Napas Bumi yang Retak
Aku mendengar bisik tanah,
retakannya melukis kepedihan langit.
Angin menjerit tanpa sapa,
laut menggulung kata-kata sunyi.
Pohon-pohon merajut hujan hilang,
di ranting yang lupa hijau.
Langkah air menguap diam-diam,
memburu awan yang berdusta.
Gunung memanggul beban waktu,
sedang matahari memeluk dingin.
Bumi, tangisnya jadi kenangan,
kita terus menulis luka.
Kapan kita akan kembali?
2024
***
Pasir yang Memanggul Peluru
Langit di sana tak berwarna,
hanya serpihan malam terbakar.
Kota-kota menjadi cermin pecah,
menyimpan jerit yang membatu.
Anak-anak mengejar bayangan,
di antara puing dan doa.
Peluru bersarang di tanah,
tak pernah tumbuh jadi bunga.
Darah menjadi bahasa bisu,
mengalir tanpa tahu arah.
Para pahlawan hilang nama,
terkubur bersama suara puisi.
Lalu apa artinya kemenangan?
2024
***
Garis Laut yang Retak
Angin memetakan lautan bisu,
pulau-pulau terpisah oleh bayang.
Kapal-kapal berlabuh tanpa nama,
menyimpan gelombang murka.
Di sini, moncong meriam menggeliat liar,
garis-garis teropong pengintai cakrawala.
Bahasa diplomasi kehilangan kata,
berbenturan di samudra curiga.
Burung-burung besi menunggu perang,
mengintai langit dengan matanya yang tajam.
Sementara ikan-ikan kecil mengais sisa sampah
Mereka bertanya, mengapa air sangat keruh?
Siapa yang melukis batas?
Siapa yang menghitung jarak?
Ketika laut menjadi kobar api,
karena tangan besi yang penuh ambisi.
2024
***
Angka-angka di Kertas
Uang kini berat seperti debu,
melayang tanpa harga pasti.
Angka-angka berlarian di angin,
menghilang sebelum tersentuh tangan.
Roti tak lagi berbau hangat,
harganya melampaui mimpi yang lapar.
Emas menjadi bintang jatuh,
tak terbeli oleh tangan gemetar.
Di pasar, waktu tak berarti,
semua berjalan lebih cepat.
Wajah-wajah terlipat seperti kertas,
menunggu nasib dalam antrean panjang.
Berapa harga mimpi besok?
Apakah masih tersisa pagi,
saat angka-angka menghantui malam?
2024
***
Sisa Napas di Udara
Kota-kota kembali bernafas pelan,
bayang virus masih mengintai
Di antara jarum dan harapan,
vaksin menari di meja-meja proyek.
Dunia digiring bahasa kekhawatiran,
meski tubuh ingin lupa.
Di balik masker yang lusuh,
rindu bertemu tak tersampaikan.
Matahari masih menggenggam jarak,
saat virus baru mengintai di sudut-sudut.
Tangis tersembunyi di layar,
layaknya statistik tanpa wajah.
Kita menghitung hari tenang,
di atas kalender yang rapuh ini.
2024
*) Image by istockphoto.com