya inovasi dalam pembelajaran.
Pada akhirnya saya mengikuti lomba itu, tapi niatnya bukan karena diminta oleh orang lain –karena itu akan membuat saya setengah-setengah dalam menjalankannya dan hasilnya takkan memuaskan saya sendiri dan orang lain– atau hal lain, melainkan untuk menguji kemampuan diri, menguji apakah saya bisa menulis laporan penelitian itu dalam waktu beberapa hari sebelum tenggat waktu.
Kemudian sebuah pertanyaan muncul kepada diri saya sendiri: Mampukah para guru yang ada di kota kita, di provinsi kita, di negara kita berinovasi, terutama dalam pembelajaran dan dalam hal-hal lainnya? Mungkin mereka bisa, tapi tidak banyak.
Overdosis Beban Kerja
Para guru di negeri kita diberi beban yang cukup –untuk tidak mengatakan sangat– banyak dalam bekerja. Bagi guru sertifikasi, beban mengajar minimal harus 24 jam dalam sepekan. Mungkin itu tak menjadi masalah agar guru bisa berinovasi, jika tugasnya memang hanya untuk mengajar, namun yang jadi masalah ialah, kewajiban guru bukan itu saja. Porsi jam mengajar guru bisa dibilang sangat sedikit dibandingkan dengan beban kerja yang lain.
Guru juga harus menyelesaikan kewajiban administratif sebagai guru, seperti perangkat pembelajaran (rencana pembelajaran, program semester, program tahunan dan konco-konconya) yang sangat menyita waktu dan menguras energi dan memeras pikiran. Belum lagi di akhir musim semester atau tahun ajaran: membuat soal, menilai hasil ulangan, memberi dan menginput nilai, dan seterusnya dan semacamnya.
Belum lagi dengan kegiatan-kegiatan sekolah yang memerlukan susunan kepanitiaan. Mau tak mau guru harus menjadi ketua atau anggota panitia suatu kegiatan. Ada kepanitiaan jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang. Dan kegiatannya tak hanya satu dalam waktu yang bersamaan—bisa dua, tiga bahkan lebih.
Guru harus multitasking! Itu baru beberapa hal. Ada juga guru yang harus merangkap jabatan lain, seperti menjadi wakil kepala bagian kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana, walikelas, dan lain-lain. Jika dalam sebuah satuan pendidikan memiliki banyak personel guru, barangkali itu tak masalah. Tapi bagaimana dengan satuan pendidikan yang hanya memiliki sedikit personel guru? Percayalah, itu sangat menguras waktu, tenaga dan pikiran.
Kondisi ini diperparah dengan honorarium guru yang memprihatinkan. Bagi guru PNS atau P3K mungkin tak terlalu bermasalah terkait honor, apalagi bagi mereka yang sudah punya golongan yang tinggi dan sertifikaasi, tapi bagaimana dengan honor guru yang lulusan sarjana, terutama guru yang mengajar di sekolah swasta yang—maaf—kurang bonafit, masih jauh di bawah honor kasir di minimarket yang cuma tamatan SMA? Dan celakanya, guru dengan kondisi demikian masih banyak jumlahnya.
Dengan kondisi yang memprihatinkan seperti itu, para guru yang mengajar di sekolah swasta yang kurang bonafit harus mencari sampingan pemasukan lain. Setelah pulang mengajar di sore hari, mereka masih harus memikirkan kebutuhan keluarganya. Kalau begitu, bagaimana ia bisa berinovasi, sementara fokus pikiran dan tenaga dan waktunya masih harus untuk kebutuhan primer.
Sudah barang tentu dengan kondisi itu para guru tak punya waktu untuk membaca, belajar, menulis, berkarya, apalagi berinovasi! Apalagi jika sang guru sudah berumur, beranak banyak. Sudah tidak patut mereka dipaksa untuk berinovasi. Mereka seharusnya diberi kelonggaran waktu untuk beribadah dan beramal saleh sebanyak-banyaknya, bukan dibebani tugas sebanyak-banyaknya.
Imbasnya, ada pada kualitas murid-murid yang diajar. Karena minim inovasi, yang dilatarbelakangi kondisi-kondisi suram yang disebutkan dari awal hingga akhir tulisan ini, secara umum pendidikan kita masih jauh tertinggal dari bangsa-bangsa yang lain.
Jika hasil ingin berubah, tentu sistem harus diubah. Dan itu salah satunya bisa dimulai dari meminimalisir beban kerja guru, karena bagaimana pun ujung tombak pendidikan itu ada pada guru, yang terjun langsung ke lapangan, yakni mendidik para penerus bangsa. Beri mereka waktu yang banyak untuk belajar dan mengembangkan diri, untuk meningkatkan kompetensi mereka sebagai guru, bukan malah diberi beban kerja yang segunung setiap tahunnya. Dan berikan kesejahteraan yang layak, karena guru bukan budak pendidikan, melainkan dirigen pendidikan. Dengan begitu, inovasi dan perbaikan pembelajaran pasti akan tercipta dan berimbas pada kemajuan bangsa.
Nusantara, Senin, 12 Juni 2023