Seorang Perempuan yang Berduka di Bibir Demaga
i.
sebelum angin laut menjadi begitu berbahaya, sebuah panggung pertunjukan digelar di sini. ombak sengaja mengirim sebuah alamat tentang kesedihan. bahasa rontok satu per satu ketika sebuah kapal mendaratkan tubuhnya ke bibir dermaga, mengantar kepergian juga kepulangan.
pada percakapan yang tergesa, air mata lepas menjadi tanda perpisahan tiba. kata-kata terhenti. karang dan lokan menjadi saksi, satu kecupan tak cukup menerangkan perasaan yang teramat suci. di keningnya, warna sepia dari cinta berubah derita.
senja merah saga di barat bahkan enggan menerka, berapa purnama yang mampu ia lewati setelahnya. camar-camar beranjak meninggalkan segara, sunyi menyisip seketika. hanya desir pantai tersisa sebagai gema.
ii.
setelah matahari hilang bayang, malam menganga dengan luka-luka dada. di tubuhnya yang berlubang, kehilangan masih menjadi paling ranum yang meminta ditulis sebagai puisi juga sebagai kenangan masa depan. ia biarkan waktu berjalan lambat mengurapi kesedihan, sambil sesekali menyeka dan menertawakan kerinduan.
iii.
dalam ingatannya, tiap adegan selalu menjelma gelombang yang tak pernah padam, menggeliat bagai huruf-huruf menyanyikan wajah musim. antara musim panas dan musim dingin, adakah yang lebih berharga ketimbang ucapan selamat tinggal?
ia bergeming di batas angin. ombak disembunyikannya di matanya yang bening. jarak adalah maut sederhana, dan kehilangan merupakan kematian kecil yang mengetuk dadanya. ia kerap berharap, hari tak menemukan akhir, sampai perjumpaan kesekian kembali digelar.
Yogyakarta, 2024
***
Episode Kesedihan Ragapadmi
halimun mendadak pekat. hanya lolongan anjing samar-samar dan kebekuan malam tinggal bayang yang kian memudar. dingin awet di sini, di pulau mandangin yang sepi. tak ada api unggun untuk sekadar menghangatkan tubuh yang telanjur gigil. aku gelisah, sebab di matamu yang teduh tersimpan bau anyir darah dari kenangan masa silam.
mungkin pula pada nganga malam, kesunyian adalah bagian terperam dalam hatimu. maka ketika daun-daun gugur pada musim panas, aku tak hendak membayangkan dari mana arah angin yang mengempasnya atau bahkan ranting-ranting patah akibat terinjak menjangan yang tak kedengaran lagi bunyinya.
kemudian aku berharap, kau tak pernah menjadi maut bagi siapapun. tapi kini, bulan bengkak yang diselimuti awan itu adalah inti waktu bagi sebuah getar yang mendarat hangat di pelupuk mataku. menjadi semacam percikan yang menyediakan sumbu untuk mengakhiri puisi ini.
bahkan bila cinta dan maut adalah sepasang takdir, aku hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang diajak untuk menyelami keduanya. maka ketahuilah. ketika kuterima kabar dari pulau seberang dengan seribu kemelut menyakitkan, kata-kata kelewat nanar keluar dari bibirku, kematianmu adalah cambuk terberat bagi hidupku.
cahaya tiba-tiba tersumbat, langit mengabu juga napasku semakin kelu. dengan tangan gemetar, kuhunuskan pedang pada lambung untuk menghentikan kata-kata. kesedihan dan kesakitan begitu dalam. aku tak peduli, sebab di mataku kini, kematian hanya bagian detik rontok yang tinggal menghitung jari.
Yogyakarta, 2024
***
Elegi Kematian
tahun-tahun memucat dengan aneka musim yang sekarat. di mulutnya, kata-kata melompat dari satu liang lahat ke satu peristiwa yang teramat berat dilupakan. kematian menjadi misteri paling rahasia bagi setiap kehidupan.
ketika bunyi sirene ambulans bagai arakan gagak yang menggelegar siang itu. dari balik kain putih, wajah seorang perempuan tertidur dengan pupur bedak dan gincu di bibirnya. tak tercium bau tangis ataupun ratap orang-orang atas kepergiannya yang tergesa. hanya harum bunga dan rapal doa sebagai pujian terakhir. surga semacam hadiah paling mewah yang akan ia peroleh setelah jadi abu.
Yogyakarta, 2024
***
Di Loteng Katedral
angin berdenyar pelan
menabrak kulitku,
di sini, mendung kelihatan melambai
gerimis datang sebentar, dingin dan malam hari
ketika hatiku dan hatimu menggigil
karena sabetan tajam sunyi,
kata-kata kelewat melecut
ke atap tinggi
ada semacam kumbang terbang, mengkilap hitam
dari ruang-ruang gelap yang memar
dan luka terasa mencecar membelah dada
di mana bulan semakin tergelincir ke jalan licin
tidakkah mungkin suatu malam dendam kesumat
pada detik yang lewat begitu saja
begitu sia-sia
Yogyakarta, 2024
***
Variasi Lain Kesunyian Ki Bangsa Setra
di antara kabut yang pelan-pelan menyusut,
pendar cahaya dibawa kunang-kunang
menziarahi malam berlumut
bulan padam menjelma kesunyian
dengan dada gemetar,
empat potong bambu kurakit menjadi relikui
yang akan digetarkan dari musim ke musim
gandalia kutanggung sebagai lambang kemakmuran
dari balik lebat hutan, dingin lewat
membawa sisa angin dari celah-celah reranting
kesedihan dan kesunyian pecah
ketika kidung kutembangkan
hujan pun tumpah di kaki perbukitan
menjadi sungai-sungai bahasa yang tak akan timpas
kalimat meruncing di sini, menjadi penanda
cinta dan kenangan bermula
aku memungutnya sebagai sesuatu yang berharga
alunkan potongan bambu yang terpisah dari rumpunnya ini
sejarah kelewat lentik menari di batas kesedihan
sedang derap-derap harap sangat fasih meniti pematang
Banyumas, 2024
Catatan: Puisi di atas merupakan adaptasi dari sejarah munculnya alat musik Gandalia di Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
*) Image by istockphoto.com