Menembus kaca, ia bergantian memindai ibu dan kelima temannya. Mereka berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik, sementara ia ingin sekali menyumpal mulut si ibu. Tapi, ia tak dapat menemukan apa pun untuk melakukan itu.
“Bicaralah,” si ibu menatap lurus anaknya yang tengah menggigiti jari-jemari. “Berhenti menggigit jari-jarimu!” mukanya memerah, urat-urat kebiruan mencuat di lehernya.
Si anak segera menurunkan kedua tangannya, berhenti mengunyah serpihan-serpihan kecil kuku yang berserak dalam mulutnya, lalu mendekap dirinya sendiri.
“Aku ingin ayah di sini,” ia merengek seperti balita.
Si ibu berhenti menyesap kopi susu gula aren kesukaannya. Matanya fokus menatap layar ponsel. Usai mengetik cepat, ia mengamati wajah si anak dan menghela napas, mencoba mencekal canggung yang menebal.
Dua perempuan berjarak dua puluh lima tahun itu saling diam. Lima perempuan di teras belakang justru tak mau diam. Menembus kaca, si anak kembali memandang lekat-lekat mereka yang berjingkrak-jingkrak kegirangan. Salah satu dari mereka asyik menari balet.
“Kenapa harus ada ayah?”
Si anak tak menjawab. Si ibu jadi mengomel dan memuntahkan isi kepalanya. Mengeluh betapa sulitnya membangunkan si anak ketika pagi tiba, mengungkit kenakalan-kenakalan remaja yang kerap dilakukannya, menyalahkan ia karena sering bertingkah menyebalkan dan melanggar aturan rumah, lalala, blablabla.
Hening lagi.
Si anak membayangkan berada di antara mereka berlima, menari dan menyanyi, berdendang lagu-lagu pemantik semangat yang ia dengarkan setiap hari, sepanjang hari, sejak bangun pagi hingga menjelang tidur di malam hari. Namun, kehadiran si ibu membuat keinginannya buntu. Ia bertahan, bolak-balik menatap si ibu dan kelima gadis itu. Tatapannya menubruk jendela ruang tamu. Panas terik yang menerpa mengerdilkan kekuatan pendingin ruangan.
Rumah itu lazim, seperti cluster-cluster kecil lain yang merambat di gang-gang sempit pinggir kota. Namanya aneh dan tak serasi dengan keadaan lingkungan sekitar, jauh dari kesan mewah untuk disebut sebagai perumahan elit, namun terlalu bagus untuk menjadi perumahan yang biasa saja. Cluster-cluster itu terus tumbuh, merayapi daerah pinggiran kota yang jarang dijangkau banyak orang. Pembelinya adalah para pendatang atau “orang asli situ” yang berhasil menjual tanah, atau telah kaya raya, atau memperoleh jatah warisan.
Bila pagi tiba, sinar matahari menyiram tembok-tembok rumah yang warna catnya telah memudar karena menggunakan bahan baku yang tak bagus-bagus amat; tak mahal, tak juga murah. Di beberapa rumah, cat itu mengelupas dan meninggalkan kesan asing. Seolah-olah, bekas cat yang menjejak tak semestinya berada di situ. Kerusakan semacam itu serasa tak elok terjadi di rumah baru.
Di depan gerbang, satpam cepat-cepat membuka pagar untuk si ayah yang menyetir dengan tergesa. Ia bertalah-talah memarkir mobil lalu melompat masuk rumah. Hari yang panas bukan main, Senin siang menjelang sore. Kedatangannya tentu bukan rutinitas yang terjadi di hari-hari biasa. Ia mengambil cuti setengah hari agar dapat pulang cepat.
“Akhirnya kau datang juga. Anakmu tak mau bicara.”
“Bukan tak mau bicara, tapi menunggu kalian berdua, agar tak perlu menjelaskan satu per satu.”
“Ya. Apalah. Terserah.”
Si ayah meletakkan kunci mobil di lemari kecil dekat pintu utama, bergantian mencium anak dan istrinya, lalu duduk di seberang meja, berhadapan dengan si anak.
“Apa yang terjadi, Nak?”
“Kenapa kau selalu membuat masalah? Di rumah, di sekolah, di tempat les, di tempat umum, di rumah orang, selalu ada masalah.”
“Diam dulu. Biarkan anakmu bicara.”
Nada marah dalam kalimat si ayah membuat lima perempuan muda di teras belakang berhenti menari dan menyanyi. Mereka mengintip dari balik jendela kaca, memastikan si anak baik-baik saja. Si anak tersenyum pada mereka. Senyuman dibalas dengan gembira. Si anak bersukacita.
“Dengarkanlah. Ayah sedang bicara padamu,” si ayah menatap lekat si anak, memaksanya mengangguk patuh. “Ibu guru bilang kau menjambak dan menggigit salah satu temanmu. Itu benar?”
“Kenapa ayah dan ibu tak langsung datang ke sekolah dan memeriksa sendiri apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa menyuruh guru mengantarku pulang?”
“Ada pekerjaan yang belum selesai. Tenggatnya hari ini,” si ibu memperhatikan wajah si anak yang ternyata lebih mirip si ayah. “Lagipula, besar kemungkinan mereka tengah membencimu. Situasi saat itu pasti kacau sekali. Akan lebih tenang bila kita bicarakan dulu persoalan ini di rumah. Besok, ibu akan mengantarmu ke sana dan menyelesaikan semuanya. Setelah percakapan di sini beres.” Sesungguhnya, apa yang terjadi adalah si ibu hanya ingin menyelesaikan tenggat pekerjaan tanpa diganggu urusan apa pun, termasuk masalah si anak.
“Apa yang ingin ibu dan ayah ketahui?” Si anak mendengakkan kepalanya.
Si ayah mencondongkan tubuhnya ke si anak. “Pertanyaannya sederhana, Nak. Jawabannya pun akan sederhana. Karena ini hal yang sederhana, ayah memintamu untuk menjawab dengan jujur.”
“Apa?”
“Kau harus menjawab dengan jujur.”
“Tanyakan saja.”
“Apa yang menyebabkan pertikaian terjadi? Kau duluan yang mengejek, atau temanmu yang terlebih dulu mengejekmu? Kau korban atau pelaku perundungan?”
Si anak memilih diam.
“Nak?”
“Aku sudah bilang padamu. Percuma. Ia tak akan mau bicara. Ia tak pernah mau berterus terang.”
Pandangan si anak beralih ke luar jendela lagi, menatap tajam kelima temannya yang telah bergeser dari balik jendela kaca dan menari-menyanyi kembali. Ketukan nada bermain di kepalanya. Gerak kaki lima perempuan muda mengikuti, tubuh mereka melekuk-lekuk, melentur sesuai irama, menampilkan gerakan tari modern yang selaras lirik lagu.
“Apa yang kau lihat, Nak?”
Gelagapan, si anak berusaha menegakkan posisi duduknya, berupaya mengalihkan fokus kedua orang tuanya.
“Temanku bilang, mereka tidak bisa bernyanyi.”
“Siapa yang tak bisa bernyanyi?”
“Le Sserafim!”
“Siapa itu?”
“Kalian berdua mendengar lagu mereka setiap hari, tapi acuh pada keberadaannya, tak tahu namanya.”
“Fearless? Antifragile? Smart?”
“Ya!”
“Itu hanya sebuah pendapat. Setiap orang boleh memiliki pendapat berbeda dengan kita. Kita wajib menghormatinya.”
“Lagu-lagu mereka bagus!”
“Sepakat. Ayah kan ikut mendengarkan. Kau memutarnya berkali-kali sepanjang pagi. Liriknya penuh semangat, cocok untuk gadis muda sepertimu.”
“Ia tak perlu bilang mereka tidak bisa bernyanyi!”
“Tapi, mereka bisa bernyanyi, kan?”
“Tentu saja bisa!”
“Lalu kenapa temanmu bilang mereka tidak bisa bernyanyi?”
“Vokal mereka terlihat berantakan saat manggung di Coachella. Temanku punya idola favorit sendiri. Blackpink. Selalu diunggulkan, tak boleh ada yang membenci. Padahal, lagu-lagu Blackpink tak sebagus lagu-lagu Le Sserafim.”
“Itu hanya persoalan selera, Nak.”
“Kenapa musik yang bagus malah dibenci dan dicaci?”
“Bisa jadi, lagu-lagu Blackpink juga punya makna mendalam untuknya. Sama seperti lagu-lagu Le Sserafim yang membuatmu termotivasi menjadi perempuan berkepribadian kuat. Selera musik setiap orang berbeda-beda.”
“Alasan saja,” gerutu si anak, menuntut pembelaan. Fokusnya beralih ke luar jendela lagi.
“Kenapa kau menengok ke luar terus, Nak? Ada apa di sana?”
“Tak ada apa-apa.”
Lima perempuan itu segera bersembunyi lagi. Kali ini di balik tembok paling belakang. Di hari-hari biasa, mereka akan sepenuhnya sembunyi bila si ibu dan si ayah berada di rumah. Bila keduanya pergi dalam waktu bersamaan, mereka akan menemani si anak sepanjang waktu. Bila salah satunya berada di rumah, mereka tak akan pernah muncul. Sepasang suami-istri itu terbiasa pergi sejak pagi hingga malam hampir setiap hari.
Si ayah bekerja sebagai konsultan media sosial. Meski agensi tempatnya bekerja bukan milik sendiri, ia harus siaga dua puluh empat jam, mengerjakan revisi, kapan pun waktunya. Bila atasan merevisi pekerjaan di jam sebelas malam, ia akan mengerjakannya saat itu juga meski tengah beristirahat. Tak ada yang dapat ia lakukan selain menjadi gila kerja untuk atasan yang telah membantu membayar hutangnya yang begitu besar secara sukarela.
Si ibu telah belasan tahun menjadi akuntan. Tak banyak yang dapat ia lakukan selain mengutak-atik transaksi demi transaksi tiada henti. Cita-citanya hanya satu, dapat memberi investasi pendidikan si anak hingga jenjang doktoral. Ia ingin si anak menjadi guru besar di universitas ternama. Untuk mewujudkannya, ia mesti bekerja ekstra keras, ulet-tepat, tak boleh melakukan kesalahan agar terus mendapat promosi dan naik jabatan.
“Lalu kenapa tak menghargai selera masing-masing? Kenapa malah mengejek?”
“Ayolah, kalian baru dua belas tahun. Mungkin ia sedang bercanda.”
“Ia mengucapkannya berkali-kali. Mukanya mengejek.”
Si ayah berhenti membombardir pertanyaan dan mengamati anaknya dengan jeli, memastikan tak ada luka-luka segores pun di tubuhnya.
“Tapi, kau tak apa-apa, kan?”
“Ya,” tegasnya. “Tak ada luka di tubuhku. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Temanku dibawa ke rumah sakit. Jari telunjuknya putus.”
Sepasang suami istri itu saling melotot.
“Kenapa kau tak bilang sejak awal?”
“Kalian berdua tak bertanya,” suara si anak terdengar santai. “Guru yang memberi tahu ibu lewat telepon belum sempat bilang, tapi teleponnya sudah keburu ibu matikan.”
“Rumah sakit mana?”
“Mana aku tahu. Hubungi lagi saja guruku. Kenapa kalian tak mengobrol?”
Si suami segera mengambil kunci mobil, sementara si istri sibuk dengan ponselnya, gelagapan, menekan-nekan layar ponsel dengan gemetar.
“Kau tak perlu ikut. Tante akan segera ke sini. Jangan keluar rumah!”
Kalang kabut, keduanya grasa-grusu mengambil ini-itu dan pergi tanpa pamit. Pintu utama tak ditutup dengan semestinya. Tali sepatu si ibu belum direkatkan. Tas kerja si ayah ditinggalkan di atas meja. Rumah kecil itu sepi kembali, seperti sebelumnya, sama dengan hari-hari biasa.
Si anak menatap kepergian kedua orang tuanya. Kelima teman perempuannya telah beranjak, tak lagi bersembunyi di tembok belakang. Segera setelah si istri dan si suami menghilang di balik pagar, mereka berhamburan menghampiri si anak. Lalu, mereka berenam mengobrol riang dan bernyanyi dengan gembira, seperti apa yang terjadi di hari-hari biasa. Ia mengenal mereka sebagai Kim Chaewon, Sakura Miyawaki, Huh Yunjin, Kazuha Nakamura, dan Hong Eunchae.
*) Image by istockphoto.com